CINTA SEORANG PANGERAN

Zarina yang Malang



Zarina yang Malang

0Air mata Zarina sudah berhamburan dengan deras. Turun mengalir menganak sungai membasahi kedua pipi dan lehernya. Tangannya kini dipegang oleh Amar dan di tekan ke atas kepalanya. Sebagai Jendral yang sudah bertahun - tahun mengajarkan ilmu beladiri ke anak buahnya. Mengunci tangan Zarina seperti itu jelas bukanlah perkara yang sulit. Ke dua kakinya juga mengunci kaki Zarina sehingga Zarina kini tidak bisa berkutik.      
0

Zarina semakin berteriak histeris ketika tubuh Amar kembali bergerak. Zarina berusaha menggerakkan tubuhnya menolak tubuh Amar yang memaksa terus. Keringat berleleran seakan ingin bersaing dengan air mata. "Saakiiit.. sakiiiit..Amaar.. apa yang telah kau lakukan.. Kau menganiayaku. Kau menyakitiku. Kau memaksakan.. apa Akh..mmm.." Zarina begitu kalap. Ia mengamuk di bawah himpitan tubuh Amar. Amar mengelus kepala Zarina oleh tangan kirinya. Zarina menggeleng - gelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sambil berteriak - teriak putus asa.      

Tubuh Amar semakin terasa sangat menyakitinya. Ia merasakan tubuhnya seperti ditarik ke dua arah yang berbeda. Perihnya bukan alang kepalang. Ia kini mempercayai cerita Alena yang menceritakan kalau rasanya akan sangat menyakitkan dan Ia harusnya minta di bius saja.     

'Sakit.. ya.." Amar menatap Zarina yang bagaikan orang kesurupan. Mukanya pucat pasi dengan rambut hitam legam itu acak - acakan. Tubuh Zarina terasa basah dan lengket karena keringat. Tubuh itu terus menggeliat - geliat di bawah tubuh Amar.     

Zarina menatap Amar dengan melotot lebar dan terlihat sangat bengis. Mata Zarina adalah mata khas orang India. Bulat, besar dan lebar bagaikan permukaan danau. Mata indah itu dinaungi oleh bulu mata yang sangat lebat dan hitam. Dalam keadaan biasa saja mata itu begitu lebar hingga hampir menenggelamkan setiap orang yang memandangnya apalagi kini matanya melotot maka efeknya malah membuat Amar semakin terpesona.     

"Alangkah cantiknya matamu Zarina.." Kata Amar sambil mengecup kedua mata Zarina. Zarina mengeram seperti seekor macam mengerami mangsanya.       

"Aku sangat bahagia menjadi suamimu. Terima kasih Kau sudah bersedia menjadi istriku " Kata Amar sambil mengangkat pinggulnya sedikit ke atas lalu Ia mengayunkan ke depan sekuat tenaga. Ada selapis pertahanan yang diterjang paksa oleh Amar yang membuat tubuh Zarina seperti robek terbelah dua. Tubuh Zarina tampak mengejang sambil menjerit sekuat tenaga.     

Suaminya begitu tega merobek tubuhnya. Sakit yang Ia rasakan seakan menoreh dari ujung rambut ke ujung kaki. Zarina melolong bagaikan srigala lapar. Ia sangat menyesal tidak mengikuti nasehat Alena. Harusnya Ia benar - benar minta dibius total     

"Aaakh... Saaakiiiiit.... AAAAA... Yang Mulia Pangeran Nizam.. tolong!!! Jendralmu mau membunuhku.. AAAKH..mmmm... sakiiit"  Zarina melonjak - lonjak dengan kedua kaki menerjang - nerjang. Ada sesuatu yang mengalir dari dalam tubuhnya seperti air kanal yang merembes keluar dari retakan bendungan. Ketika aliran dari tubuh Zarina  semakin kuat merembes membasahi tubuh Amar yang merobeknya, Amar mulai merasakan kenyamanan dan kelegaan. Ini indah... sangat indah. Amar menyesal tidak melakukannya sejak pertama Zarina menjadi istrinya.     

Rasa perih yang dirasakan Amar hilang sudah dan Ia merasakan sensasi keindahan yang baru Ia rasakan seumur hidupnya. Kalau tadi Ia merintih menahan sakit sekarang Ia mendesah merasakan kenikmatan. Amar tahu kalau Ia sudah merobek tubuh Zarina dan Amar tahu kalau Zarina pasti sangat kesakitan.     

Muka istrinya sudah pucat sepucat - pucatnya. Tubuhnya yang tadi terus melonjak - lonjak menahan sakit mulai menggelepar bagaikan ikan kekurangan air. Kaki jenjang dan berisi itu menerjang - nerjang seumpama kaki seekor kancil yang sudah masuk ke dalam mulut harimau. Kancil itu sudah berada di dalam mulut harimau dengan leher robek dan aliran darah yang tercecer di sepanjang jalan.      

Amar membiarkan Zarina mengamuk. Ia hanya menahan tubuh Zarina agar tidak lepas. Ia tahu semakin Zarina mengamuk maka robekan semakin melebar dan memanjang dan darah  semakin kuat mengalir. Tetapi kalau Ia melarang Zarina mengamuk juga akan membuat Zarina semakin tersiksa karena tidak memiliki pelampiasan. Maka yang Ia lakukan adalah hanya menyembunyikan mukanya di leher Zarina yang jenjang.     

