You Are Mine, Viona : The Revenge

Melepas beban



Melepas beban

0York street Apartemen, Toronto Kanada, 4.00 AM.     
0

Dengan bantuan beberapa orang kenalannya Zabina berhasil mendapatkan tempat tinggal di Toronto, ia memilih untuk menetap di Toronto sementara waktu untuk menunggu Aaric kembali dari bulan madu. Zabina memutuskan untuk membongkar identitasnya pada Aaric, walau bagaimanapun Aaric harus tahu siapa dirinya yang sebenarnya.     

"Sepertinya sudah waktunya kau tahu siapa aku yang sebenarnya, Aaric. Segala kesakitanku selama bertahun-tahun ini harus kau bayar lunas."Zabina bicara sendiri di depan kaca besar yang ada di dalam kamar mandinya.     

Kalau biasanya Zabina malas berdiri terlalu lama di depan kaca, kali ini tidak begitu. Zabina menatap wajah yang sudah ia pakai selama lebih dari 7 tahun itu dengan perasan campur aduk, ia masih mengingat awal-awal ia memakai wajah itu pasca kecelakaan yang terjadi di Paris.     

"Semua kekacauan hidupku dikarenakan olehmu Fernando Grey Willan, kau yang menyebabkan Adam Collins menjadikan aku budaknya. Karena kau juga aku kehilangan wajah asliku, seandainya kau dan Adam tak bermusuhan mungkin saja saat ini aku sedang hidup bahagia bersama ayah dan ibuku,"ucap Zabina serak, bibirnya bergetar saat bicara. Mengingat Adam Collins kembali membuat Zabina marah. Beruntung pria itu sudah mati saat Zabina kembali ke Kanada dengan identitas barunya pasca operasi, kalau tidak mungkin saja Zabina yang akan membunuhnya dengan tangannya sendiri.     

Karena sudah menyerahkan kesuciannya pada Aaric malam itu, Zabina menjadi tak bisa mencintai laki-laki lain. Apalagi pada Vladimir Petrov, sang penyelamatnya sekaligus kakak sepupu palsunya. Vladimir yang menyelamatkan Zabina kala itu dengan tulus memberikan nama belakangnya pada Zabina pasca ia selesai operasi plastik, karena itu Zabina bisa memiliki nama Petrov yang akhirnya membuat dirinya menjadi warga negara Ukraina.     

Zabina bukan gadis bodoh, ia tahu Vladimir mencintainya. Namun karena dalam hati Zabina nama Aaric sudah menetap alhasil Zabina tak bisa menerima Vladimir, bagi Zabina sosok Vladimir adalah seorang kakak bukan seorang kekasih.     

"Silahkan bersenang-senang dengan istri barumu itu sayang, setelah pulang nanti akulah yang akan menggantikan posisi wanita itu sebagai istrimu." Zabina membatin dalam hati sebelum akhirnya keluar dari kamar madi untuk tidur, hari ini benar-benar hari yang melelahkan untuknya.     

Villa Keluarga Willan     

Karena tak bisa tidur Natalie memilih untuk bangun dari ranjang, ia turun dengan hati-hati supaya tak membangunkan Abby yang sedang tertidur pulas. Mengikuti rangkaian pesta pernikahan Aaric dan Kate hari ini benar-benar melelahkan sebenarnya, tapi karena banyaknya pikiran yang saat ini berada dalam otaknya alhasil Natalie justru tak bisa tidur.     

Dengan berjinjit Natalie berjalan menuju balkon meninggalkan Abby, beruntung pintu dikamar mereka mudah dibuka sehingga Abby tak terganggu.     

"Hi kak, tidak bisa tidur juga?"     

Natalie langsung menoleh ke sumber suara yang berasal dari arah barat daya, kedua matanya terbuka besar saat melihat Denise sedang duduk di balkon kamarnya seorang diri.     

"Iya, aku terlalu lelah sampai tak bisa tidur,"jawab Natalie pelan.     

Denise tersenyum. "Kemarilah, bergabung denganku. Sepertinya menyenangkan jika kita bergadang sampai pagi,"ajak Denise pelan sambil melambaikan tangannya pada Natalie.     

"Bagaimana aku bisa ketempatmu? Aku tak mungkin membuka kamar, Xander pasti akan bangun,"tanya Natalie lirih.     

"Lihatlah ke arah samping kamarmu, disana ada jembatan penghubunga kamar kita. kau bisa ketempatku menggunakan jembatan itu,"jawab Denise penuh semangat sambil menunjuk ke arah jembatan penghubung yang ada di samping kamar mereka.     

Perlahan Natalie menoleh ke arah yang ditunjuk Denise, senyumnya melebar saat melihat jembatan penghubung yang sebelumnya ditunjuk Denise. Tanpa menunggu lama Natalie pun berjalan menuju jembatan kecil itu dan mulai melewatinya dengan hati-hati, meski kamar mereka ada dilantai tiga namun tetap saja jika jatuh akan sangat menyakitkan. Denise pun langsung mengulurkan tangannya pada Natalie begitu Natalie sudah hampir sampai.     

"Sungguh mengerikan sekali, tadi aku tak bernafas saat melewati tangga itu, Denise,"ujar Natalie jujur, seluruh tangannya terasa dingin saat ini.     

