CINTA SEORANG PANGERAN

Pekerjaan Penuh Bahaya



Pekerjaan Penuh Bahaya

0Nizam berdiri sambil memegang handphonenya. Ia hendak menjawab telepon Arani sambil berdiri di depan jendela tetapi Alena malah mencubit pant*tnya dari belakang. Nizam memekik, "Ouch... Alena, sakit." Nizam mengusap yang dicubit Alena.     
0

"Pakai baju! Tidak tahu malu! tubuhmu kelihatan kemana - mana," kata Alena sambil melemparkan selimut tipis yang biasa mereka pakai bersama. Muka Nizam merah padam karena Ia masih tersambung dengan Arani. Arani pasti mendengarnya.     

"Maaf...," bisik Nizam pada Arani sambil menjauhi Alena. Arani yang sudah terbiasa sekali dengan tingkah dua orang majikannya itu malah berdehem.     

"It's fine Yang Mulia. Hamba sudah terbiasa," balas Arani malah semakin membuat Nizam merah padam. Ia lalu berdehem untuk menghilangkan rasa malunya dan langsung membelokkan perbincangan ke arah yang lain.     

"Jadi bagaimana? Ada apa?" kata Nizam sambil mengusap tekuknya. Ia sebenarnya sudah menduga apa yang akan terjadi tetapi Ia masih belum yakin kalau dugaannya benar. Ketika Arani melarangnya untuk mengambil tindakan kepada Putri Nadia. Nizam langsung tahu kalau Ia tidak harus turun tangan sendiri.     

"Putri Nadia sudah mati tadi pagi," kata Arani dengan dingin. Tidak ada kesedihan untuk wanita jahat itu. Ia sudah banyak mencelakakan orang lain.     

"Kau benar, ternyata orang itu ketakutan sendiri dan membunuh Putri Nadia agar dia tidak bisa membuka mulutnya." Nizam menyeringai. Ia tampak cukup puas dengan kematian wanita yang hampir membuat Alena mati dan Putri Rheina masuk ke dalam penjara.     

"Apakah Yang Mulia tahu siapa yang membunuhnya?" tanya Arani. Ia ingin menyamakan dugaannya dengan Nizam.     

"Mengapa kau bertanya seperti itu? Bagaimana dia bisa mati? Apakah dia diracun atau digantung?"     

"Katanya dia gantung diri. Dia gantung diri karena merasa bersalah sudah membuat kekacauan di dalam harem."     

"Oh.. gantung diri? apa mungkin orang yang dicambuk separah itu bisa mencari menggantung dirinya?" Nizam mendengus. Arani malah menyeringai membayangkan kebodohan orang yang membuat alibi seperti itu.     

"Orang - orang di dalam harem dan orang - orang yang terlibat di dalamnya semakin bodoh saja," sambung Nizam melanjutkan perkataannya.     

"Hamba mengira tadinya matinya akan diracuni tetapi malah gantung diri." jawab Arani sambil mengerutkan keningnya.     

"Orang itu ingin menghindarkan dari tuduhan pembunuhan. Menggunakan racun lebih tidak masuk di akal daripada gantung diri."      

"Tapi mengapa?"     

"Membawa masuk racun ke dalam akan lebih sulit dibandingkan dengan menemukan selendang untuk bunuh diri. Tetapi dia lupa kalau Putri Nadia terluka parah jadi tidak mungkin dia menggantung dirinya"     

"Apakah akan ada penyelidikan lebih lanjut? Apakah Yang Mulia akan mengusut kasus ini?" Arani sangat penasaran dengan tindakan Nizam.     

"Untuk apa? Kematian Putri Nadia berbeda dengan Putri Kumari. Putri Kumari mati di racuni orang lain di tengah - tengah perjamuan makan. Ia tidak bersalah dan mati mengenaskan di dalam harem. Kerajaannya berhak menuntut kematian Putri Kumari sehingga diadakan penyelidikan.     

Tetapi kematian Putri Nadia dilatar belakangi oleh kesalahan yang Ia lakukan jadi kerajaannya tidak berhak menuntut penyelidikan. Lagi pula Perdana Menteri Salman tidak akan membiarkan kasus ini diselidiki. Dia banyak terlibat di dalamnya." Nizam berkata dengan suara perlahan.      

"Bukankah ini saatnya kita mengambil tindakan terhadap si durjana itu," kata Arani dengan kesal. kebenciannya sudah di ubun - ubun tetapi Perdana Menteri Salman seperti belut yang sangat licin.     