Leher yang tadi begitu wangi bunga melati kini menguarkan harum keringat Zarina dan saliva dari mulut Amar tapi harum itu malah membuat Amar semakin gemetar karena geloranya yang hampir meledakkan tubuhnya. Ia gemetar dengan sebagian tubuhnya masih berada diluar dan tidak sabar ingin segera ikut masuk.      

Karena terus menerus mengamuk dan berteriak histeris akhirnya Zarina merasa lemas. Ia kini tergeletak pasrah di bawah naungan tubuh Suaminya. Tangannya bahkan kini terkulai dan tidak keras lagi. Suaranya juga semakin parau. Kepala Zarina terasa pusing karena tangisan yang terus menerus. Matanya yang besar bagaikan danau itu kini bengkak hebat. Hidungnya yang mancung memerah.      

Zarina hanya bisa menatap Amar dengan pandangan memilukan. Suaranya lemah memohon ampun. Zarina terus mememohon agar Amar melepaskannya.     

"Suamiku.. ini sangat sakit.. seumur hidupku aku belum pernah sesakit ini. Tubuhmu sangat menyakitiku. Mengapa rasanya sangat sakit.. Cabut saja ya.. aku mohon.. Aku minta ampun, Amar.. ini sangat.. saakiiit. Aku.. Akh... Akh.. Ouch... Amar... Kau memang SETAAAAN...." Zarina berteriak melengking dengan sisa suara yang sangat mengibakan. Di saat Ia memelas dan memohon ampun Amar malah menghentakkan tubuhnya semakin kuat. Tubuh Zarina terangkat sebelum kemudian terhempas karena dorongan tubuh Suaminya.      

Zarina kembali menerjang - nerjang sebelum kemudian suara Zarina benar - benar habis ketika Ia berteriak sekuat tenaga hingga terdengar ke ujung langit. Suaminya dengan tega membenamkan semua tubuhnya ke dalam tubuh Zarina. Seluruhnya terbenam di dalam tubuh Zarina. Mata Zarina kini tampak mendelik ke atas dengan kedua kaki terpentang lebar. Tangannya memegang bahu Amar dengan gemetar.     

Amar menarik nafas lega. Tadinya Ia mengira bahwa Ia tidak akan dapat memasukan tubuhnya sekaligus tetapi berkat perjuangan kerasnya dan dengan begitu sabar akhirnya Ia bisa merasakan kemenangan yang luar biasa.     

Amar kembali mengelus rambut Zarina yang basah. Ia merasakan seluruh tubuhnya sudah terbenam dengan nyaman. Dan Amar merasakan keindahan alam semesta yang seakan sedang tertumpah di atas tubuhnya. Apalagi ketika Ia mencoba menggesekkan tubuhnya sedikit ke tubuh istrinya. Itu sangat.. sangat indah dan menyenangkan. Dan secara nalurinya Amar kemudian menggerakan tubuhnya dengan leluasa.     

Nafas Zarina mulai tersenggal - senggal seperti akan kehabisan nafas. Sekujur tubuhnya sangat sakit. Zarina sudah hampir pingsan  ketika Amar kemudian malah memacu tubuhnya di atas tubuhnya. mata Zarina yang teler itu langsung kembali melotot. Apa yang sebenarnya Amar lakukan. Bukankah semuanya sudah terbenam di dalam. Mengapa Sekarang Ia melakukan gerakan yang sangat keji. Ia memacu tubuhnya di atas tubuh Zarina dengan sangat kuat.     

Kesadaran Zarina yang hampir pulih kini kembali menguat. Merasakan tubuh suaminya malah naik turun di atas tubuhnya maka Zarina kembali mengamuk. Jeritannya yang sudah sangat parau terdengar semakin meyayat hati. Tetapi Amar malah terus bergerak mencari kepuasan di atas tubuh istrinya.     

Permintaan maaf Amar pada Zarina berbaur dengan tangisan Zarina dan desahan kenikmatan Amar sendiri. Zarina akhirnya hanya menatap Amar dengan pandangan tidak percaya. Kalau saja Ia tidak mengalami sendiri peristiwa ini maka seumur hidupnya Zarina tidak akan pernah percaya perkataan Alena kepadanya.      

Kepala Zarina semakin berat, Ia menyaksikan bagaimana Amar memerah sambil memacu tubuhnya. Amar mengggigit bibirnya ketika gerakan tubuhnya semakin cepat. Tubuh Zarina semakin kaku dan kakinya semakin pegal. Suaranya juga sudah tidak ada. Ia serak dan parau. Air matanya sudah kering menetes. Dan kepalanya sangat sakit. Tubuh bagian bawahnya sudah porak poranda bagaikan kota yang diterjang angin topan. Dan walaupun rasa sakit semakin menjadi, Zarina sudah lemah tidak berdaya sehingga ketika Amar melepaskan cintanya ke dalam tubuhnya Zarina hanya menggeliat sebelum kemudian Ia terhempas pingsan tidak berdaya.      

Zarina tidak sadar ketika Amar terkulai dengan penuh kepuasan. Jiwanya seakan sudah tercerabut karena rasa sakit yang menderanya. Dan tetesan darah yang mengalir bukti bahwa pengorbanannya sebagai seorang istri baru dimulai.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.