Bebaskan Penyihir Itu

Teka-Teki



Teka-Teki

0Theo memanjat sebuah bukit yang kecil. Dari sini Theo bisa melihat garis istana Pangeran Roland secara samar-samar yang terletak di Kota Perbatasan.      1

Akhirnya, Theo kembali ke Kota Perbatasan. Dibutuhkan waktu hampir satu setengah bulan lamanya untuk pergi ke berbagai kota itu, sementara hanya dibutuhkan waktu tujuh hari untuk kembali pulang. Sebagian besar waktu Theo telah dihabiskan untuk berpindah dari Kota Perak ke Kota Air Merah. Bahkan jika Ashes tidak peduli, Theo akan tetap memilih jalan yang terpencil, untuk mengurangi kemungkinan bertemu dengan pihak gereja.     

Ashes yang memimpin jalannya, tetapi Theo tidak bisa memastikan apakah nama wanita itu asli atau tidak. Ashes selalu mengenakan jubah berwarna hitam, dengan pedang besar yang dibungkus kain yang berada di punggungnya. Rambutnya yang panjang dan berwarna hitam diikat dengan gaya kuncir kuda, dan mengayun ke sana kemari di pinggangnya. Meski sedang menaiki kuda atau sedang berlayar, Ashes tidak terlalu memperhatikan Theo, ia berjalan sendiri di depan, melihat pemandangan di sekelilingnya. Tampaknya perjalanan ke Kota Perbatasan ini hanyalah sebuah wisata bagi Ashes.     

Terkadang Theo meragukan penilaiannya terhadap wanita ini. Apakah Ashes benar-benar seorang prajurit? Jubah itu akan mengganggu gerakan tubuhnya dan rambut panjang itu juga tampak merepotkan. Terlebih lagi, sepertinya Ashes tidak takut diserang dari belakang, karena selama ini yang paling sering dilihat Theo adalah punggung Ashes. Theo tidak berpikir bahwa penyihir adalah orang yang mudah percaya. Theo berasumsi bahwa Ashes pasti memiliki kemampuan perlindungan diri yang tinggi, bahkan Liontin Penghukuman Tuhan tidak membuat Ashes merasa takut.     

Theo mencari sesuatu di sekitar bukit dan dengan cepat menemukan apa yang ia cari, sebuah tiang bendera dengan garis-garis merah di atasnya. Theo menggali kain dari dalam lumpur di samping tiang bendera dan mengganti bendera merah itu dengan kain berwarna biru. Kemudian Theo mengepalkan tangannya dan duduk di tanah.     

"Hanya itu aja?" Ashes bertanya kepada Theo.     

"'Pergi ke kaki bukit di timur laut kota, ikuti jalan berbatu dan temukan tiang bendera di atas bukit, lalu ganti bendera dengan warna biru, dan orang-orang kita akan memperhatikan.' Itulah yang harus aku lakukan." sahut Theo sambil menyeka keringat di dahinya. "Asosiasi Persatuan Penyihir hanya akan bertindak jika hari sudah malam, jadi mari kita tunggu di sini."     

Ashes mengangguk, dan ia duduk di tempat yang bersih, dan bertanya apakah Theo memiliki makanan.     

"Eh … tunggu sebentar." Theo membuka kantungnya, dan mengeluarkan sepotong daging. Theo memakan setengahnya, kemudian memberikan setengahnya kepada Ashes.     

Ketika Theo melihat Ashes mengunyah dendeng kering itu, ia menghela nafas. Kecuali pedang besarnya, Ashes bahkan tidak memiliki satu keping perunggu sama sekali. Tanpa uang sepeser pun, Ashes berani pergi ke Kota Perbatasan. Sepanjang perjalanan mereka, seluruh biaya akomodasi dan makanan dibayar oleh Theo. Ashes menginginkan kamar tidur sendiri dan juga gemar makan daging. Selain itu, Ashes tidak terbiasa dengan makanan ringan seperti dendeng daging.     

Mungkin Kota Perbatasan terdengar cukup asing bagi Ashes, namun ia cukup waspada. Lagi pula, bukankah pendekatan yang paling bijaksana adalah dengan menyiapkan makanannya sendiri?     

"Tempat yang akan kita tuju berada di seberang selat," Ashes sedang menelan daging itu, dan tiba-tiba ia berbicara, "Aku tidak tahu apakah kamu pernah mendengar rumor mengenai Fjords. Ada pulau-pulau yang tak terhitung jumlahnya, beberapa di antaranya sangat alami dan tidak berpenghuni. Kami harus membangun rumah yang cocok bagi para penyihir."     

Theo merasa terkejut, tidak peduli berapa banyak pertanyaan yang telah ia ajukan, tetapi Ashes tidak pernah mengatakan apa-apa sebelumnya. Mengapa sekarang Ashes mengambil inisiatif untuk membicarakan hal ini?     

"Apakah kamu bertanya-tanya mengapa aku tidak mengungkapkan sesuatu kepadamu sebelumnya?" Ashes menjelaskan, "karena jika kamu berbohong, kamu akan langsung mengirim pesan diam-diam ke gereja ketika aku tertidur di malam hari. Maka gadis-gadis itu kemungkinan akan langsung dihadang di tengah jalan, tetapi sekarang mereka seharusnya sudah berada di kapal menuju ke Fjords. Dan gereja tidak dapat menangkap mereka. Aku datang ke sini untuk mengambil para penyihir yang tak berdaya di Asosiasi Persatuan Penyihir. Cepat atau lambat mereka akan mengetahui berita ini, jadi tidak ada gunanya lagi untuk menyembunyikan darimu."     

