CINTA SEORANG PANGERAN

Memukuli Nizam



Memukuli Nizam

0Alena membuka matanya ketika Ia merasakan ada yang meniup wajahnya. Dan ketika Ia membuka matanya Ia melihat seraut wajah yang tersenyum menatapnya.     
0

"Apa kau akan tidur terus sampai siang? Apa kau tidak akan sholat subuh?" kata Nizam sambil menjentik hidung Alena. Alena sesaat seperti sedang mengingat - ngingat sesuatu dan ketika ingatannya muncul Alena langsung berteriak dengan kalap.     

"Kau Nizam! Tega - teganya kau membohongi Aku. Kau tentu sudah tahu kalau kalung yang Aku pakai ini asli. Kau sudah menukarkannya terlebih dahulu.     

Aku sudah ketakutan setengah mati. Aku sudah merasa nyawaku sampai ke tenggorokan. Mengapa kau tidak mengatakan kalau kalung yang asli sudah ketemu." Alena sangat kalap dan Ia memukuli Nizam dengan kedua tangannya. Dan Nizam hanya menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.     

"Aku minta maaf Alena. Aku minta ampun. Aku sungguh tidak bermaksud untuk membohongi mu tetapi Aku takut rencanaku untuk menjebak orang yang ada dibalik semua ini akan gagal"     

"Tapi Aku sudah sangat ketakutan. Aku sampai gemetar tadi malam. Mengapa kau membuatku sangat ketakutan Nizam? Aku sangat ingin memukuli mu sampai babak belur. Memukuli sekujur tubuhmu sampai Aku puas" ujar Alena dengan sengit.      

Nizam terbelalak mendengar perkataan Alena. Ia bahkan baru selesai sholat shubuh tetapi Alena sudah mengatakan ingin memukulinya di sekujur tubuhnya.     

"Apakah kau serius dengan kata - katamu itu Alena?" kata Nizam sambil menatap Alena dengan tatapan mata yang sangat tajam.     

"Kau selalu mempermainkan Aku. Kau menganggapku sebagai wanita bodoh yang tidak tahu apa - apa. Aku seperti barang yang kau pajang dan tidak pernah dianggap. Aku bisa gila kalau terus menerus seperti ini," teriak Alena dengan kalap.     

"Aku mengaku salah telah berbohong kepadamu. Tetapi Aku melakukannya untuk melindungimu," bisik Nizam sambil memegang tangan Alena .     

Alena menepiskan tangan Nizam dengan sengit. Matanya melotot dan mukanya merah padam. Ada nyala api dalam mata indah Alena.      

"Melindungi apa? Kau ingin Aku mati karena sakit jantung?"     

"Tapi kau tidak punya penyakit jantung."     

"Eum..maksudku sakit lemah jantung."     

"Tapi kau juga tidak lemah jantung."     

"Uh... kalau begitu. Bagaimana kalau dengan  lemah syahwat?" Alena bertanya setelah berpikir rada lama.     

"Lemah syahwat itu tidak ada hubungannya dengan ketakutan."     

"Ya udah terserah kamu. Pokoknya Aku tetap tidak terima!"     

"Ya udah pukuli saja Aku. Kalau kau ingin puas."     

"Sungguh?Kau ingin Aku pukuli?" tanya Alena sambil menatap Nizam yang tampannya kelewatan.     

Nizam mencebikkan bibirnya dengan lucu lalu menganggukan kepalanya.     

"Aku bersungguh - sungguh. Pukullah Aku di sekujur tubuhku."     

"Awas kau ya? Jangan sok jagoan. Kau pikir Aku tidak sanggup memukulimu? walaupun tenagaku lemah tetapi Aku masih bisa memukulimu." Alena berkata sambil siap - siap hendak memukuli Nizam.     

"Tapi sebentar, sayangku." Nizam berkata sambil berdiri.     

"Ada apa lagi? Kau pasti mulai ketakutan," Alena tersenyum sinis.     

"Tidak! Aku tidak takut. Aku hanya ingin melepaskan pakaianku," Nizam berkata sambil hendak melepaskan pakaiannya. Alena terbengong - bengong melihat Nizam melepaskan semua pakaiannya. Satu persatu tanpa ada yang tertinggal. Nizam berdiri tegak di hadapan Alena tanpa sehelai benangpun.     

Alena menelan salivanya dan menatap Nizam dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dan matanya kemudian terpaku pada tubuh Nizam yang mulai Nizam bangkitkan.     

"A..pa maksudmu dengan semua ini? Mengapa kau malah tidak memakai pakaian?"     

"Bukankah kau ingin memukuliku di sekujur badanku? Aku ingin kau puas memukuliku. Apa Aku salah?" tanya Nizam dengan wajah serius.     

