You Are Mine, Viona : The Revenge

Harapan seorang ibu



Harapan seorang ibu

0Saat makan malam tiba Adam sengaja memilih duduk disebelah Viona, ia ingin mulai mendekati Viona mala mini sesuai anjuran dari ibu Agnes tadi sore. Viona yang sedang sibuk melayani ibu Debora makan tak memperdulikan sama sekali Adam yang berusaha mencari perhatiannya.     
0

"Ibu sudah kenyang Anji," ucap ibu Debora pelan menolak suapan Viona.     

"Tapi ibu baru makan lima sendok bu," protes Viona lirih.     

"Iya sayangku tapi ibu sudah kenyang, perut ibu sudah tak bisa menerima makanan lagi." Jawab ibu Debora singkat sambil mencubit hidung mancung Viona.     

Viona diam saja mendengar perkataan ibu Debora, sebagai dokter ia tau kalau kondisi fisik ibu Debora makin menurun akhir-akhir ini. Adam yang tak terlalu memperhatikan perubahan nafsu makan ibu Debora menganggap apa yang terjadi pada ibu Debora adalah hal yang wajar, akan tetapi lain dengan Viona. Ia sangat yakin hasil penurunan daya tahan tubuh ibu Debora ada hubungannya dengan operasi cangkok ginjalnya 1,5 tahun yang lalu.     

"Kau mau kemana?" Tanya Adam pelan pada Viona yang terlihat bangun dari kursinya padahal ia belum makan apapun sejak tadi.     

"Mengantar ibu kekamar," jawab Viona dengan cepat.     

Adam hanya terdiam mendengar perkataan Viona, ia tak bisa berbuat lebih jauh lagi saat ini. Apalagi saat ini dimeja makam sedang banyak orang, ia hanya bisa melihat Viona dengan penuh kasih sayang membimbing ibu Debora masuk ke dalam kamar.     

Sesampainya dikamar Viona dengan cepat membantu ibu Debora berbaring, ia bisa merasakan denyut nadi ibunya itu makin melemah hari demi hari. Oleh karena itu Viona sengaja mengajak ibunya tiap pagi untuk berjemur dan mencari udara segar di sore hari. Ia tak bisa berbuat banyak karena tak mau membongkar identitasnya yang sebenarnya dan memberikan porsi tugasnya pada Adam yang juga seorang dokter.     

"Kenapa ibu melihat Anji seperti itu?" Tanya Viona pelan pada ibu Debora yang sedang menatapnya tanpa berkedip.     

"Apakah kau sadar nak, kau itu sangat amat cantik. Kecantikanmu sangat berbeda dengan wanita Kanada lainnya, kau memiliki kulit putih layaknya wanita asia dan wajahmu yang sedikit mirip dengan wanita yang berasal dari pecahan negara uni soviet akan tetapi warna bola matamu yang biru ini menegaskan kau punya darah eropa atau amerika. Kau sangat cantik anakku, apalagi rambut hitam lebatmu ini yang makin menyempurnakan wajah cantikmu ini," jawab ibu Debora jujur, ia mengingat perkataan sang kakak Maria Jessica dulu sewaktu membawa pulang Viona pertama kali. Maria Jessica selalu mengatakan bahwa bayi yang dibawanya itu akan menjadi wanita yang sangat cantik saat sudah dewasa, dan perkataannya terbukti.     

"Apa guna punya wajah cantik kalau harus terus menerus menderita bu, " ucap Viona tanpa sadar.     

Ibu Debora terdiam mendengar perkataan Viona, selama sepuluh bulan tinggal bersama Viona ia belum pernah mendengar sepatah katapun keluar dari mulut Viona yang membahas masa lalunya. Atau penyebabnya mengalami pendarahan yang hampir merebut nyawanya dulu saat ia ditemukan nyaris pingsan di depan makam ibu Maria.     

"Kau masih belum mau cerita pada ibumu ini nak?" tanya ibu Debora lembut.     