"Dia bukan orang bodoh Arani, Ia tahu kita tidak akan mengambil tindakan gegabah. kekuasaannya masih sangat kuat mendominasi para pejabat."     

"Tetapi para tetua mendukung Yang Mulia."     

"Kekuatan para tetua tidaklah sekuat para penjabat. Jika Perdana Mentri Salman mengkudeta maka kita pasti akan kalah. Dan yang paling Aku takuti adalah kesehatan ayahanda.      

Seumur hidupku Aku tidak mungkin mempertaruhkan nyawa Ayahanda demi tampuk kekuasaan. Aku juga tidak ingin Perdana Mentri menganggu Ayahanda. Jadi untuk saat ini kita tetap harus menunggu." Nizam menghela nafasnya dengan berat.      

Ini adalah hal yang paling menyakitkan. Perdana Menteri adalah kekasih ibunya tetapi ibunya malah menikahi ayahnya. Ibunya mengorbankan cintanya untuk menyelamatkan keluarganya.     

Apakah ayahnya bersalah karena memisahkan cinta mereka? Nizam menggelengkan kepalanya. Seharusnya jika mereka tidak saling egois maka permasalahan ini tidak akan terjadi.     

Seandainya ayahnya tidak memaksakan cintanya kepada Ratu Sabrina. Seandainya Perdana Menteri Salman ikhlas melepaskan Ratu Sabrina dan menerimakan takdir, seandainya Ratu Sabrina menjadi istri yang setia.     

Perdana Mentri Salman tidak mungkin berani mendekati Ratu Sabrina jika Ratu Sabrinanya bersikap tegas. Kenyataannya adalah Ratu Sabrina juga tidak bisa melupakan cintanya kepada Perdana Mentri Salman.     

Nizam memejamkan matanya. Terlepas dari semua itu. Sebagai seorang anak, Nizam tidak akan pernah memaafkan ibunya berselingkuh dengan laki - laki lain atas nama cinta. Karena ikatan pernikahan bukanlah hal yang bisa dipermainkan atas nama cinta.      

Tubuh Nizam menjadi kaku ketika mengingat sebenarnya dia juga telah mempermainkan ikatan pernikahannya dengan Putri Rheina. Nizam tentu melihat bagaimana pandangan mata Putri Rheina ketika melihat Ia menari dengan Alena. Nalurinya sebagai laki - laki mengatakan kalau Putri Rheina itu masih mencintainya. Nizam mengeratkan giginya. Walaupun Ia merasa bersalah kepada Putri Rheina tetapi Ia tetap tidak akan memberikan kesempatan kepada Putri Rheina.     

Biarlah waktu yang akan menghapus cinta Putri Rheina kepada dirinya. Nizam masih diam ketika Arani berkata lagi.     

"Kita harus pergi ke dalam harem," kata Arani sambil mengelus perutnya yang sudah mulai membesar.     

"Apa kau berpikir dia meninggalkan surat wasiat? Bukankah dia di bunuh? Tentu dia tidak akan meninggalkan surat wasiat," ucap Nizam kepada Arani.     

"Putri Nadia sangat pintar. Harem hanya khawatir jika Dia memiliki surat wasiat. Surat itu pasti akan menceritakan keterlibatan Perdana Mentri dengan kasus ini. Jangan sampai surat itu di dapat orang lain. Karena kita dapat memanfaatkan surat itu di masa depan," Arani berkata kpada Nizam.     

Nizam menganggukkan kepalanya. Arani sangat teliti dan itu membuat Nizam selalu beruntung.     

"Baiklah kita pergi sekarang," kata Nizam sambil bergegas ke kamar mandi.     

"Baiklah, Hamba akan bersiap menuju istana Yang Mulia," sahut Arani seraya menutup teleponnya dan ketika Ia membalikkan tubuhnya. Jonathan sudah berdiri di depannya dengan wajah tidak senang.     

Arani terpaku melihat wajah Jonathan yang menghitam. Ia sudah tahu kalau suaminya terlihat sangat marah.     

"Kau ini sedang mengandung. Apa Naila tidak bisa menggantikanmu? Kau selalu berurusan dengan darah dan mayat seseorang. Apakah kau tidak takut kalau anak kita akan dibesarkan dengan kekerasan." Jonathan terus berkata dengan gusar.     

Wajah dingin Arani langsung berubah. Ia memeluk Jonathan di lehernya dengan mesra.      

"Tentu tidak suamiku, Aku hanya bertugas."     

"Bertugas? Apa tidak ada keringanan untukmu? Kau ini sedang mengandung. Tidak baik tetap menjadi asisten Pangeran Nizam. Pererjaan itu penuh dengan bahaya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.