Bebaskan Penyihir Itu

Alam Pertempuran Jiwa (Bagian I)



Alam Pertempuran Jiwa (Bagian I)

1Apakah ini semua … hanya mimpi?      3

Roland mengerjapkan matanya saat ia berjalan selangkah demi selangkah menuju ke pagar untuk melihat ke bawah gedung sekolah ditemani dengan cahaya matahari terbenam.     

Tidak ada seorang pun di lapangan yang luas itu. Di bawah siraman cahaya matahari terbenam yang berwarna oranye, lapangan itu tampak sepi dan bayangan tubuh Roland yang panjang terpantul di tanah. Di kejauhan Roland bisa melihat ada gedung perpustakaan dan asrama yang tampak familiar, dan matahari terbenam mewarnai jendela-jendela di gedung itu dengan kilau yang berwarna keemasan.     

Roland telah menghabiskan masa mudanya dengan belajar di sini selama hampir 7 tahun lamanya sehingga ia telah mengenal segala sesuatu yang ada di sini dengan sangat baik. Roland tahu bahwa ia sedang berdiri di atas atap gedung sekolah dan tempat ini adalah tempat favoritnya untuk menghabiskan waktu senggangnya.     

Roland punya banyak kenangan di tempat ini.     

Salah satunya gerbang besi yang ada di belakang Roland yang tertiup oleh angin sore yang hangat yang membuka dan menutup terus-menerus.     

Gerbang besi ini merupakan pemandangan unik yang bisa ditemui di atap gedung sekolah, dan catnya yang tampak karatan terlihat seolah-olah gerbang ini seperti peninggalan budaya yang digali oleh para arkeolog. Ketika Roland pertama kali datang ke sekolah ini, gerbang besi ini sudah sangat rusak. Jika gerbangnya didorong dengan pelan, gerbangnya akan terus mengeluarkan suara-suara berderit. Namun gerbangnya tidak berderit lagi setelah dibuka dan ditutup kembali. Seingat Roland, gerbang besi itu sudah mau roboh, namun, pada saat ia lulus dari sekolah itu, gerbang besi itu masih berdiri di atap sekolah.     

"Jika semua ini mimpi, mengapa aku masih menjadi Pangeran Roland?" pikir Roland.     

Roland menunduk untuk melihat tangannya yang ramping, kemudian ia menyentuh rambutnya yang berwarna abu-abu yang tergerai di bahunya. Rupanya, tinggi dan bentuk tubuh Roland memang berbeda dari dirinya yang asli.     

"Apa yang sedang terjadi?" pikir Roland.     

Roland mengerutkan keningnya, setelah beberapa saat ia teringat adegan terakhir yang dilihatnya adalah ketika Nightingale mendorong tubuhnya, kemudian ada seberkas cahaya yang melesat ke arahnya, lalu ia melihat wajah Nightingale yang panik dan putus asa.     

"Siapa kamu … sebenarnya?"     

Suara seorang wanita yang tidak terlihat tiba-tiba terdengar di samping Roland.     

Roland merasa takut dan ia langsung menoleh ke belakang, lalu ia melihat ada seorang wanita berambut putih panjang yang sedang berjalan ke arahnya. Wanita itu memiliki sepasang mata seperti Batu Ruby dan jubah berwarna merah-putihnya terjuntai sampai ke tanah dengan pola berwarna keemasan di bagian bawahnya, jubah itu jelas bukan berasal dari zaman modern. Selain itu, mahkota emas yang ada di kepala wanita itu menunjukkan identitasnya.     

"Kamu ini seorang Penyihir Suci?" tanya Roland dengan terkejut.     

"Benar. Dan aku juga Paus Tertinggi yang ke 15 di Kota Suci Hermes." sahut wanita itu, ia berhenti sejenak dan berkata, "Namaku Zero, dan aku tahu kamu bukanlah Roland Wimbledon yang asli."     

Wah wah, Roland mengerutkan kening dan berkata, "Jadi, apakah kamu yang telah menciptakan tempat ini?"     