Mendengar perkataan ibu Debora membuat lidah Viona kelu, ia tak bisa berkata-kata. Ada banyak hal sebenarnya yang ia ingin curahkan pada ibunya itu akan tetapi karena memikirkan kondisi sang ibu yang sedang tak stabil akhirnya membuat Viona menyimpan niatnya untuk bercerita.     

"Percayalah sayang, saat kau bercerita kau akan merasakan bebanmu sedikit terangkat. Anji masih menganggap ibu sebagai ibunya Anji bukan?" tanya ibu Debora kembali.     

Viona yang sedang menundukkan wajahnya perlahan mengangkat wajahnya menatap ibu Debora dengan mata berkaca-kaca, melihat perubahan sikap Viona membuat ibu Debora tersenyum. Ia tau kalau pertanyaannya tadi berhasil membuat sisi lain Viona yang tak ia ketahui mulai terbuka.     

"Kunci pintunya nak," ucap ibu Debora pelan sambil mencengram tangan Viona yang mulai dingin.     

Tanpa bicara Viona bangun dari ranjang, ia lalu menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan lalu berjalan pelan menuju pintu dan menguncinya dari dalam sesuai perintah ibu Debora.     

Selesai mengunci pintu Viona membatu di tempatnya, mengingat masalahnya membuat lukanya yang mulai kering kembali teriris. Lukanya yang sudah coba ia obati selama sepuluh bulan ini kembali berdarah dan terasa perih tak terkira, karena tak kuat Viona akhirnya terduduk dan menangis sejadi-jadinya di dekat kaki ranjang ibu Debora. Ia menangis tanpa suara cukup lama sampai sesegukan, ibu Debora yang awalnya berbaring kini duduk bersandar. Ia memberikan waktu pada Viona untuk meluapkan semua kesedihannya sampai puas.     

Setelah menangis hampir lima belas menit akhirnya Viona terlihat lebih tenang, terbukti nafasnya pun terdegar lebih stabil. Ibu Debora kemudian membuka kedua tangannya lebar, meminta Viona untuk datang kepelukannya. Viona yang sedang menyeka air matanya perlahan bangun dan berjalan menuju ranjang ibu Debora dan menjatuhkan dirinya kepelukan ibu Debora dan kembali menangis.     

"Anakku, tak selamanya kau harus menyimpan lukamu sendirian. Ada kalanya kau harus berbagi dengan orang lain agar bebanmu sedikit berkurang, percayalah sayang sekuat apapun hati manusia ada kalanya ia bisa merasakan sakit. Jadi jangan paksa dirimu untuk menahan lukamu sendirian, kau masih punya ibu yang akan mendegarkan semua keluh kesahmu sayang" bisik ibu Debora pelan sambil menyeka air mata Viona yang membasahi pakaiannya.     

"Anji hanya tak mau merasakan sakit lagi bu, kembali membahas hal itu membuatku sakit lagi bu. Walau kejadian itu sudah berlalu cukup lama akan tetapi saat mengingatnya kembali membuatku merasa baru terjadi hari ini bu…hikksss hikss…     

"Sesakit itukah?" tanya ibu Debora pelan memancing Viona agar mau menceritakan secara detail.     

Viona kemudian menceritakan satu demi satu kejadian yang terjadi satu tahun lalu, dimana awal mula pertengkarannya dengan Fernando dimulai sampai akhirnya peristiwa berdarah itu terjadi. Viona bahkan menceritakan kata demi kata yang terucap dari bibir Fernando saat ia merasakan sakit  diatas ranjang pesakitan di rumah sakit. Saat mengulang kembali perkataan Fernando jantung Viona berdetak dengan sangat cepat, tubuhnya bahkan sampai bergetar. Hal ini menunjukkan kalau ia benar-benar terpukul atas apa yang diucapkan Fernando.     

"Anji hanya butuh dukungannya saat Anji terpuruk bu, bukan kata-kata kasarnya seperti itu. Apalagi ia langsung memberikan Anji surat cerai pada hari itu juga, rasanya semua pengorbananku untuknya selama kami menikah taka da artinya sama sekali. Anji merasa menjadi sebuah barang yang dibuang ketika sudah tak berguna lagi, Anji hikkssss…..     

