Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 174



Bab 174

0Sulit menebak apakah Nalan Hong Ye sedang bahagia atau sedih. Sosoknya terlihat begitu kesepian saat matanya memandang ke kejauhan. Jauh di sana, Istana Yi Le berdiri, dengan musik yang terdengar dari dalamnya. Tarian dan musik seakan seperti menggambarkan melemahnya kekaisaran yang jaya itu.     
0

"Mari kita ke Istana Qing Zhi," Nalan Hong Ye memberi perintah.     

Di sore hari, Xuan Mo sudah meninggalkan istana. Bibi Yun, bersama para pelayan, membawakan makanan yang sudah dipersiapkan. Nalan Hong Ye sedang tidak nafsu makan dan hanya memakan beberapa suap. Tiba-tiba, dia mendengar rentetan langkah kaki yang panik dari luar pintu. Seseorang sedang berlari sambil berteriak kehabisan napas, "Tuan Putri! Tuan Putri! Bencana! Bencana!"     

"Ada apa?" Nalan Hong Ye mengangkat alisnya.     

Bibi Yun segera berlari keluar untuk mencari tahu, tetapi bahkan sebelum dia sempat membuka mulut, kasim itu mengabaikannya dan berlari masuk dengan mata penuh air mata. Sambil melompat ke atas lantai, kasim itu meratap, "Yang Mulia! Sungguh bencana! Yang Mulia memanjat ke atas atap Istana Yi Le dan tidak sengaja jatuh!"     

Matahari terbenam membungkus istana dengan lapisan merah tua. Pengamanan di istana lebih ketat dari biasa, dengan patroli dan penjaga di mana-mana. Pintu-pintu ke istana tertutup rapat, dan tidak seorang pun diizinkan untuk keluar masuk. Sebagian besar pejabat sudah tiba dan semuanya sedang berlutut menunggu. Kepala-kepala yang menunduk itu mendongak pada saat gadis itu masuk. Bercampur dengan cahaya matahari yang merah, pandangan mereka menyampaikan perasaan yang berbeda-beda. Ada rasa hormat, takut, iri, benci, marah. Berbagai macam perasaan bisa dirasakan dalam satu lirikan itu, sebelum mereka menunduk lagi, kembali ke kedamaian yang semula.     

Gadis itu memakai gaun sutra ungu tua, ada sulaman bunga mawar besar yang menempel di kerahnya, berbeda dengan lehernya yang putih bersih. Wajahnya terlihat serius dan sedih. Dia berjalan ke Istana Mo Ji, suasananya terasa dingin. Berdiri di depan semua pejabat adalah Raja Jin Jiang. Saat melihat gadis itu tiba, pria tersebut segera melangkah maju, namun dia didorong oleh seorang pria dengan pakaian biru tua, dan hampir terjatuh.     

Mata Xuan Mo dipenuhi kekhawatiran. Dia sama sekali mengabaikan kemarahan di mata Raja Jin Jiang, dan melangkah maju. Walaupun ingin mengatakan sesuatu, akhirnya dia memutuskan untuk tetap diam.     

"Bagaimana keadaan sang kaisar?" Nalan Hong Ye bertanya dengan serius. Ekspresinya tenang, dan tidak terlihat tanda-tanda kelelahan ataupun perasaan apa pun. Kerumunan orang-orang melirik padanya dengan penasaran namun dengan cepat terganti oleh kekecewaan. Xuan Mo menggeleng dan memberi tahu, "Tabib kekaisaran berkata tidak ada cara untuk menyelamatkannya. Tuan Putri, silakan masuk untuk melihatnya."     

Pada saat itu juga, hati gadis ini menciut. Tetapi sayangnya, begitu banyak mata yang menatapnya, menilai setiap tindakannya. Nalan Hong Ye tiba-tiba teringat kejadian bertahun-tahun lalu, pada malam ayahnya meninggal, di istana ini juga, dia juga dipandangi dengan cara yang sama, dan saat itu juga hujan seperti sekarang. Suhunya sangat dingin, sampai-sampai gadis itu kesulitan bernapas, tetapi dia masih memaksakan dirinya untuk menenangkan napasnya. Perlahan, dia berhasil memaksakannya. Dia menekan semua perasaannya yang berkecamuk dengan akal sehatnya yang sudah hampir pecah berantakan.     

Perlahan gadis itu berjalan, melalui kerumunan orang-orang. Dua orang pelayan mengangkat tirai, dan gadis itu berjalan sendirian ke dalam kamar tidur tersebut. Cahaya matahari berwarna keemasan menusuk matanya. Sambil menggigit bibirnya, gadis itu berjalan melalui berlapis-lapis tirai. Di dalam istana itu begitu panas sampai dia sulit bernapas. Adiknya berbaring di atas kasur besar dan warna kulitnya sangat pucat, namun mata pemuda itu bersinar terang. Terbaring diam di sana, matanya seperti tenggelam ke dalam lubangnya, dan bibirnya retak-retak karena kering. Di atas kepalanya, bisa terlihat sepetak darah merah tua.     

Pandangan gadis itu tiba-tiba menjadi kabur, tetapi Nalan Hong Ye menahan air matanya. Saat ini, dia dikelilingi oleh tatapan-tatapan yang menghakimi. Tangannya sedikit gemetar. Dia ingin mengulurkan tangannya, tetapi dia tidak tahu di mana dia bisa meletakkan tangannya. Dia hanya bisa memanggil perlahan, "Yu Er?"     

