You Are Mine, Viona : The Revenge

Foto hitam putih



Foto hitam putih

0Denise duduk di sofa cukup lama, di tangannya masih terdapat sebuah catatan yang Kate tinggalkan untuknya.      
0

"Kalian bertengkar?"tanya dokter Louisa pelan pada putrinya yang terlihat sedih.     

Denise menggelengkan kepalanya. "Tidak, Mom. Kami baik-baik saja."     

"Kalau kalian berdua baik-baik saja lalu kenapa kau tak tahu Kate pindah?"     

"Aku juga tak tahu Mom, aku bingung harus bicara apa. Yang jelas aku dan Kate tidak sedang bertengkar, bahkan kemarin saat aku berangkat saja aku sempat membuatkan sandwich untuk Kate yang sedang berolahraga di taman. Kami juga sempat bicara sebelum aku berangkat, Mom,"jawab Denise lirih.      

Dokter Louisa mendekati Denise dan duduk di depannya. "Mungkin saat ini Kate sedang ada masalah pribadi yang tak ingin dibagi dengan siapapun, termasuk kau sahabatnya. Jadi lebih baik kau berikan waktu untuknya menyendiri, nanti kalau perasaannya sudah kembali dia pasti akan bicara lagi denganmu dan semuanya akan kembali lagi seperti sebelumnya."     

"Tapi Kate yatim piatu, Mom. Kedua orang tuanya sudah meninggal sejak lama, ia juga tidak memiliki saudara. Jadi rasanya sangat aneh kalau misalkan dia punya masalah keluarga,"ucap Denise pelan.      

Dokter Louisa kembali tersenyum. "Kita tak pernah tahu masalah apa yang dimiliki oleh orang lain, sayang. Mungkin saja Kate bersikap tenang di hadapanmu, dihadapan kita semua. Tapi tak ada yang tahu bukan apa yang ia simpan dalam hatinya? Jadi untuk saat ini lebih baik kau tegang dan jangan panik, kalau kau merasa tidak pernah ada masalah dengan Kate Mama yakin semuanya akan kembali seperti sediakala.      

Denise terdiam cukup lama, ia mencerna kata-kata yang diucapkan ibunya dengan baik. Selama ini ia memang tak tahu banyak soal masalah pribadi Kate meskipun menjadi satu-satunya sahabatnya, Kate selama ini tak pernah menceritakan soal hubungan percintaannya atau masa lalunya. Satu-satunya hal yang ia bagi pada Denise adalah soal statusnya yang menjadi anak yatim piatu dan berasal dari Rusia seperti biodatanya yang ada di rumah sakit, selain dari itu ia tak tahu lagi.      

Karena merasa tak tega pada putrinya yang terlihat sangat sedih ditinggalkan oleh satu-satunya sahabat, dokter Louisa kemudian menghubungi Aaric dan Abby. Dokter Louisa menceritakan semua yang terjadi pada putrinya pada kedua kedua anak kakak iparnya.      

Setelah berbicara cukup lama dokter Louisa kemudian menyimpan ponselnya ke dalam saku bajunya, setelah tersenyum membaca pesan yang baru masuk ke ponselnya. Dokter Louisa kembali duduk disamping Denise, dengan penuh kasih dokter Louisa meraih tubuh Denise dan membelai rambut putrinya yang sepanjang pundak.      

"Apa Kate marah padaku setelah tahu aku seorang Willan, Mom?"tanya Denise lirih.     

"Mana ada hal semacam itu, sudahlah jangan berpikir terlalu jauh. Seperti yang tadi Mama bilang, untuk beberapa hari ini berikan waktu kepada Kate. Mama yakin sekali kalau sahabat itu sedang memiliki masalah pribadi yang tak ingin dibagi dengan siapapun, karena itulah ia keluar dari apartemen di tambah lagi dia juga mengambil cuti di rumah sakit."     

Denise langsung melepaskan pelukan sang ibu. "Kate mengambil cuti? Kapan?"     

Dokter Louisa tersenyum, ia kemudian mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan pesan yang dikirimkan oleh dokter Cecilia dari rumah sakit.      

"Ini pesan yang baru dikirimkan oleh aunty Cecilia, tadi Mama meminta bantuan aunty Cecilia untuk mencari tahu soal Kate ke bagian personalia. Dan akhirnya ditemukan bukti kalau ternyata Kate sudah mengajukan cuti ke bagian personalia untuk 3 hari kedepan dan bagian personalia belum memberitahukan ke dokter Viona sebagai kepala bagian divisi bedah. Jadi kami semua termasuk kau tidak ada yang tahu kalau Kate rupanya sedang cuti,"ucap dokter Louisa lembut.      

