CINTA SEORANG PANGERAN

Ampuni Aku, Nizam !!



Ampuni Aku, Nizam !!

0Sosok tubuh, berbadan tinggi besar dengan wajah tampan karismatik itu tampak berdiri di depan pintu yang sudah dibukakan oleh pengawalnya.  Semua pelayan termasuk Bastnah langsung membungkukkan badannya memberikan hormat kepada Nizam. Wajah tampan Nizam tampak begitu menakutkan. Alena yang biasanya selalu menyukai ketampanan Nizam kini tidak berani memandangnya sedikitpun. Alena yang biasanya begitu merindukan Nizam kini sama sekali tidak ingin bertemu dengan Nizam. Ia ingin pergi menjauh dari Nizam sejauh – jauhnya.     
0

Alena menelan ludahnya ketika Nizam melangkah masuk diikuti seorang pelayan yang membawa baki di tangannya. Bastnah belum melihat ketika apa yang dibawa Nizam tetapi ketika kemudian, Nizam berkata,     

"Keluar semua dari kamar ini. Tidak ada yang boleh masuk ke dalam kamar tanpa seizinku " Kata Nizam dengan suara yang begitu dingin. Arani langsung masuk dan membungkuk di belakang Nizam sambil berkata,     

"Hamba hanya sekedar mengingatkan kalau Yang  Mulia Putri Alena adalah istri Yang Mulia. Ibu dari anak – anak Yang Mulia " Kata Arani dengan penuh penekanan.     

Nizam mengerutkan keningnya dan menjawab, " Kau pikir Aku akan membunuhnya ? Walaupun saat ini itu ingin Aku lakukan "     

"Astaghfirulloh, Yang Mulia apa sebaiknya Yang Mulia tidak menghukum Yang Mulia Putri Alena sekarang. Ini sangat menakutkan " Kata Arani     

Nizam malah membentak dengan kuat, " Keluar!! Keluar semuanya !! Ini urusan antara Aku dan istriku" Kata Nizam tidak sabar lagi. Para Pelayan langsung menggigil ketakutan dan mereka segera beranjak pergi. Bastnah berdiri dengan badan masih sedikit membungkuk tapi kemudian matanya tertumbuk pada sebuah benda yang  berada di baki pelayan.     

Bastnah langsung tahu kalau benda itu adalah cambuk yang biasa digunakan untuk menghukum seseorang yang berbuat salah. Cambuk itu memiliki ciri khas tersendiri. Berbentuk panjang membulat dengan panjang hampir satu lengan dan terbuat dari rotan pilihan.  Jenis cambuk itu berbeda – beda sesuai dengan tingkatan hukuman dan tingkatan status orang yang berbuat kesalahan.      

Cambuk yang menyakiti adalah cambuk yang ujungnya mengecil bahkan cambuk untuk tawanan yang dicurigai sebagai mata – mata ujung cambuk sengaja berduri agar efek sakitnya semakin terasa dan mereka cepat mengaku.     

Cambuk dimiliki oleh semua orang  di kerajaan Azura. Orang – orang dikerajaan Azura dari mulai rakyat biasa, penghuni kerajaan seperti para pelayan, kasim atau penjaga, para putri, para pangeran dari kecil sudah terbiasa di hukum cambuk kalau melakukan suatu kesalahan. Bahkan Alena sendiri dia pernah merasakan bagaimana sakitnya dicambuk waktu Ia pertama kali datang ke Azura.     

Bastnah langsung tahu kalau Nizam akan mencambuk Alena, tidak dapat di tahan Ia segera berbalik dan menjatuhkan tubuhnya dihadapan Nizam lalu berlutut. Ia tidak ikhlas Alena akan dicambuk. Bagaimana bisa kulit Alena yang begitu halus dan mulus itu akan dicambuk walaupun cambuknya hanya sebuah rotan. Yang tingkat rasa sakitnya paling ringan dibandingkan cambuk yang lain.     

"Yang Mulia Pangeran Nizam. Tolong jangan lakukan itu. Biarkan Hamba yang akan menggantikannya. Biarkan hamba saja yang dicambuk. Hamba Mohon " Bastnah menangis sambil berlutut. Meliha Bastnah berlutut para pelayan dan semua pengawal termasuk Ali, Fuad dan Amar serta Arani langsung turut serta berlutut.     

"Ampuni Yang Mulia Putri Alena " suara mereka menggema ke seluruh ruangan bahkan mereka kini mulai bersujud dengan menyentuhkan kening mereka ke lantai. Hanya Jonathan yang berdiri terpaku tidak mengerti dengan kelakuan orang – orang yang ada didepannya.     

Melihat semua orang berlutut Nizam malah mengambil cambuk rotannya dan berteriak, "Keluar !! Cepat keluar atau Aku akan tambah marah. Tingkah kalian yang selalu memanjakannya membuat Ia tidak bisa berpikir dengan jernih. Ia tidak akan pernah berubah kalau tidak  Aku hukum." Kata Nizam sambil berteriak membuat semua orang lalu keluar. Mereka menjadi takut Nizam akan bertambah marah kepada Alena.     

