CINTA SEORANG PANGERAN

Belajar Mencintai (7)



Belajar Mencintai (7)

Lila segera berlari ke arah tempat tidur lagi ketika Ia melihat Edward mematikan rokoknya. Saking terburu-burunya Lila hampir menginjak selimut yang Ia pakai untuk membungkus tubuh telanjangnya. Ia lalu berbaring sambil menata helaan nafasnya agar tidak terlihat seperti terengah-engah.     

Lila menutup matanya sambil memeluk guling seakan Ia sedang tertidur lelap. Ia kemudian merasa Edward naik ke atas tempat tidur lalu berbaring disampingnya seraya memeluk pinggangnya. Muka Edward mendekat ke belakang kepalanya. Mencium aroma rambutnya yang seharum taburan melati yang terhampar ditempat tidurnya.     

Edward mengendus leher Lila sambil berbisik. "Maafkan Aku Lila, Aku masih belum bisa melepaskan Alena. Sungguh belajar mencintaimu adalah pembelajaran yang sulit bagiku. Kau datang dalam hidupku disaat Aku sudah berikrar menyerahkan seluruh hidupku untuk Alena. Tetapi sesungguhnya Aku tidak dapat menutup mata bahwa apa yang sudah terjadi diantara kita tadi sangat indah. Kau memberikan apa yang belum pernah aku rasakan selama ini." Edward menggesekkan hidungnya yang mancung ke leher Lila. Tubuh Lila sedikit menegang tetapi Ia masih bisa menahan diri untuk tetap berpura-pura terlelap.     

" Lila apakah Kau seperti Alena yang selalu terlelap ketika Ia tertidur. Ia pernah membiarkanku semalaman ada diluar apartemennya menunggunya untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Aku tetap berada diluar menunggunya membuka pintu dan berlari menyambutku. Tetapi Ia malah terus tertidur sampai aku kedinginan dan jatuh sakit." Edward malah bercerita tentang Alena sambil mendekap tubuh Lila dengan erat.     

"Terkadang Aku merasa lelah dengan semua ini. tetapi aku tidak dapat membayangkan hidup tanpa dia dalam benakku. Dia seperti darah yang mengalir untuk menghidupiku. Lila, Aku bukanlah pria yang tidak tahu diri. Bukan pria yang kejam dan tidak berperasaan. Aku sangat menghargai setiap pengorbanan yang telah kau berikan untukku. Aku akan berusaha memastikan bahwa Aku akan membayar setiap pengorbanan yang Kau berikan untukku" Suara Edward terdengar sedikit lemah mungkin Ia mulai mengantuk. Kemudian Lila mendengar helaan nafas yang sedikit berat. Edward terlelap sambil memeluk tubuh Lila. Lila mengelus lengan Edward yang melingkari tubuhnya. Tangan itu begitu lembut dengan bulu-bulu halus menghiasi lengannya.     

"Edward..Aku adalah mahasiswi Hukum. Bersabar adalah modal utama untuk melangkah ke depan. Jangan sebut namaku Lila kalau Aku bisa menyerah semudah itu. Asalkan Kau memang ada niat untuk belajar mencintaiku maka Aku akan terus berusaha. Kau tahu Edward sejak kecil Aku selalu mendapatkan apa yang kau inginkan. Kau pikir betapa buruknya tempatku bekerja. Aku terkadang harus menghadapi para hidung belang yang mengira Aku adalah wanita panggilan.     

Terkadang Aku sering menghadapi pelecehan beberapa diantara mereka. Tetapi Aku tetap bertahan agar aku tetap bisa kuliah. Sekarang Aku pikir Aku sudah merasa nyaman ada dalam pelukanmu. Aku mencintaimu tanpa syarat asalkan Kau selalu menyayangiku maka cinta bagiku bukan lagi prioritas dalam hidupku." Lila berbicara sambil berbisik pada dirinya sendiri karena Ia menyadari kalau Edward sudah terlelap tidur. Ia tidak mungkin mendengar perkataan Lila. Lila mengusap kepala Edward dengan penuh perasaan cinta. Lila mendekap erat tubuh Edward, mengecup ubun-ubunnya.     

"Mungkin banyak yang mengira Aku menderita karena mencintaimu, tetapi Aku merasa lebih beruntung daripadamu. Kau memang tidak mencintaiku tetapi Aku masih bisa memelukmu, menciummu dan bercinta denganmu. Sedangkan Kau mencintai Alena dari jauh. Kau tidak bisa menyentuhnya. Kau hanya bisa membayangkan dia berada dalam pelukan Nizam." Lila merasa sangat sedih dengan penderitaan Edward. Cinta Edward seakan deritanya memang tiada akhir.     

***     

Nizam keluar dari bathtub nya, lalu mengambil handuk dari gantungan handuk. Perkataan Edward membuat perasaannya gundah. Tetapi kemudian Ia menyadari bahwa memang Ia tidak bisa menahan perasaan seseorang. Nizam melihat handphonenya yang jatuh berkeping dilantai kamar mandi. Ia segera memakai kimono kamarnya dan keluar dari kamarnya. Ia melihat Arani sedang membaca buku diruang tengah. Arani langsung berdiri tegak dan kemudian membungkuk memberikan hormat. "Yang Mulia..ada perlukah?"     

Nizam memandang sedikit tajam pada Arani. Arani menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia merasa ditelanjangi oleh Nizam. Bukankah Ia memang merasa berdosa karena sudah bertindak diluar sepengetahuan Nizam. Ia tahu Nizam sedang menyelidikinya kalau Ia sedikit saja salah melakukan suatu gerakan maka Nizam pasti akan mengetahuinya.     

"Aku memecahkan handphone di kamar mandi, Aku takut pecahannya melukai kaki Alena. Kau panggilkan pelayan untuk membersihkannya!!" Kata Nizam sambil terus memandangi wajah Arani. Nizam tidak berani menuduh langsung kalau-kalau Arani terlibat langsung dalam kasus ramalan ini. Ia harus berbicara dengan Cynthia dulu. Arani adalah asisten pribadinya. Ia adalah anaknya paman Harun pengasuhnya sejak bayi. Ia sangat menghargai dan menghormati Arani sehingga Nizam tidak ingin menuduh sembarangan sebelum buktinya jelas.     

Arani merasakan tangannya berkeringat. Ia sedang ada di dapur ketika mendengar Nizam berdebat dengan Cynthia tentang ramalan itu. Bukankah Arani yang menyuruh Cynthia untuk menyelidiki ramalan itu. Arani adalah orang yang sangat teliti. Hidup dikalangan istana menjadikan Ia harus tetap waspada. Ramalan itu harus diketahuinya agar Ia bisa berjaga-jaga dikemudian hari. Ia tahu ini adalah salah. Arani menghela nafas panjang sebelum kemudian Ia menyuruh pelayan bagian dapur yang sedang berjaga untuk segera mengambil peralatan yang diperlukan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.