Semuanya mulai terasa masuk akal. Berkas cahaya itu pastilah kemampuan yang Zero miliki yang ingin dihindari oleh Nightingale dengan cara mendorong tubuh Roland. Dan pemandangan yang ada di hadapan Roland ini pasti hanya sekedar ilusi atau alam virtual, semacam itulah. Saat Roland membuka matanya, ia sempat berpikir bahwa dirinya telah kembali ke dunia modern lagi.     

Meskipun Roland tahu bahwa mungkin gereja pada awalnya adalah Pusat Persatuan Penyihir, tidak pernah terpikir olehnya bahwa sang Paus tertinggi itu adalah seorang Penyihir Suci. Karena itu, rasanya sulit dipahami jika Roland melihat bahwa para penyihir ini tega mengubah penyihir-penyihir lain menjadi monster pembunuh yang tidak berperasaan.     

"Tidak, kamu yang menciptakan tempat ini." sahut Zero sambil berjalan ke arah Roland selangkah demi selangkah dan ia berkata dengan penasaran, "Tempat ini tersembunyi dalam ingatanmu dan sering muncul di sebagian besar kehidupan sehari-harimu. Tetapi aku ingin tahu di mana tempat ini berada. Kita berdua sama-sama tahu bahwa Pangeran Roland dari Kerajaan Graycastle tidak mungkin tinggal di tempat seperti ini."     

"Untuk apa aku memberitahumu?" tanya Roland sambil bergeser ke sisi lain gerbang besi dan menjaga jarak dari Zero.     

Apa yang bisa aku lakukan untuk menghilangkan ilusi ini? Roland memikirkan berbagai macam ide di benaknya. Mungkinkah aku bisa melompat turun dari gedung ini? Berdasarkan pengalaman Roland tentang mimpi buruk, biasanya seseorang akan langsung terbangun dari mimpi buruk jika orang tersebut melompat dari tempat yang tinggi.     

Zero tersenyum dan berkata dengan tenang, "Tidak apa-apa jika kamu tidak mau memberitahuku. Aku akan menghabiskan sedikit waktuku dan mencari tahu siapa kamu sebenarnya, dari mana kamu berasal dan bagaimana kamu bisa menjadi Pangeran Roland."     

Apakah nanti Zero bisa mengetahui identitasku yang sebenarnya? "Maksudmu, kamu bisa membaca ingatanku?" tanya Roland dengan nada dingin, "Tidak perlu repot-repot menyelidiki sesuatu yang tidak kamu pahami."     

Zero tiba-tiba berhenti berjalan dan berkata, "Kamu tahu? Biasanya aku akan menjelaskan kepada setiap orang yang terjebak dalam alam pertempuran jiwa ini, apa aturan mainnya, dan apa dampak dari kemampuan yang aku miliki. Semua orang akan mendapatkan penjelasan dariku, kecuali kamu."     

"Apa katamu?" tanya Roland dengan bingung.     

Saat Roland baru hendak melanjutkan pertanyaannya, ia melihat Zero tiba-tiba sudah berdiri di depannya. Dan rasa sakit yang tiba-tiba terasa membuat Roland kehilangan indra pendengarannya.     

Roland gemetar dan ia menundukkan kepalanya, lalu ia melihat ada sebuah pisau yang tertancap ke dadanya. Roland ingin berteriak kesakitan, tetapi ia tidak bisa mengeluarkan suara apa-apa. Dadanya benar-benar terkoyak dan paru-parunya tidak bisa mengembang dan mengempis untuk memompa sedikit udara sama sekali ke dalam tenggorokannya.     

Seperti arus listrik yang menyengat, rasa sakit yang amat sangat menyebar ke seluruh tubuh Roland. Roland lebih memilih untuk mati dalam sekejap daripada ia harus merasakan rasa sakit ini sedetik lebih lama.     

"Karena aku tidak suka segala sesuatu yang membuatku bingung." jawab Zero dengan nada dingin.     