Viona tak dapat menyelesaikan perkataannya karena kembali menangis, ibu Debora yang sejak tadi diam memeluknya nampak memejamkan kedua matanya. Sebagai seorang wanita dan seorang ibu membuatnya ikut merasakan sakit dan kecewanya Viona, ia tak menyangka Viona menyimpan luka yang sangat menyakitkan seperti itu.     

"Sayang ibu boleh bertanya satu hal padamu," ucap ibu Debora meminta ijin pada Viona.     

"Tanya apa bu?" tanya Viona pelan dengan suara terbata.     

"Tapi sebelum menjawabnya ibu harap kau jawab jujur pertanyaan ibu," jawab ibu Debora singkat.     

"Huum Anji akan menjawab jujur pertanyaan ibu," sahut Viona dengan suara lirih hampir tak terdengar.     

"Apa kau mencintai suamimu?" tanya ibu Debora pelan.     

Deg     

Mendengar pertanyaan dari ibu Debora membuat jantung Viona seperti sedang menerima kejutan listrik, ia tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti ini setelah sepuluh bulan ia pergi dari Fernando.     

"Aku…     

"Kalau pertanyaan ibu terlalu berat untukmu lebih baik jangan dijawab sayang ibu tak mau…     

"Anji mencintainya bu…huuu aku mencintanya bu sangat mencintainyaaa hu huuuuu     

Tangis viona kembali pecah saat mengatakan isi hatinya yang sebenarnya, ia memang sangat mencintai Fernando. Pria yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama dulu saat ia bekerja di tempat laundry tanpa tau siapa dan namanya, pria yang membuatnya yakin dan mau menyerahkan kesuciannya yang ia jaga bertahun-tahun. Pria yang membuatnya merasa sangat bahagia sekaligus terluka di waktu yang sama.     

"Sebelum ibu bertanya tadi ibu juga sudah tau kalau kau sangat mencintai suamimu nak, ibu tau kau sangat mencintai suamimu itu," ucap ibu Debora pelan, kedua matanya berkaca-kaca saat mengatakan hal itu pada Viona.     

"Tapi dia jahat bu…dia jahat dia…     

"Itu karena emosi sesaat nak, rasa sakit dan kecewa saat mengetahui bayi yang ia harapkan darimu meninggal ia menjadi menggila seperti itu sampai akhirnya ia berkata seperti itu. Tapi percayalah nak, suamimu saat ini pasti sangat menyesali perbuatannya. Kalau ia benar-benar mencintaimu saat ini rasa sakitnya pasti jauh lebih besar dari apa yang kau alami ini, percayalah nak. Tak da yang lebih menyakitkan bagi seorang suami saat kehilangan istrinya, apalagi istrinya secantik ini," kelakar ibu Debora pelan mencoba untuk menenangkan Viona.     

"Jangan menggodaku bu hikss…saat ini aku membencinya, aku tak mau bertemu dengannya. Aku tak mau…     

"Ya sudah kau bersama ibu saja sayang sampai saatnya nanti takdir menuntun pertemuan kalian lagi," ucap ibu Debora pelan memotong perkataan Viona.     

"Akhh ibuuuuu….     

Viona tak menyelesaikan perkataanya karena ia menyembunyikan wajahnya di tubuh ibu Debora, ibu Debora tersenyum melihat tingkah Viona.     

"Ibu harap sebelum waktu ibu habis, ibu bisa melihatmu kembali bahagia nak. Ibu yakin ibumu Maria menginginkan hal yang sama, sampai akhirnya ia mempertemukan kita kembali anakku. Kau berhak bahagia Viona, kau berhak hidup bahagia sayang," ucap ibu Debora dalam hati, kedua senjanya perlahan terpejam dan tiba-tiba muncul bayangan Maria Jessica yang sedang tersenyum kepadanya.     

"Tunggu aku kak, biarkan aku mengantar anak kita meraih kebahagiannya kembali…     

Bersambung     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.