Denise yang sedang fokus membaca pesan dari dokter Cecilia nampak tersenyum tipis, raut kesedihan nya juga langsung hilang saat mengetahui kabar sahabatnya yang tiba-tiba saja pergi dari apartemen tempat tinggal mereka selama 2 tahun terakhir ini.     

"Jadi bagaimana, kau sekarang sudah tenang bukan?"     

Denise mengembalikan ponsel sang ibu sambil tersenyum. "Terima kasih, Mom."     

"Sama-sama, ya sudah ayo kita pergi. Selama Kate tidak ada di apartemen lebih baik kau tinggal di rumah bersama Mama, Mama yakin Papa juga pasti akan senang saat melihatmu berada di rumah,"ucap dokter Louisa dengan lembut.     

"No, aku tak mau pulang ke rumah aku punya apartemen ini,"sahut Denise dengan cepat menolak ajakan pulang sang ibu.      

"Kenapa begitu? Kau kan tinggal sendiri sayang, memangnya kau berani tinggal di apartemen sendirian?"     

Denise terkekeh. "Tentu saja aku berani, memangnya apa yang perlu aku takutkan ? Aku seorang Willan, Mom. Tak akan ada orang yang berani menggangguku, apalagi di sekeliling apartemen ini dijaga dengan ketat oleh orang-orang Daddy dan Papa."     

Mendengar perkataan Denise membuat dokter Louisa tak bisa berkata-kata, ia tak mau memaksa putrinya untuk kembali ke rumah. Dokter Louisa khawatir Denise akan semakin jauh darinya jika ia memaksakan kehendak pada putri semata wayangnya itu.     

Saat Denise sedang merapikan beberapa barang pribadinya yang ada di atas meja belajar, tiba-tiba pintu apartemen diketuk dari luar.      

"Biar Mama saja yang lihat,"ucap dokter Louisa pelan.     

"I love you Mom,"pekik Denise dengan cepat.     

"Dasar bermulut manis"balas dokter Louisa sambil tersenyum.      

Denise hanya terkekeh mendengar perkataan ibunya, ia pun mempercepat gerakannya merapikan beberapa buku catatannya yang belum sempat dirapikan kemarin saat berangkat ke rumah sakit.      

"Xander, Alex.. dari mana kalian tahu aku ada di apartemen?"tanya Denise terkejut saat melihat kedua sosok kakaknya yang sudah berdiri di samping sang ibu.      

Aaric tersenyum. "Kami datang karena dihubungi aunty yang mengabarkan kalau adik kesayangan kami, sang princess Willan yang sedang menjadi buah bibir semua orang sedang sedih karena kehilangan sahabatnya. Karena itulah kami datang."     

"Betul sekali, karena kami tak tega kami datang ke apartemen ini untuk menghiburmu,"sahut Abby tak mau kalah.      

Denise mengangkat satu alisnya, ia merasa kesal dengan ucapan kedua kakaknya yang menyebalkan.      

"Pulang saja sana, aku tak butuh kalian. Lagipula Kate tidak hilang, dia hanya sedang cuti saja,"sahut Denise ketus.      

Abby terkekeh, ia kemudian mendekati Denise yang baru saja menyimpan buku-buku kuliahnya ke dalam rak. "Jangan seperti itu, sayang. Kami baru datang masa sudah diusir? Lagipula kami kemari karena ingin mengajakmu makan siang bersama."      

"Kalau makan junk food aku tak mau, itu tak sehat."     

Abby kembali tertawa kecil. "Ok ok...makan siang kali ini kami akan menurut padamu, kau yang menentukan kita makan apa siang ini. Bagaimana apa kau setuju?"     

"Good, aku setuju!!"pekik Denise dengan mata berbinar.      

Aaric mencibir kecil. "Dasar princes, maunya makan enak saja."     

Denise menjulurkan lidahnya merespon perkataan Aaric, ia kemudian meraih tangan Abby dan langsung mengajaknya keluar dari apartemen setelah menyambar tasnya dari atas meja dengan cepat.      

Dokter Louisa terkekeh melihat tingkah sang putri, ia kemudian meraih tasnya dan ikut keluar bersama Denise dan Abby. Aaric yang berada di paling belakang kemudian mengunci pintu, namun pada saat akan menutup pintu tiba-tiba ia melihat sebuah foto aneh di lantai yang berada di belakang pintu. Jantungnya berdetak kencang saat membaca nama yang ada di foto hitam putih itu.      

"Tak mungkin, bagaimana bisa ini…"     

"Aaric, ayo tutup pintunya,"ucap dokter Louisa dengan suara cukup keras mengagetkan Aaric.      

"I-iya aunty."      

Bersambung     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.