CINTA SEORANG PANGERAN

Belajar Mencintai (4)



Belajar Mencintai (4)

Tangis Lila terdengar semakin keras. Edward yang kebingungan mengguncangkan bahu Lila dengan lembut. Ketika hendak menggapai puncaknya Edward serasa mengawang-awang diatas lautan kenikmatan. Hal yang baru pertama kalinya Ia rasakan. Ia antara sadar dan tiada sehingga ketika Lila melontarkan pertanyaan Ia menjawab dengan serampangan. Apa yang ada di alam bawah sadarnya muncul ke permukaan tanpa Ia sadari. "Apa kau merasa kesakitan? " Edward malah mengira Lila menangis karena kesakitan. Mendengar pertanyaan Edward Lila semakin keras menangisnya.     

Lila berpikir Edward sungguh keterlaluan. Edward telah menyakitinya secara fisik, tubuh Edward telah merobek-robek tubuhnya tetapi yang ada dalam otaknya hanya Alena. Padahal tadinya Ia mengira bahwa Edward dalam keadaan tidak sadar akan menyebutkan bahwa Ia mencintai dirinya bukan mencintai Alena.     

Bukankah Edward ketika sedang dalam keadaan fly Ia tidak akan sadar atas apapun. Dan Lila ada didepannya, tepat di bawah tubuhnya. Seharusnya Edward akan mencintainya tanpa sadar tetapi nyatanya Edward malah tetap mencintai Alena. Sakit hati Lila tidak tertahankan lagi. Dan Lila semakin kesal karena Edward lupa Ia telah menyebutkan nama Alena tadi.     

"Ya Tuhan, Lila..Mengapa Kau semakin keras menangisnya? Ayo kita ke dokter saja" Kata Edward sambil tanpa sadar melihat kebawah tubuhnya. Muka Edward langsung memerintahkan ketika melihat ada darah pada tubuhnya. Ia juga lalu melihat ke arah tubuh Lila, mukanya tambah memerah melihat tubuh Lila. Ia segera mengambil selimut dan menyelimuti tubuh Lila yang sedang meringkuk menangis tersedu-sedu.     

"Lila..Aku panggilkan dokternya ke sini yah?" Tanya Edward sambil kemudian Ia mencari-cari pakaiannya. Tapi Lila segera menarik tangan Edward. "Aku tidak apa-apa, Aku sehat. Hanya sakit sedikit. Kau tidak perlu memanggil dokter"     

"Lantas Kenapa Kau menangis?" Edward mengerutkan keningnya.     

"Aku menangis karena bahagia" Kata Lila sambil mencoba tersenyum. Bersitegang dengan Edward dimalam pertama mereka sungguh bukan tindakan yang bijaksana. Ia sudah berkorban banyak sejauh ini. Ia harus bertindak hati-hati. Salah sedikit saja Edward bisa lari meninggalkannya.     

Mendengar kata-kata Lila. Edward tersenyum manis. Ia membelai pipi Lila dengan lembut.     

"Air matamu laksana embun yang turun dipagi hari. Setiap tetesnya melambangkan kesucian seorang wanita. Kau umpama mawar putih ditengah hamparan pasir yang memutih. Keberadaanmu tidak ketara tapi wanginya menyelimuti mayapada" Edward berkata seraya merengkuh tubuh Lila ke dalam pelukannya. Lila tengadah menatap wajah rupawan itu.     

"Tubuhmu sesuci tetesan air yang tercurah dari surga. Kau adalah selaksa keindahan alam semesta. Kau adalah madu bagi tubuh yang gersang ini. Apakah boleh Aku mengecapnya lagi?" Kata Edward sambil berbisik. Mata Lila terbeliak, tubuhnya yang ngilu terasa semakin berdenyut. Ia mencengkram tangan Edward dengan kuat. Edward malah tersenyum melihat Lila ketakutan hasratnya malah semakin bangkit.     

Edward mengelus rambut Lila dengan lembut tubuh Lila yang gemetar Ia dekap dengan hati-hati.     

"Kau jangan gemetar, sweethear. Semakin Kau gemetar kau semakin mengguncangkan hatiku. Jangan salahkan diriku yang terpesona oleh harumnya tubuhmu. Kau semerbak laksana ribuan melati yang kau taburkan untuk memabukkan diriku." Edward mencium leher jenjang Lila dengan lembut. Lila merintih dengan perasaan tidak karuan.     

"Honey.. Aku tidak tahan mendengar rintihanmu. Lama-lama aku bisa gila berdekatan dengan mu" Tangan Edward sudah tidak terkendali lagi. Lila yang tadinya mengkeret sekarang sedikit mengendur. Merasakan tubuh Lila mulai mengendur tidak kaku lagi. Ia juga merasakan tubuh Lila yang gemetar kini semakin merapat ke tubuhnya.     

Edward tersenyum bahagia, ketika tangannya kemudian menarik selimut yang menutupi tubuh Lila. Ketika simponi syahdu terdengar kembali. Semua alam seakan ikut mendendangkan lagu cinta yang melantun indah.     

***     

Sementara itu di apartemen Nizam tampak Cynthia dan Pangeran Thalal sedang menikmati cemilan khas Azura. sedangkan dihadapan mereka Nizam malah membaca setumpukan dokumen perusahaan Azura yang ada di Amerika. Sedangkan Alena sudah terlelap setelah selesai sholat Isya. Karena sejak dipaksa pulang Ia ngomel-ngomel terus pada Nizam sehingga Nizam terpaksa mengajaknya berjalan-jalan ke sebuah taman hiburan. Akibatnya sekarang Ia terkapar kelelahan.     

"Kakak.. Apa kau tahu tentang ramalan wanita tua?" Kata Pangeran Thalal dengan polos. Cynthia langsung terbatuk-batuk keras. Kata-kata suaminya mengejutkan dirinya. Bukankah Cynthia tadi sembunyi-sembunyi berbicara dengan wanita tua itu. Wajah Nizam yang sedang serius langsung berkerut. Ia menatap Pangeran Thalal dengan penuh rasa ingin tahu.     

"Apa maksudmu?" Tanya Nizam. Tetapi Pangeran Thalal malah terdiam karena dibawah meja kaki Cynthia menginjak Kakinya berkali-kali sebagai isyarat menyuruh dia diam. Melihat itu Nizam jadi melotot.     

"Apa yang kalian sembunyikan?? Bicaralah sebelum Aku naik darah!!" Suara Nizam bagaikan gelegar petir disiang hari membuat nyawa Pangeran Thalal hampir terbang. Kue yang dipegang Cynthia langsung jatuh ke atas piring.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.