You Are Mine, Viona : The Revenge

Adik perempuan



Adik perempuan

0Aaric tersenyum saat melihat Sasan Wu tak melepaskan pelukannya dari Cindy, sudah hampir 30 menit ayah dan anak itu menangis tanpa melepaskan pelukannya masing-masing.     
0

"It's ok sayang, jangan ingat-ingat lagi yang sudah terjadi. Yang penting saat ini kau baik-baik saja,"ucap Sasan Wu berkali-kali mencoba menenangkan Cindy yang terus menangis, meski sebenarnya Sasan Wu sangat marah saat ini ketika melihat kondisi putri kesayangannya.     

Sasan Wu baru melepaskan pelukannya dari Cindy setelah ia mendengar laporan salah satu anak buah Aaric yang melaporkan kondisi Franco yang terus menerus memukulkan kepalanya ke dinding. Pria itu mencoba untuk bunuh diri.     

"Apa aku boleh bertemu mereka?"tanya Sasan Wu pelan pada Aaric.     

Aaric tersenyum. "Sebenarnya anda tak perlu melihat mereka lagi Tuan, saya sudah mengurusnya. Setelah ini mereka tak akan bisa hidup lagi dengan normal, jadi jangan kotori tangan anda dengan darah mereka."     

Sasan Wu membelai rambut Cindy yang acak-acakkan. "Cindy, aku membesarkannya dengan sepenuh hati dan jiwaku. Sejak kecil dia tak pernah menangis, apalagi dilukai seseorang. Karena itu aku tak terima jika putriku mengalami hal semacam ini, aku ingin menuntut balas pada mereka semua yang berani menyentuh tubuh berharga putriku."     

"Tak usah Dad, aku mau pulang saja. Aku tak mau melihat mereka lagi,"sahut Cindy dengan cepat.     

Sasan Wu tersenyum, ia kemudian berlutut dihadapan Cindy. "Putriku memang luar biasa, kau tak hanya memiliki kecantikan diwajah saya nak. Hatimu juga sangat cantik, tapi maaf untuk kali ini Daddy tak bisa menuruti permintaanmu. Daddy harus melakukan satu tugas Daddy sebagai ayahmu."     

"Aku masih sama seperti dulu Dad, aku masih suci. Jadi Daddy tak perlu melakukan apapun, tadi Aaric sudah memberikan mereka pelajaran."     

"Aaric?"     

"Iya Aaric."     

Aaric menipiskan bibirnya. "Nama saya Alarick Alexander Willan, Tuan."     

Sasan Wu terkejut dengan cepat ia bangun dari hadapan Cindy dan menatap Aaric dengan tajam. "Willan? Willan yang itu?"     

"Iya, Willan yang ada dalam pikiran anda,"jawab Aaric sambil tersenyum.     

Sasan Wu terdiam cukup lama, sebelum akhirnya ia teringat kembali tujuannya datang ke Ottawa. Dengan lembut pria berkacamata itu menyentuh pundak Aaric. "Sepertinya kita akan mempunyai pembahasan yang menyenangkan setelah ini, akan tetapi sekarang yang ingin aku lakukan adalah melakukan tugasku sebagai ayah. Biarkan aku melakukan ini, karena jika tidak maka aku akan menjadi ayah yang gagal. "     

Aaric yang sudah tahu kemana arah pembicaraan Sasan Wu hanya bisa menghela nafas panjang, ia tak bisa melarang pria yang ada dihadapannya lebih lama lagi karena apa yang akan dilakukan Sasan Wu adalah salah satu tugasnya sebagai ayah yang ingin menuntut balas atas apa yang dilakukan pria-pria seusianya menyentuh putri kesayangan yang ia rawat sepenuh hati.     

"Aku tak bisa menahan anda lebih lama lagi, Tuan. Kalau memang itu yang ingin anda lakukan maka aku tak bisa melarangnya."     

Sasan Wu menipiskan bibirnya. "Terima kasih, aku akan mengingat semua kebaikanmu termasuk satu hal ini. Sampai 7 generasi aku akan mengingat kebaikanmu."     

Aaric tersenyum tipis mendengar perkataan Sasan Wu, setelah Sasan Wu selesai bicara tiba-tiba dua orang pria bermata sipit datang menghampiri mereka. Kedua pria itu membawa sebuah kotak panjang berwarna hitam dan sudah dapat Aaric tebak apa isinya. Tanpa bicara Sasan Wu segera menerima dua kotak hitam itu dari dua anak buahnya.     

"Tunggu Daddy sebentar, 5 menit. Daddy meminta waktu 5 menit untuk menyelesaikan semuanya,"ucap Sasan Wu lembut pada Cindy yang terlihat sangat bingung ketika melihat ayahnya membawa dua kotak hitam di kedua tangannya.     

