You Are Mine, Viona : The Revenge

Kembali mengusik



Kembali mengusik

0Bibir Zabina pasti akan menyentuh botol wine kalau saja Aaric tak langsung merebut botol itu dari tangan Zabina.      
0

"Aaric!"     

Aaric menoleh ke arah Zabina dengan enteng. "Kau wanita, tak pantas seorang wanita minum minuman keras langsung dari potongannya seperti itu. Jaga sikapmu"     

"Memangnya kenapa? Toh tak ada orang lain disini, hanya ada kalian berdua saja. Kenapa aku harus menjaga sikapku?"     

Aaric mengeraskan rahangnya. "Kami berdua adalah orang lain itu, jadi kau harus tetap menjaga sikapmu!"     

Abby terkekeh melihat pertengkaran adiknya dan wanita asal Ukraina yang berada di hadapannya. "Kalian lucu bertengkar seperti itu, mirip sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara."     

"Kakak!"     

"Tuan"     

Tawa Abby semakin keras saat mendengar adiknya dan Zabina bicara secara bersamaan. "Kan apa aku bilang, kalian benar-benar kompak sekali. Sepertinya setelah proyek kerjasama kita berakhir kalian bisa menjalin hubungan haha."     

Wajah Zabina memerah mendengar perkataan Abby, ia kemudian mendorong Aaric yang berdiri di hadapannya dan langsung keluar dari kamar Aaric menuju kamarnya sendiri. Melihat Zabina pergi Abby pun semakin terbahak-bahak, ia puas sekali bisa menggoda asal Ukraina itu.      

"Sudah puas, kak?"sengit Aaric ketus.     

Abby menenggak wine yang ada ditangannya dalam sekali teguk. "Akhh aku suka wine ini, rasanya manis. Coba aku lihat merek nya."     

"Ck, paling bisa mengalihkan pembicaraan!"     

Abby pura-pura tak mendengar perkataan Aaric, ia terus saja berjalan menuju sofa sambil membawa botol wine yang ia rebut dari sang adik. Aaric pun tak lama kemudian menyusul sang kakak yang kini sudah duduk di sofa, ia terlihat kembali mengisi gelasnya dengan wine. Abby benar-benar menyukai wine yang sebelumnya Zabina bawa.      

"Kenapa datang sendiri? Mana Daddy? Bukankah Daddy seharusnya datang bersamamu?"     

Abby kembali meletakkan gelas winenya yang kosong ke atas meja, tiba-tiba wajahnya terlibat serius. "Daddy menyelesaikan masalahku, karena itu Daddy belum datang."     

"Menyelesaikan masalahmu?" Aaric kembali mengulangi perkataan sang kakak.      

"Iya, ceritanya panjang."     

Aaric tiba-tiba duduk dengan tegap menghadap Abby. "Ceritakan padaku."     

Abby menghela nafas panjang, ia kemudian menyandarkan seluruh tubuhnya ke sofa dan mulai menceritakan apa yang sudah terjadi. Mulai dari kedatangan Ruben Oliviera dan keluarganya serta upaya sabotase yang dilakukan pria itu hingga hancurkan organisasi yang dipimpin olehnya, selama Abby berbicara Aaric tak menyela pembicaraan kakaknya sama sekali. Ia benar-benar menjadi pendengar yang baik.      

"Aku saat ini menjadi merasa sedikit bersalah, aku merasa egois. Demi menjaga rahasiaku, ada satu keluarga yang hancur. Rasanya aku sudah menjadi manusia paling jahat sekali di dunia ini,"ucap Abby pelan menutup ceritanya.     

Aaric menghela nafas panjang. "Kau tak bersalah kak, aku yakin Daddy menghancurkan pria itu bukan hanya dirimu. Aku yakin sekali Daddy punya alasan lain, kau tahu siapa Daddy bukan?"     

"I know, tapi rasanya semuanya bermula dariku, Aaric. Dari awal aku sudah meminta tolong kepada Daddy untuk merahasiakan identitasku selama dua tahun di Italia dari Mommy, karena itu Daddy melakukan semua ini. Tapi tindakan Daddy terlalu jauh, ada dua anak gadis yang kini keberadaannya tak diketahui. Aku benar-benar merasa bersalah sekali."      

Aaric mendekati Abby dan menepuk pundaknya perlahan. "Kak, kita adalah anak Daddy. Percayalah, Daddy pasti punya alasan lain untuk melakukan itu. Terlepas dari permintaanmu yang meminta agar Mommy tak tahu rahasiamu itu, aku yakin sekali Daddy punya alasan lain."     