Denise terkekeh. "Tidak mengerikan, itu hanya perasaanmu saja. lagipula dibawah jembatan yang kau lewati tadi adalah kolam renang, jadi seandainya kau jatuh akan jatuh di dalam kolam, Nate."     

"Denise."     

"Haha..aku bergurau, ya sudah ayo kita ke balkon jangan disini banyak nyamuk,"sahut Denise pelan sambil tersenyum, ia senang memiliki teman bergadang malam ini.     

Natalie berjalan tepat dibelakang Denise, sesekali ia menoleh ke arah kamarnya dan Abby memastikan saat ini Abby tidur dan tak terbangun.     

Begitu sampai di balkon Natalie terkejut saat melihat ada beberapa makanan kecil di atas meja kecil yang beralaskan karpet bulu berwarna putih.     

"Jangan heran, kamar ini adalah kamar pribadiku. Jadi semua interior yang ada dikamar ini sudah menyesuaikan dengan keinginanku,"ucap Denise pelan menjelaskan sedikit keadaan kamarnya.     

Natalie menganggukkan kepalanya. "Pantas saja, interior kamar ini berbeda dengan kamar Xander. Hmmm tunggu, jangan-jangan tangga itu dibuat karena..."     

"Iya, tangga itu dibuat atas permintaanku. Setiap kali keluarga kami menginap di pulau ini aku selalu tak bisa tidur pada saat hari pertama, karena itu aku meminta pada Daddy untuk dibuatkan jembatan kecil yang bisa menghubungkan kamarku dan kamar kakak-kakakku." Denise memotong perkataan Natalie dengan cepat sambil berjalan masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil satu bantal lagi.     

"Kamar kakak-kakakmu?"     

"Iya, jadi kamarku ini diapit kamar Alex dan kamar Xander. Dan kamar kami terhubung dengan jembatan kecil tadi,"jawab Denise pelan sambil tersenyum.     

Natalie menganggukkan kepalanya mendengar perkataan Denise, ia kemudian menerima bantal yang diberikan Denise dan duduk di atas karpet bulu yang nyaman di balkon bersama Denise.     

"Aku senang sekali punya dua kakak perempuan, jadi aku tak akan menjadi satu-satunya anak gadis lagi di keluarga ini. Kau tentu sudah tahu bukan betapa besarnya nama keluargaku?"ucap Denise pelan memulai pembicaraan.     

"Tentu saja aku tahu, siapa yang tak tahu keluarga Willan. Nama keluarga ini bahkan sampai terdengar di tempat kelahiranku, Denise."     

Kedua mata Denise membulat sempurna. "Benarkah? Memangnya kau berasal dari mana?"     

"Sisilia, Itali. Aku berasal dari keluarga mafia yang cukup disegani di kota itu, Denise,"jawab Natalie dengan tersenyum datar.     

"M-mafia?"     

"Iya, Olievera nama belakangku. Dan ayahku adalah pemimpin organisasi itu sebelum akhirnya..."     

"Sebelum akhirnya apa?"tanya Denise penasaran.     

Natalie menghela nafas panjang. "Sebelum akhirnya orang-orang suruhan Tuan Fernando Grey Willan menghancurkan organisasi yang dipimpin ayahku."     

"What?! Are you serious?"     

"Aku serius, Denise. Bahkan Xander juga terlibat, tapi aku tak marah. Aku tak bisa marah tepatnya, ayahku bertahun-tahun ternyata melakukan bisnis kotor. Dia menjual anak gadis dibawah umur untuk di jadikan wanita penghibur dan beberapa hal lainnya, karena itu aku tak marah dengan apa yang dilakukan Tuan Fernando atas penyerangan pada keluargaku,"jawab Natalie serak dengan mata berkaca-kaca.     

Denise meraih tangan Natalie dan menggenggamnya erat untuk memberikan dukungan.     

"Yang aku sesali hanya satu, Denise,"ucap Natalie kembali.     

"Apa itu?"     

"Kematian ibuku, ibuku meninggal tak lama setelah kami keluar dari rumah."     

Denise menggigit bibir bawahnya, dadanya tiba-tiba terasa sesak. "Lalu apa kau marah pada kami?"     

Natalie menggeleng. "Tidak, aku tak marah pada kalian. Aku marah pada ayahku, dialah orang yang pantas aku persalahkan. Seandainya dia tak melakukan perbuatan hina itu mungkin ibuku masih hidup dan tak merasa bersalah atas apa yang sudah dilakukan ayahku selama ini. Ibuku meninggal dengan rasa bersalah yang sangat besar, Denise. Ibuku merasa kasihan pada para orang tua yang anaknya sudah dijual ayahku."     

Denise yang tak tega kemudian memeluk Natalie dengan erat. "It's ok, itu sudah berlalu. Aku yakin ibumu saat ini sudah bahagia disamping Tuhan, Nate. Kau hanya cukup mendoakannya saja."     

Natalie mengangguk pelan dengan air mata yang mengalir deras, baru kali ini ia bisa mengeluarkan semua  isi hatinya. Dan rasanya sangat lega sekali, semua beban di pundaknya terasa hilang saat ini. Karena terlalu lelah menangis perlahan Natalie pun tertidur di pelukan Denise yang juga sudah mengantuk. Tak lama kemudian kedua gadis itu pun terlelap dalam tidur dengan posisi saling bersandar satu sama lain.     

Bersambung     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.