"Meskipun aku telah membawamu sampai ke sini, kamu masih berjaga-jaga jika aku berbohong kepadamu."     

"Ya, itu benar," kata Ashes, "dan jika orang-orang yang datang ke sini bukan penyihir, kamu akan mati di sini, bersama dengan mereka yang mencoba membunuh kami para penyihir."     

"Baiklah," kata Theo, "bisakah aku mengajukan pertanyaan yang lain?"     

Ashes berpikir sejenak dan berkata, "Jika aku bisa, aku akan menjawab pertanyaanmu."     

"Apakah kamu datang dari Kerajaan Graycastle? Aku belum pernah melihat warna mata seperti itu sebelumnya." Theo memutuskan untuk memulai dengan tempat kelahiran Ashes, karena topik ini tidak sensitif, dan itu akan mengurangi kecurigaan Ashes terhadap Theo.     

"Aku lahir di Kerajaan Everwinter, tapi ini tidak ada hubungannya dengan warna mataku. Warna mataku sudah seperti ini sejak aku menjadi seorang penyihir."     

"Kerajaan Everwinter? Itu jauh sekali dari Kerajaan Graycastle. Ada banyak kerajaan di wilayah tengah, bagaimana kamu bisa datang ke Kota Perak?"     

"Aku dijual ke gereja, dan kemudian …" Ashes berhenti. "Aku berjalan dari biara di Kota Suci ke Kerajaan Graycastle sampai … Aku berhenti mengembara ketika aku bertemu dengan gadis itu."     

"Gadis itu?" tanya Theo penasaran.     

"Namanya Tilly Wimbledon," sahut Ashes dengan rona lembut terpancar dari matanya, "Tilly bersedia menerimaku."     

Theo tiba-tiba terkejut ketika ia mendengar nama itu. Awalnya Theo mengira itu adalah orang lain yang memiliki nama yang sama, tetapi arti nama Wimbledon memiliki arti yang sangat berbeda. Orang yang memimpin para penyihir ke Fjord adalah adik perempuan Roland Wimbledon, Putri Tilly? Suara Theo langsung tergagap. "Tilly, ia pemimpin kalian?"     

"Pemimpin kami? Bisa dibilang begitu." Ashes mengangguk. "Tetapi bagiku, Tilly adalah orang yang paling penting … tidak ada yang bisa menggantikannya."     

Ketika malam tiba, Theo dan Ashes menyalakan api unggun di lereng bukit.     

Ashes mengambil pedangnya, dan membuka kainnya dengan perlahan. Bilah senjata mengerikan ini selalu berada di pinggang Ashes. Pedang itu ditutupi banyak bekas gesekan. Pedang berwarna abu-abu gelap itu tidak memiliki tepian, dan jelas pedang itu dapat membunuh seseorang hanya dari beratnya. Sulit bagi orang biasa untuk mengangkat pedang seberat ini, tetapi di tangan Ashes, pedangnya seringan pedang biasa.     

[Berapa banyak bengkel pandai besi yang telah ia rampok, untuk membuat bahan yang dibutuhkan pedang ini?" Theo berpikir, "Dan jika penyihir Pangeran Roland tidak muncul malam ini, aku mungkin akan menjadi korban baru bagi pedang itu.]     

"Aku dengar bahwa Penguasa di Kota Perbatasan juga bernama … Wimbledon." Theo memutuskan untuk menemukan sesuatu topik untuk dibicarakan, jika tidak, penantian ini akan terasa panjang sekali.     

"Roland Wimbledon, Pangeran Roland dari Kerajaan Graycastle," kata Ashes perlahan, "Aku pernah melihat Roland Wimbledon sebelumnya."     

"Apa?" Theo sangat terkejut.     

"Ketika aku dibawa oleh Tilly dan melayani sebagai pengawal pribadinya di istana, aku mendapat kesempatan untuk bertemu dengan saudara-saudaranya." Ashes tampaknya sangat mengetahui mengenai Pangeran Roland. "Roland Wimbledon seorang yang tidak kompeten, sombong, seorang pria tanpa pengetahuan atau keahlian apa pun. Sulit dipercaya bahwa Roland Wimbledon adalah kakak Tilly, tetapi dalam beberapa hal, ia cukup berani."     

Nada suara Ashes menjadi lebih ketus.     

Theo merasa menggigil. Theo telah mendengar banyak rumor mengenai Yang Mulia ketika ia bertugas di istana, perilakunya yang spontan, genit dengan para pelayan. Meskipun Pangeran tidak pernah menyalahgunakan kekuasaannya, ia sering mengambil keuntungan dari orang lain. Pangeran Roland tidak mungkin ….     

Pada saat itu, Ashes tiba-tiba berdiri dan menatap ke arah jalan setapak. "Ada orang yang datang."     

Theo mengikuti pandangannya ke arah yang dilihat Ashes, dan sosok beberapa orang secara perlahan muncul di kegelapan malam. Penyihir yang berjalan di depan adalah pengawal pribadi Yang Mulia, yang bernama Nightingale.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.