Alena semakin menggigil ketakutan melihat Nizam memegang cambuk ditangan kanannya. Apalagi ketika Ia melihat pintu ditutup dari luar walaupun tidak dikunci. Alena langsung berlari mengejar para pelayan ingin melarikan diri. Tapi tangan Nizam bergerak cepat menarik tangannya dan menyentakkan tubuh Alena ke pelukannya. Ia lalu mengangkat tubuh Alena dibagian pinggangnya dan membawanya bagaikan membawa sebuah anak kambing. Tubuh Alena seperi seringan kapas. Alena meronta – ronta sambil berteriak – teriak. Tetapi tangan kanan Nizam sangat erat memegang pinggangnya.     

"Nizam..jangan!! Jangan cambuk Aku !! itu sakit.. Nizam tolong jangan! " Alena meronta – ronta dalam pegangan Nizam. Tetapi Nizam tidak memperdulikan teriakan Alena. Ia duduk di sisi ranjang kemudian menyimpan tubuh Alena dalam pangkuannya. Alena bertelengkup di atas pangkuan Nizam. Alena meronta – ronta semakin kuat tapi Nizam menekan punggungnya. Lalu dengan kirinya Ia menarik rok lingerie Alena keatas sehingga pant*t  Alena terlihat jelas. Bokong yang sangat indah itu begitu sempurna dengan celana berwarna hitam yang senada dengan rok lingerienya.     

Dalam kondisi tidak marah. Melihat betapa cantik, harum dan seksinya Alena dengan Lingerie berwarna hitam, pasti Nizam sudah langsung luluh dan akan langsung menyentuh Alena dengan penuh gairah. Tetapi kali ini amarah yang menguasai Nizam menghilangkan gelora asmaranya. Bayangan pangeran Abbash yang menyentuh Alena membuat Ia menjadi gila. Ia tidak dapat menahan api cemburunya yang membakar seluruh akal sehatnya.     

Nizam seperti orang yang bodoh menuduh Alena membiarkan Pangeran Abbash Menyentuhnya. Bagaimana Alena tahu kalau di tubuh Lolita ada Jiwa Pangeran Abbash. Ini adalah tuduhan yang tidak manusiawi.      

Nizam menatap bokong Alena yang bergerak – gerak karena meronta – ronta. Dengan mulut yang terkatup rapat dan mata menatap tajam. Nizam menarik nafasnya lalu Ia mengangkat tangan kirinya dan kemudian mengayunkannya ke pant*t Alena. Cambuk rotan yang keras dan lentur itu langsung mengayun dan menimpa kulit yang begitu mulus dan halus.     

"AAKH… NIZAAM….. SAAKIIIT …" Alena menjerit kesakitan. Alena merasakan rasa sakit, perih dan panas langsung menyeruak menyentuh kulit Alena yang sensitif. Kulit yang berwarna coklat susu itu langsung berwarna merah terang bekas cambukan rotan. Nafas Alena serasa putus, Ia tersenggal – senggal menahan sakit dan Nizam malah kembali mengangkat tangan kirinya. Tangan kirinya kembali berayun dan menghantarkan cambuk rotan kembali ke atas pant*t Alena.     

Alena kembali menjerit histeris, " SAAKIIT !! Nizam .. AMPUUUN… Akh.. Aduh.. Aduh.." Tubuh Alena semakin meronta – ronta. Airmatanya langsung berurai menetes membasahi lantai. Nizam menulikan telinganya. Ia kembali mengangkat tangan kirinya, dan rotan ditangan Nizam kembali bergerak mencambuk Alena. Alena kembali menjerit. Tubuhnya menggeliat menahan sakit. Kakinya mengejang di atas pangkuan Nizam. Wajahnya pucat pasi. Pant*tnya terasa sangat sakit. Bilur – bilur merah semakin banyak bahkan kini sudah berwarna biru kehitaman.     

Dan Ia serasa mau mati ketika Nizam terus mengayunkan tangannya padahal Alena terus berteriak – teriak minta ampun. "Ampuni Aku Nizam. Aku bersumpah tidak akan berbuat seperti itu lagi. Akh…akah…Nizam sakit.. Jangan..Huu..u.. Nizam sakit… Aku kapok Nizam.. Yang Mulia..Yang Mulia…" Alena terus meronta – ronta bagaikan orang gila. Nizam sama sekali tidak besuara mendengar rintihan Nizam. Ia sangat marah dan kesal. Dadanya terasa panas membara.     

Bayangan tangan Pangeran Abbash yang menyentuh Alena terus menerus membayangi pelupuk matanya. Setiap amarahnya meluap maka pukulannya semakin keras. Walaupun Nizam sangat marah tetapi Ia masih sadar dengan memukul Alena dibagian Pant*t dan tidak dibagian tubuh. Ia juga sengaja memukul dengan menggunakan tangan kiri agar tenaga yang Ia keluarkan tidak terlaku kuat.     

Tetapi walaupun begitu Bagi Alena tetap saja sangat menyakitkan. Alena merasakan pant*tnya terasa panas, perih dan nyeri. Rasanya berdenyut – denyut. Jeritan dan Tangisan Alena terdengar keluar karena memang kamar hukuman itu sengaja tidak dibuat kedap suara agar orang yang diluar memang dapat mendengar kejadian di dalam.     

Arani berdiri membeku di dekat  Jonathan dengan wajah yang kelam. Amar melarikan diri ke kamarnya. Ia tidak ingin mendengar jeritan Alena yang membuatnya seperti gila. Ali dan Fuad bahkan sampai tidak mampu berdiri saking tidak dapat menahan lutut mereka yang terasa lemas. Bastnah bahkan sampai ambruk pingsan dan membuat para pelayannya langsung menggotongnya ke sebuah kursi sofa dengan susah payah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.