My Precious Husband (COMPLETE)

Part 23



Part 23

0Rasanya takdir benar-benar mempermainkan Ana, baru sehari ia merasakan kebahagiaan menjadi seorang putri, kini rasanya ia benar-benar dihantam batu besar pada kepalanya atau seseorang baru saja mendorongnya kedasar jurang lalu mati dengan hantaman keras pada tanah yang kasar. Ana menatap nanar pada ruangan ya lampunya menyala terang, di dalamnya ada orang-orang yang berusaha menyelamatkan malaikat kecilnya. Mikail.. ya tadi pagi kondisinya tiba-tiba kritis, ia kesulitan bernafas, oleh sebab itu ia di bawa keruang ICU untuk segera mendapatkan pertolongan.     
0

Tubuh Ana gemetaran sejak tadi, wajahnya pucat pasi penuh ketegangan, tangannya saling meremat dengan mulut yang tak hentinya merapal doa demi keselamatan Adiknya. Kei memeluknya dari samping mengusap lengannya menenangkan Ana namun tak mengeluarkan suara apapun begitupun Mona yang berada di sampingnya. Suasana begitu mencekam, seketika kilasan masa lalu dengan Mikail memenuhi memorynya. Tentang bagaimana Mikail yang suka menggambar, memakan coklat, juga menyukai mainan-mainan yang dibelinya, bahkan rengekannya kala permintaannya tak dituruti Ana menjadi kenangan paling indah yang dimilikinya. Air mata Ana jatuh tak bisa lagi ia tahan, Ana merasa selama hidupnya tidak pernah menjadi kakak yang baik untuk Mikail, bahkan Mikail lebih sering menguatkannya, memberinya kebahagiaan dibanding ia sendiri. Apa yang Ana lakukan selama ini? Ia menyesal setengah mati tidak banyak memberikan waktunya pada Mikail. Setelah di pikir-pikir ternyata Mikail memang berjuang sendirian, Ana bodoh! Ana tak berguna! Ia mengumpati dirinya sendiri. Jika begitu apa bisa ia dikatakan seorang Kakak?     

Ia bangkit membuat Kei dan Mona menatapnya bingung, Ana mendekat pada pintu, kening dan tangannya menyentuh pintu yang terasa dingin pada kulitnya. Melihat adiknya yang tengah berjuang dari balik kaca, Ya!! Mikail harus berjuang, Mikail tidak boleh kalah dengan penyakit, Ana janji akan lebih banyak meluangkan waktunya, Ana janji akan selalu disisi Mikail, hanya saja asalkan Mikail kembali padanya, tidak meninggalkan Ana, Ia akan melakukan apa saja, Ana mohon setidaknya izinkan Ana memberi kebahagiaan sebelum Mikai benar-benar pergi meninggalkannya....     

Ana mundur ke belakang saat dokter Rachel membuka pintu lalu keluar dengan air mata membasahi masker yang masih melekat di wajahnya, ia memandang Ana mengusap wajah Ana pelan lalu memeluk wanita yang sudah ia anggap adiknya sendiri. Oh malangnya nasib Ana, ia harus lagi-lagi merasakan kehilangan orang yang dicintainya, seperti de javu saat ibunya meninggal, dr Rachel juga yang pertama kali memeluknya.     

"Ana~" panggilnya lirih.     

"Mi-Mikailku baik-baik sajakan? Dokter menangis karena terharukan? Ka-kapan dia akan sadar? Aku ingin melihatnya dokter" Tangisan Rachel semakin kuat, ia memeluk Ana erat. Mona yang disamping Kei tidak bisa menahan tangisnya. Sedangkan Kei mengepalkan tangannya kuat-kuat, rahangnya mengeras.     

"Ke-kenapa dokter menangis?"     

"Mi-mikail anak yang kuat Ana, dia sudah berjuang keras" katanya lirih. Air mata Ana semakin deras, ia mengerti, tentu saja Ana mengerti tapi ia tidak mau mempercayainya.     

"A-aku tahu, lepaskan aku dokter. Aku... aku ingin menjadi orang pertama yang dilihat Mikail saat ia membuka mata" dr Rachel menggelengkan kepalanya dengan lemah.     

"LEPASKAN AKU!!!!!!" Teriak Ana frustasi membuat semua orang terlonjak, sontak saja dokter Rachel melepaskan pelukannya membeku di tempat saat Ana mulai melewatinya dengan berjalan tertatih. Kei mengikuti Ana dibelakang, agar ia bisa mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.     

