CINTA SEORANG PANGERAN

Alena, Bangunkan Lila Untukku.



Alena, Bangunkan Lila Untukku.

0Alena masuk ditemani oleh Nizam. Muka Lila sepucat mayat. Matanya terpejam rapat. Ia memakai pakaian rumah sakit. Selang infus tampak terpasang di tangannya. Seorang perawat berdiri di sampingnya. Alena memegang tangan Lila dengan air mata berderai. Betapa malangnya nasib Lila. Terluka karena menyelamatkan suaminya yang tidak mencintainya.     
0

Alena masih teringat bagaimana Edward lebih memilih menyelamatkannya dibandingkan dengan menyelamatkan Istrinya sendiri ketika Sisca memintanya untuk memilih. Ia bisa merasakan penderitaan Lila. Alena mengelus tangan Lila lalu berbisik ditelinganya.     

"Lila bertahanlah, Kau harus kuat. Edward adalah orang yang baik hanya Ia sedikit bodoh. Mungkin kejadian kali ini akan membuat kebodohannya hilang. Percayalah tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini asalkan kitanya berusaha. Ayolah Lila bertahanlah. Apa Kau tidak ingin melihat anakku? Anakku katanya kembar. Kau harus hidup dan memiliki anak sendiri. Siapa tahu kedepannya kita bisa besanan" Kata Alena sambil menyentuhkan tangan Lila ke perutnya.     

Perawat itu terkejut melihat nafas Lila yang grafiknya berjalan lambat kini sedikit meningkat. "Nyonya, Anda membuat sedikit keajaiban. Dari semalam detak jantungnya sangat lambat. Tapi sekarang mendengar perkataan Nyonya detak jantungnya ada peningkatan" Kata perawat itu sambil segera mengambil catatan status medis Lila dan mencatat perkembangannya.     

Nizam sendiri memperhatikan layar monitor Lila tetapi Ia belum memahami seluruhnya. Mungkin terlalu dini untuk menyimpulkan sesuatu. Bukankah Ini baru semalam sejak Lila dioperasi dan di rawat, lagipula Edward saja belum bisa turun dari tempat tidur karena masih proses pemulihan.     

Alena tambah semangat berbicara dengan Lila tetapi sayangnya detak jantung Lila kembali melemah. Membuat Nizam akhirnya membawa Alena pulang karena Alena harus beristirahat. Nizam berjanji akan kembali membawa Alena besok hari untuk menengok Lila.     

***     

Dua Minggu berlalu.     

Cuaca musim panas masih sangat menyengat, Di rumah sakit tampak orang-orang masih hilir mudik. Edward pulih dengan cepat karena dia mendapatkan pelayanan medis yang terbaik. Walaupun Ia masih belum bisa berjalan. Ia menggunakan kursi roda untuk bergerak. Hampir setiap saat Edward berada di sisi Lila. Ia terus menerus mengajak Lila berbicara tetapi tidak sedikitpun Lila bergerak dan tersentuh.     

Edward termangu menatap wajah Lila yang pucat. Detak jantungnya masih lambat. Air mata Edward meleleh menatapnya.     

"Lila.. mengapa Kamu begitu kejam membalasku, Aku tahu, Aku tidak layak kau maafkan. Lila bangunlah agar Kau dapat menghukumku. " Edward menghapus air matanya yang terus menerus meleleh. Badan Edward semakin kurus walaupun kakinya pulih dengan cepat. Matanya bengkak karena hampir setiap saat Ia menangis. Ada lingkaran hitam di sekeliling matanya. Kenyataan bahwa Lila tidak siuman dari komanya membuat Ia sangat prustasi.     

"Aku tahu, Aku bodoh dan tak termaafkan. Tapi Lila berilah aku kesempatan untuk membalas seluruh pengorbananmu untuk diriku. Ternyata cintaku sangat egois bahkan hampir membunuhmu. Lila, berilah aku kesempatan untuk menggantikan Alena dengan dirimu dihatiku." Air mata Edward menetes membasahi lengan Lila tetapi Lila tidak bergerak sedikitpun.     

Edward menjadi semakin stress, Ia kembali meratap,"Lila, Apakah Kau sebegitu marah hingga tidak mau bangun. Bangunlah Lila agar kau bisa menamparku sepuasmu. Lila bangunlah!! Lila bukankah kau bersedia mengandung anakku. Lahirkanlah banyak anak untukku Lila. Aku berjanji tidak akan berbuat bodoh lagi." Edward menutup mukanya oleh tangannya. Ia menangis tersedu-sedu. Perawat yang mendampingi Lila menjadi ikut terenyuh.     