"Apa yang ingin Daddy lakukan?"tanya Cindy bingung.     

Sasan Wu menatap hangat kearah putri semata wayangnya. "Melakukan tugas sebagai seorang ayah."     

"Tapi Dad..."     

Cindy tak menyelesaikan perkataannya saat merasakan tangan Aaric berada dibahunya, Cindy menatap Aaric dengan bingung.     

"It's ok,"ucap Aaric lirih.     

Cindy pun menganggukkan kepalanya perlahan, ia memilih untuk diam dan membiarakan sang ayah berjalan masuk ke dalam gudang yang baru ia tinggalkan bersama Aaric. Tak lama setelah Sasan Wu masuk terdengar suara jeritan yang memilukan dari dalam gudang.     

"Aaric itu..."     

Aaric langsung menutup kedua telinga Cindy menggunakan kedua tangannya, ia berusaha membuat Cindy tak mendengar suara-suara memilukan dari para pria yang sedang meregang nyawa karena terkena sabetan katana yang Sasan Wu bawa. Saat ini di dalam gudang Sasan Wu secara membabi buta memotong setiap tangan dari semua orang yang ada didalam gudang, Sasan Wu menuntut balas atas apa yang Cindy terima. Ia tak terima tubuh putri tercintannya di jamah lelaki yang usianya tak jauh berbeda dengannya, setelah memotong semua tangan mereka Sasan Wu berdiri dengan gagah melihat semua pria itu meregang nyawa karena kehabisan nyawa. Franco yang sudah tewas lebih dulu karena memukul-mukulkan kepalanya ke lantai tetep menjadi sasaran Sasan Wu, pria itu tetap memotong tangan Franco tanpa belas kasih.     

"Sepertinya mereka semua sudah mati,Tuan,"ucap salah seorang pria yang berdiri dibelakang Sasan Wu pelan.     

Sasan Wu melempar kedua katana yang ia pegang ke arah kumpulan jenasah para pria yang ada dihadapannya tanpa rasa bersalah. "Bakar mayat mereka, jangan menyisakan jejak. Aku tak mau keluarga Willan mendapatkan masalah, terutama Tuan muda kedua Willan yang sangat dicintai putriku itu."     

"Siap Tuan." Sepuluh orang anak buah Sasan Wu menjawab kompak.     

Karena sudah melakukan menuntaskan dendamnya Sasan Wu kemudian melepaskan pakaiannya yang penuh dengan darah, ia lalu berganti pakaian bersih yang sudah disiapkan anak buahnya. Tanpa rasa bersalah Sasan Wu berjalan dengan tenang menuju pintu keluar gudang untuk menghampiri putri tercintanya yang selama satu tahun setengah menderita itu, senyum Sasan Wu mengembang lebar saat melihat apa yang dilakukan Aaric pada putrinya.     

Saat ini Aaric sedang mebelai-belai rambut panjang Cindy yang sedang menggunakan pahanya untuk bantal, Aaric sengaja meminta Cindy berbaring padanya supaya Cindy tak mendengar suara-suara memilukan yang dibuat oleh sang ayah. Cindy yang nyaman dengan perlakuan Aaric justru sudah tertidur, gadis itu tertidur pulas padahal sebenarnya tadi malam ia tidur dengan nyaman sekali di kamar hotel yang sudah disiapkan Aaric.     

"Aku tak tahu harus melakukan apa untuk membayar semua yang sudah kau lakukan ini, Tuan muda kedua,"ucap Sasan Wu pelan mengagetkan Aaric.     

Aaric tersenyum. "Tak ada yang perlu anda lakukan Tuan, lagipula yang aku lakukan ini adalah sebuah kewajiban yang memang harus aku lakukan."     

"Kewajiban?"     

Aaric menipiskan bibirnya menatap Sasan Wu. "Iya, bukankah dulu saya sudah pernah berjanji untuk menjaga Cindy pada anda. Karena itulah saya melakukan ini."     

"Karena pertemuan kita malam itu?"     

"Iya, Daddyku selalu mengajarkan kami sejak kecil untuk menepati janji yang sudah dibuat. Karena itulah saya melakukan itu, ditambah lagi saya sudah menganggap Cindy sebagai adik perempuan saya sendiri."     

Sasan Wu hampir tersedak mendengar perkataan Aaric, beruntung ia bisa menguasai dirinya kembali dengan cepat. "Adik perempuan?"     

Aaric tersenyum dan menganggukkan kepalanya, ia kemudian membelai rambut Cindy kembali. "Sejak dua tahun yang lalu saya menganggap Cindy sebagai adik perempuan saya, jadi apa yang saya lakukan ini adalah sebuah keharusan yang dilakukan seorang kakak pada adiknya."     

Bersambung     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.