Ana memandang wajah pucat itu, tangannya yang gemetar mendekat pada tubuh Mikail yang kaku, Tuhan Mikailku... batin Ana meringis, ia menyentuh pipi Mikail yang mulai mendingin. Dan tiba-tiba saja kepala Ana merasakan pening luar biasa, lalu semuanya seolah berputar kemudian semuanya gelap, terakhir yang didengarnya sebelum kesadarannya hilang adalah suara teriakan Kei memanggil namanya.     

:rose::rose:     

Ana membuka matanya perlahan, bau obat-obatan khas rumah sakit langsung menusuk penciumannya, Ana meringis, kepalanya masih pening luar biasa.     

"Syukurlah Ana, kamu sudah sadar" suara Kei terdengar begitu cemas, mengusap kepala Ana dengan lembut. Ana membangunkan tubuhnya yang lemas agar ia terduduk, hati-hati Kei membantunya. Pandangannya kosong tertuju ke depan, hanya ada ia dan Kei saat ini di ruangan.     

Kei ikut duduk disamping Ana, membawa wanita itu kedalam pelukannya, mencium pucak kepalanya lama setelahnya meletakan dagunya diatasnya, tangan Kei mengusap lengan Ana. Ana terpejam air matanya kembali mengalir.     

"Kei~" Panggil Ana dengan suara bergetar.     

"Ya, Sayang" Jika dalam kondisi normal Ana pasti akan tersipu malu tapi kali ini malah membuat air matanya mengalir semakin deras. Baik Ana maupun Kei tidak ada yang meyadari panggilan yang baru saja dilontarkan Kei.     

"Kemarin Mikail berjanji padamukan? Kail bilang dia akan berjuang, Mikail berjanji padamu akan sembuh Kei!! Be-benarkan?"     

"Ana..."     

"Mi-mikail tidak akan meninggalkanku Kei."     

"Mikail sudah berjuang Ana, tapi memang Tuhan lebih sayang padanya. Sekarang ia sudah bahagia disana, kamu harus ikhlas."     

Ana melepaskan pelukannya, menatap Kei tajam , merasa tersinggung dengan ucapan pria itu, sorot matanya penuh dengan keputus asaan.     

"Tidak!!!! Tuhan tidak sayang padaku!! Dia selalu mengambil orang-orang yang kucintai, ayahku! Ibuku! Dan apa kamu bilang? Tuhan sayang dengan Mikail, jangan bercanda Kei!!!" Kata Ana penuh emosi tangannya memukul dada Kei kuat, tapi bagi pria itu pukulan Ana tidak ada apa-apanya dibandingkan perasaan Ana yang hancur.     

"Kamu bilang Mikail akan sembuh, Katamu aku akan melihatnya dewasa lalu Mikail akan menikah dan memiliki anak. Tapi apa ini? Kamu bohong Kei!!!! Kamu bohong!!!" Sambung Ana ditengah tangisannya dengan berteriak, hatinya benar-benar hancur, Ana tidak siap ditinggalkan Mikail, rasanya dunia ini terlalu menakutkan jika ia sendirian. Kei tidak mengeluarkan suara sama sekali, ia membiarkan Ana meluapkan semuanya. Ia kembali memeluk Ana yang pukulannya semakin melemah.     

"Ka-kalau Mi-mikail tidak ada..... la-lalu untuk apa a-aku hidup?" Tanya Ana yang sesegukan, Kei menangkup wajah Ana yang matanya membengkak seluruh wajahnya memerah, menatapnya dengan marah. Ia kesal mendengar Ana berkata demikian, Ana boleh menangis, boleh berteriak, memukul tubuh Kei sampai babak belur juga boleh, asalkan tidak berpikiran bodoh seperti itu! Giginya bergemelatuk menahan emosi.     

"Jangan berkata seperti itu lagi Ana!!!!! Aku tidak mau kamu mengatakan hal bodoh seperti itu lagi."     

"Kei..." Kei mencium kedua kelopak mata Ana bergantian lalu kembali memeluknya.     

"Sayang dengar.... kamu harus kuat! Mikail pasti sedih melihatmu seperti ini. Demi Tuhan, jangan berkata seperti itu lagi Ana. Jangan pernah!" Tangisan Ana semakin pecah terdengar begitu pilu, tidak apa, lebih baik ia menangis sekarang, terpuruk hingga rasanya tak sanggup lagi. Lebih baik begitu, karena nantinya Ana harus bangkit tidak boleh berlama-lama larut dalam kesedihan, dan Ana hanya boleh bahagia.     

Setelah begitu tenang bersandar di dada Kei, Ana berhenti menangis, ia melepaskan dekapan hangat itu "Kei... aku ingin melihat Mikail.."     

"Kamu yakin, kamu sudah siap?" kemudian Ana mengangguk     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.