Abby terdiam mendengar perkataan adiknya, ia mencoba mendamaikan hatinya yang bergemuruh sejak kemarin. Mengingat wajah Natalie dan Nelly membuatnya semakin tak tenang, kedua gadis itu seharusnya tak menjadi korban atas tindakan ayahnya seperti ini. Namun seperti yang adiknya katakan, Abby mencoba berpikir positif. Ia mencoba menyakinkan dirinya bahwa ayahnya pasti punya alasan lain sehingga membumihanguskan organisasi pimpinan Ruben Oliviera di Sisilia, Italia.      

"Lagipula bukankah saat ini pria bernama Xander itu masih ada di Italia? Jadi rahasiamu akan tetap aman, percayalah Daddy pasti sudah mengatur semuanya dengan baik kak. Yang perlu kita lakukan saat ini hanyalah fokus pada proyek ini kak,"imbuh Aaric kembali mencoba menguatkan kakaknya.      

Perlahan senyum di wajah Abby mengembang. "Aku rasa kau benar, aku saja yang terlalu takut."     

"Nah begitu, jadi hilanglah rasa bersalahmu itu. Dan mengenai nasib kedua anak dari musuhmu itu aku yakin cepat atau lambat mereka pasti akan mengalami hal ini juga, mengingat ayahnya adalah pemimpin organisasi yang besar. Aku percaya mereka juga pasti sudah mempersiapkan dirinya sejak lama jika hal-hal semacam ini terjadi, jadi sekali lagi kau tak usah khawatir."     

Abby menipiskan bibirnya, ia kemudian meraih gelas winenya yang baru saja di isi ulang oleh Aaric. "Sepertinya adikku sudah besar sekarang, kau pintar sekali bicara, brengsek."     

"Haha fuck...kita hanya berbeda beberapa menit saja, jadi jangan merasa lebih hebat dariku." Aaric menyahut ketus perkataan Abby dengan kesal.      

Abby pun tertawa lepas mendengar perkataan adiknya, setiap kali membahas siapa yang lebih tua Abby selalu menang karena Aaric pasti akan langsung marah karena tak terima. Namun karena selama ini dia dianggap anak kedua oleh kedua orang tuanya akhirnya Aaric pun rela memanggil Abby dengan sebutan kakak dan akan selalu kesal jika kakaknya sudah membahas soal siapa yang lahir lebih dulu.     

Pertengkaran kecil kedua kakak beradik itu akhirnya berhenti ketika mereka mendapatkan telepon dari kepala proyek di gurun sahara, seketika keduanya pun langsung serius membahas beberapa masalah teknis yang sedang terjadi di gurun terbesar di dunia itu. Saat sedang berbicara serius tiba-tiba Zabina masuk kembali ke kamar Aaric dan ikut bergabung dengan kedua pria itu berbicara melalui video call dengan seorang kepala proyek yang berada di gurun Sahara.      

****     

"Kate, kau melamun!!"     

Suara teriakan Denise membuat Kate yang sedang menikmati ice creamnya terkejut, ia bahkan hampir menjatuhkan sendok yang sedang ada ditangannya.      

"Uppsss sorry, aku tak tahu kau sedang makan ice cream hehehe."     

Kate menyeka bibirnya dengan tisu yang ada di hadapannya dengan perlahan dan hal itu membuat Denise merasa sedikit bersalah.      

"Maafkan aku,"ucap Denise lirih.     

Kate menatap Denise sambil tersenyum. "Minta maaf kenapa?"     

"Aku tadi mengejutkanmu, aku tak tahu kalau aku sedang makan ice cream, Kate." Denise memelas meminta maaf pada Kate.      

Tawa Kate akhirnya pecah setelah pura-pura marah, ia tak bisa menahan dirinya lebih lama lagi setelah melihat ekspresi sedih di wajah teman baiknya itu. Denise lalu menyuapkan ice cream matcha yang sedang ia nikmati pada Denise.     

"Buka mulutmu, aaa…"     

"Ck, bisa-bisanya dia tak jijik berbagi sendok dengan seseorang yang memiliki cacat wajah." Tiba-tiba dari arah belakang Gloria muncul bersama teman-temannya berkata dengan sarkasnya, menghina fisik Kate di depan semua orang padahal dia sudah mendapat peringatan sebelumnya untuk menjaga sikap.     

Brak..     

"Denise, stop."     

Bersambung     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.