Alena menggelengkan kepalanya. Ia sangat ingin menatap wajah Nizam tetapi matanya tidak bisa lepas dari tubuh Nizam yang paling menarik hatinya. Bahkan tanpa sadar tangan itu mulai terulur ke depan.     

Nizam meringis ketika tubuhnya berada dalam genggaman tangan Alena. Udara menjadi panas seketika ketika Alena mengelusnya dengan lembut.     

Nafas Nizam memburu dan suaranya menjadi bergetar. Ia memegang kepala Alena dan mengusapnya dengan lembut.     

"Mengapa Kau diam saja? Bukankah kau akan memukuliku? Aku menyerahkan tubuhku sepenuhnya kepadamu. Aku adalah budak cintamu dan kau tuanku," suara Nizam terdengar seperti suara rintihan yang tertiup angin.     

"Aku akan memukulimu Nizam... tentu saja. Kau tidak usah khawatir," Alena mengangkat mukanya. Matanya sudah sangat sayu. Ia lalu mendekatkan mukanya ke tubuh Nizam. Nizam mengerang sambil mencengkram rambut Alena yang hitam lebat.     

Seandainya saja Nizam tidak ingat kalau Alena belum sholat subuh tentu Ia akan menyentuh Alena  terus menerus. Nizam bahkan sangat sabar menunggu Alena sholat dulu sebelum mereka melanjutkan sesi yang tertunda.     

Nizam membiarkan Alena melampiaskan kemarahannya dalam bentuk lain. Bantal berserakan entah kemana. Pagi ini suasananya benar - benar sangat panas. Setiap Alena mengingat Nizam telah membohonginya maka Ia akan memacu tubuhnya semakin cepat.     

"Kau tidak boleh membohongiku lagi," bisik Alena sambil menggigit telinga Nizam dengan gemas. Nizam memekik lembut, Ia balas mencium Alena dengan kuat dan balas mengigigit bibirnya.     

"Aku tidak akan sekali membohongimu," kata Nizam sambil memutar tubuh Alena ke bawah. Ia menghentakkan tubuhnya dengan kuat membuat Alena memekik. Gerakan Nizam membuat Alena tidak menyadari kalau Nizam mengatakan pembodohan lagi kepadanya.      

Nizam membuatnya terbang ke langit ke tujuh hingga Ia tidak sadar dengan apa yang diucapkan oleh suaminya. Alena terhempas dengan tubuh penuh keringat dan Nizam segera memeluknya sambil mengecup pipinya.     

"I love you, sweetheart," bisik Nizam di telinga istrinya. Alena merengek manja. Ia balas memeluk Nizam.     

"I Love you too," balas Alena sambil kembali hendak menaiki tubuh Nizam. Nizam terbelalak, tubuhnya sudah sangat hampir tidak berdaya.      

"Kau mau lagi?" suara Nizam terdengar gemetar.     

"Memang mengapa? Jangan katakan kau menyerah," Alena tertawa kecil.     

"Beri Aku waktu untuk bernafas," kata Nizam sambil mengelus bahu Alena yang bersinar karena keringat.     

"Memangnya kau sekarang tidak bernafas?" Alena cemberut. Ia lalu mengelus dada Nizam yang berbulu lebat. Rupanya Nizam sengaja menumbuhkan bulu di dadanya.     

Belum Nizam menjawab, handphonenya berdering. Nizam mengerutkan keningnya. Siapa yang menelponnya di pagi hari di saat Ia sedang bercengkrama dengan istrinya. Cari mati dia.     

Nizam mencoba tidak memperdulikan dering handphonenya karena Ia sibuk menahan tangan Alena yang sudah merayap kemana - mana.     

Tapi suara handphone itu terus berdering membuat Nizam jadi kesal. Ia kemudian membaringkan tubuh Alena di sampingnya dan berkata, "Ada orang cari  mati sayang."     

"Hah? Siapa yang cari mati?" kata Alena sambil penasaran. Ia mencekal selimutnya dan menatap Nizam yang bergerak meraih handphonenya. Tapi Alena tidak membiarkan Nizam menjawab Handphonenya dengan tenang. Ia memeluk Nizam dari belakang. NIzam membiarkan Alena memeluknya.     

Nizam mengerutkan keningnya melihat nomor Arani yang tertera di layar handphonenya.     

"Arani," kata Nizam sambil menyingkirkan tangan Alena yang semakin meraja lela tidak mau diam.     

Mendengar nama Arani disebut tangan Alena langsung terdiam kaku. Mendengar nama Arani. Gairah Alena langsung turun ke titik nadir. Jika asisten Nizam itu menelponnya di pagi hari pasti adalah masalah serius.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.