Diam-diam Ia menghapus air matanya yang mulai tergenang. Ia selalu baper mendengar ratapan Edward. Ia sudah bertugas mendampingi Lila selama dua minggu bersama seorang temannya lagi. Ia juga bekerja dengan asisten Lila yang memang disediakan oleh Ayahnya Edward untuk menangani permasalahan adiministrasi Lila. Karena Edward sama sekali tidak bisa berpikir apapun. Pekerjaannya tiap hari hanyalah duduk dikursi rodanya dan meratapi kondisi Lila yang masih tidak siuman juga.     

Ketika Dokter Afgan datang untuk memeriksa Lila, Ia berdiri di dekat pintu bersama seorang asistennya memperhatikan Edward yang sedang terisak-isak. Ia tidak berani mengganggu jadi Ia hanya berdiri menunggu Edward sedikit stabil emosinya. Lagipula Ia seringkali ikut terhanyut mendengar ratapan Edward yang sangat memelas dan mengharu biru. Ratapan Edward mampu mengaduk-ngaduk perasaan yang mendengarkannya. Banyak perawat yang tidak tahan disaat mendengar Edward meratap.     

Tangisan Edward terdengar lirih bagaikan hembusan angin yang tertiup dimusin dingin. "Lila bangunlah, Sebentar lagi musim akan berganti. Jangan kau biarkan hatiku berguguran bagaikan daun maple yang tertiup angin. Lila Aku bisa menyentuh ragamu tetapi jiwamu melayang entah kemana. Mengapa Kau membuatku tersungkur dalam kepiluan yang tiada bertepi. Lila bangunlah, jangan biarkan hatiku mengembara dalam lautan kesengsaraan begitu lama. Janganlah kau tenggelamkan Aku ke dalam lautan derita terlalu lama. Aku tidak tahan. Apakah Kau ingin agar jiwaku ikut mengembara bersama jiwamu?" Edward mengelus pipi Lila yang terasa dingin. Ia lalu menangis di sambil menyimpan tangan Lila di wajahnya.     

Asisten Dokter Afgan tidak tahan lagi Ia segera mundur dari pintu tempat Lila dirawat dan mulai ikut menangis meratapi kesedihan Edward. Mengapa ada kisah cinta yang begitu memilukan seperti ini. Melihat asistennya mundur hanya untuk menangis. Dokter Afgan diam-diam ikut mundur dan mengusap air matanya yang tanpa sadar ikut meleleh.     

"Lila, kalau Kau tidak mau bangun, kirimkan malaikat untukku agar bisa menjemput jiwaku dan kita akan mengembara bersamamu. Lila, bangunlah!! angkat jiwaku yang sedang tenggelam ke dasar kesengsaraan yang terdalam."     

Tanpa disadari Alena dan Nizam datang untuk menengol Lila dan sekarang mereka ada dibelakang Dokter Afgan dan menyapa, " Selamat Siang Dokter, Kami mau menjenguk Lila" Kata Nizam sambil menatap dokter yang sedang berdiri sambil menghapus air matanya. Nizam terkejut melihat dokter itu. Mengapa ada dokter menangis di depan ruang rawat Lila. Dan ketika Nizam melirik ke sebuah kursi di depan taman tidak jauh dari ruang rawat Lila. Nizam melihat seseorang yang sama berpakaian putih sedang menangis tersedu-sedu. Ada apa ini? Nizam menjadi curiga. Ia sudah dua minggu tidak menengok Lila karena kesehatan Alena yang kurang baik. Sehingga baru sempat sekarang.     

Dokter Afgan menatap pria yang tidak dikenalnya berdiri menjulang dihadapannya. "Anda siapanya pasien?" Kata Dokter Afgan sambil melihat ke arah Alena juga yang tampak sedang hamil besar.     

"Saya teman dekat Lila dan Edward. Perkenalkan Saya Nizam dan ini istri saya Alena. Terakhir kali kami kesini dua minggu yang lalu. Waktu itu Edward masih berada di ruang operasi."Nizam menjelaskan. Ia menenangkan Alena dengan mengelus tangan Alena yang mulai gemetar karena gelisah. Melihat dokter dan asistennya menangis Alena dan Nizam jadi berpikiran buruk.     