Di ujung pisau yang tertancap di dada Roland, terpantul wajah Zero yang tetap terlihat tenang. Setengah dari pakaian Zero terciprat oleh darah Roland yang menyembur keluar dari dadanya. Karena hipoksia[1] yang ia alami, Roland mulai kehilangan kesadarannya.     

Tetapi sedetik kemudian, Roland sudah berdiri lagi di samping gerbang besi, tubuhnya kembali utuh. Selain itu, Zero juga masih berdiri jauh darinya, seolah-olah wanita itu tidak pernah beranjak dari sana.     

"Apa yang terjadi barusan?" pikir Roland sambil menarik napas dalam-dalam. "Apakah yang tadi itu hanya ilusi?" Roland meraba-raba dadanya yang bergerak naik turun dengan panik, dadanya masih terasa sakit sedikit. Lalu Roland menundukkan kepalanya, ia melihat ada genangan darah di sana.     

"Sialan, jadi yang terjadi barusan itu benar-benar nyata," pikir Roland.     

Sambil menatap ke arah pisau yang dipegang oleh Zero, Roland merasa terkejut karena ia tidak melihat wanita ini memegang sesuatu sebelumnya.     

"Apa penyihir ini bisa menciptakan sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada?" pikir Roland.     

Tepat pada saat itu, Zero bergegas menuju Roland lagi. Zero bergerak sangat cepat sehingga Roland tidak bisa melihat gerakannya dengan jelas.     

Roland langsung berbalik untuk melarikan diri, tetapi sesaat setelah ia melangkahkan kakinya, Roland kembali merasakan sakit, kali ini di bagian perutnya.     

Kemudian, Roland mengalami kematian sekali lagi. Zero memegang pisau panjangnya untuk membelah tubuh Roland menjadi 2 bagian. Rasa sakit kali ini berlangsung lebih lama dari yang terakhir dan ia terjatuh ke dalam genangan darahnya sendiri dan Roland nyaris kehilangan nyalinya. Rasa sakit yang berlangsung lama ini membuat Roland menjerit dengan sangat kencang sampai-sampai ia sendiri takut mendengar suara jeritannya sendiri.     

Setelah kebangkitan Roland dari kematian yang kedua, Roland menyadari sesuatu.     

Ini adalah sebuah dunia mimpi buruk yang tidak bisa dengan mudah dihancurkan hanya dengan melompat dari sebuah tempat tinggi atau merasakan rasa sakit yang hebat. Alam pertempuran jiwa ini seperti semacam siklus yang terus berputar.     

"Sialan. Bagaimana aku bisa melarikan diri dari tempat ini? Bagaimana aku bisa mengalahkan penyihir berambut putih yang ada di depanku itu?" pikir Roland.     

"Zero bisa membuat senjata dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada, tetapi bagaimana denganku?" Roland menggertakkan giginya dan mulai mengumpulkan semangatnya kembali. "Andai saja aku punya sebuah perisai, aku mungkin masih bisa melawan penyihir itu."     

Seberkas cahaya berwarna biru tiba-tiba muncul.     

Perisai anti ledakan berwarna transparan tiba-tiba muncul di tangan Roland. Roland berhasil menangkis serangan Zero, tetapi ada bekas goresan yang dalam di perisainya. Yang lebih buruk, Roland bahkan sempat terpental ke belakang akibat benturan yang sangat keras itu.     

"Oh, jadi begitu cara kerjanya," pikir Roland dalam hati.     

Ketika berguling-guling di tanah, Roland menjatuhkan perisainya dan membayangkan sebuah senapan otomatis.     

Ketika Roland mengangkat senapannya untuk menembak Zero, wanita itu sudah menghilang.     

"Apa yang terjadi, di mana penyihir itu?" pikir Roland.     

"Aku di sini." jawab Zero.     

Suara Zero tiba-tiba terdengar di sebelah telinga Roland.     

Seberkas cahaya putih melesat, dan lengan Roland terputus dan jatuh ke tanah, begitu pula dengan senapan yang sedang dipegangnya.     

[1] Kondisi di mana tubuh kekurangan oksigen yang mengakibatkan kerusakan pada otak, jantung, pembuluh darah dan sistem pernapasan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.