"Oh ya, Apakah Anda teman yang diceritakan oleh perawat Lila waktu itu? Saya pernah membaca dan mendengar laporan dari perawat Lila bahwa detak jantung Lila sempat meningkat ketika sedang berbicara dengan temannya. Tetapi kemudian temannya itu tidak pernah datang lagi. Saya sudah meminta agar Tuan Anderson mendatangkan temannya Lila itu tetapi Tuan Anderson menolak. Katanya dia khawatir malahan Tuan Edward jiwanya akan terguncang jika melihat temannya Lila itu"     

"Oh..begitukah?? Lalu bagaimana kondisi Lila sekarang?" Tanya Nizam sedikit khawatir.     

"Itulah..sudah dua minggu tidak ada perkembangan yang berarti. Dia tetap dalam keadaan koma. Ia seperti tidak ada keinginan untuk pulih. Bahkan ratapan suaminya sendiri tidak berhasil membangunkan Ia. Mataya tetap terpejam rapat, tekanan darahnya rendah dan detak jantungnya lambat. Saya ingin sekali temannya Lila ini. Saya ingin dia mau berbicara sekali lagi di telinganya, sehingga dugaan kami bahwa suara dari temannya Lila dapat membangunkannya, itu benar adanya." Dokter Afgan berbicara sambil menatap Alena. Ia merasa bahwa Alena adalah yang dimaksud dengan temannya Lila yang disebutkan oleh perawatnya.     

Nizam memandang Alena, "Honey..ada Edward yang sedang meratapi Lila. Apakah tidak apa-apa untukmu jika bertemu dengan Edward?" Kata Nizam dengan hati-hati. Alena terdiam. Ia ingin sekali bertemu Lila tetapi Ia tidak ingin bertemu Edward jika pertemuannya hanya akan mengakibatkan hal yang tidak baik terjadi.     

"Honey..Kau akan melahirkan dalam hitungan hari ke depan. Kata Dokter kandunganmu, dalam minggu-minggu ini Kau bisa melahirkan kapanpun. Aku tidak ingin emosimu menjadi tidak stabil karena kau akan melahirkan dua orang bayi sekaligus. Kau butuh tenaga dan mental yang stabil"     

Nizam menggenggam tangan Alena.     

"Tadi sebelum kita ke sini, Kau berjanji hanya akan menemui Lila jika Edward tidak ada. Sekarang Edward malah sedang meratapi Lila" Kata Nizam lagi. Alena mulai meneteskan air mata dengan sedihnya. Ia sangat ingin menengok Lila tetapi Ia tidak sanggup bertemu Edward. Ia tidak ingin mengguncangkan perasaan Edward hanya dengan pertemuan ini.     

Tetapi kebingungan Alena terpecah ketika tiba-tiba ada suara dibelakang mereka.     

"Alena!! Masuklah! Aku mohon, selamatkan istriku jika memang apa yang dikatakan dokter itu benar." Suara itu menyentakkan mereka. Ketiganya terkejut melihat Edward sudah ada dibelakang mereka menggunakan kursi roda. Agaknya Edward mendengar suara Alena dan Ia segera keluar untuk mencari tahu. Ketika mendengar Dokter Afgan bercerita bahwa Lila merespon perkataan Alena maka Ia menjadi menemukan seberkas semangat bahwa Lila akan kembali pulih.     

"Edward!! " Kata Alena sambil menatap Edward.     

"Maafkan Aku Alena, selama ini mungkin Aku terlalu bodoh. Aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi. Aku akan merelakan dirimu bersama Nizam. Selamatkanlah istriku. Aku terlalu berdosa kepadanya. Dosaku setinggi gunung, seluas angkasa dan sedalam lautan. Alena, Aku mohon sembuhkan Lila untukku." Air mata Edward mulai meleleh lagi.     

"Alena, Aku tidak ingin hidup sendirian dan mati dalam kesepian. Hidup dalam kegelapan tanpa ada cahaya yang menyinarinya. Aku mengharapkan cahaya milik orang lain sehingga cahaya sendiri Aku sia-siakan. Sekarang Tuhan sedang menghukumku karena kebodohanku. Tolonglah, kembalikan cahaya hidupku kepadaku" Edward kembali meratap.     

Alena menatap wajah Nizam suaminya meminta ijin untuk menemui Lila dan mencoba peruntungan untuk menyadarkan Lila. Dan Nizam menganggukan kepalanya sambil tersenyum. Alena dan Edward menjadi lega. Apalagi Edward Ia menyimpan harapan yang besar pada diri Alena untuk bisa membangunkan istrinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.