Mendengar suara gadis itu, sang Kaisar berputar sedikit. Reaksi pertamanya adalah takut, dan dengan suaranya yang serak, dia berusaha menjelaskan, "Kakak … saya belum selesai menulis …."     

Air matanya kembali melonjak dan hampir menetes dari matanya lagi. Nalan Hong Ye duduk di sisi kasur dan memegang bahu adiknya dengan tangannya. "Kamu tidak perlu menulisnya lagi. Saya tidak akan menghukum kamu lagi …."     

"Benarkah?" Mata sang kaisar muda berbinar dengan semangat. Dia lanjut bertanya, dan tampak seperti orang yang sehat, "Apakah anda serius?"     

Tiba-tiba, Nalan Hong Ye teringat pada saat ayahnya meninggal. Hatinya sepenuhnya membeku. Sambil menggigit bibirnya, dia mengangguk, "Iya, saya berjanji."     

"Itu bagus sekali!" Sang Kaisar berbaring lagi dan menatap kosong ke arah tirai-tirai yang menggantung dari atap. Sulaman naga di tirai itu terlihat ganas, seolah-olah bisa menelan orang.     

"Itu bagus sekali. Akhirnya aku bisa … bisa …." Dia tidak bisa melanjutkan ucapannya. Matanya berbinar dengan semangat, seolah-olah dia hampir mencapai impiannya seumur hidup. Pemuda itu meluruskan lehernya, dan wajahnya terlihat bersemangat, namun dengan rona yang tidak sehat. Dia menarik tangan Nalan Hong Ye, seperti hendak mengatakan sesuatu, tetapi seolah-olah tenggorokannya tersumbat, dan hanya bisa mengeluarkan suara napas yang tidak jelas.     

Para tabib kekaisaran segera bergegas mendekat, dan orang-orang berkumpul. Kasim muda yang sudah bersama dengan sang kaisar sejak kecil meratap, "Yang Mulia! Yang Mulia!"     

"Apa yang ingin dikatakan oleh Yang Mulia?" Nalan Hong Ye berbalik badan. Dengan mata yang merah, dia bertanya, "Apakah kamu tahu?"     

"Tuan putri …." Kasim muda itu berlutut di lantai seakan-akan dia sudah linglung karena ketakutan, dan tidak menjawab pertanyaan itu dengan benar, "Yang Mulia memanjat ke atas Istana Yi Le karena beliau ingin melihat ke luar. Beliau berkata kalau beliau tidak pernah keluar dari istana sebelumnya. Yang Mulia … Yang Mulia …."     

Kesedihan mengalir dari hatinya, dan rasa dingin yang mencekam membungkus seluruh tubuhnya. Dengan para tabib kekaisaran bergegas di sekelilingnya, wajah Nalan Hong Ye merah padam. Dia mengulang-ulang dengan suara serak, "Tentu saja … Tentu saja …."     

Nalan Hong Ye menggenggam tangan sang Kaisar dan berkata, "Yu Er, begitu kamu pulih, saya akan membawamu keluar!"     

Sekilat rasa girang melintas di mata sang Kaisar. Dia menutup kedua matanya, dan dengan matanya yang cerah, dia melihat ke kakak perempuannya. Matanya begitu lugu dan polos; dia terlihat seperti anak kecil. Tiba-tiba, tangannya melepaskan lengan baju Nalan Hong Ye, dan napasnya berhenti begitu tiba-tiba. Dengan benturan kecil, kepalanya jatuh menyamping di atas kasur.     

"Yang Mulia!"     

"Yang Mulia!"     

Suara ratapan sedih meledak di dalam istana, dan suara kesedihan menyebar di seluruh istana. Matahari senja akhirnya terbenam di kaki langit, dan sisa-sisa cahaya menghilang dari pandangan. Tempat itu tenggelam dalam kegelapan, sampai lentera-lentera putih dinyalakan lagi. Suara ratapan bisa terdengar di mana-mana. Tetapi, tidak bisa ditebak berapa banyak suara tangisan ini yang benar-benar berasal dari lubuk hati mereka.     

"Yang Mulia telah mangkat …." suara tajam para pelayan menembus langit. Berdiri di tengah kerumunan, Nalan Hong Ye menghadapi begitu banyak pejabat yang sedang meratap. Mereka terpecah ke dalam kelompok-kelompok dan bersedih di kelompok mereka masing-masing. Ada begitu banyak orang yang hadir, tetapi dia masih merasa seluruh istana itu begitu kosong. Saat matahari terbenam, bulan yang terang pun terbit. Cahaya putih pucat menerangi sosoknya yang sendirian. Cahaya putih itu terlihat seperti salju, begitu dingin, begitu menusuk hingga ke tulang.     

Dengan meninggalnya sang kaisar, seluruh Kekaisaran Song harus berduka. Dalam bulan itu, tidak boleh ada pernikahan, dan semua orang harus memakai pakaian berduka di luar. Tepat ketika perang akan dimulai di Barat Laut, Kekaisaran Song menghadapi bencana seperti ini. Latihan militer yang semula diadakan untuk membantu Yan Bei mengalihkan perhatian Kekaisaran Xia juga dibatalkan. Di dalam Kekaisaran Song, awan gelap menggantung di hati semua orang.     

Dengan meninggalnya Kaisar Ming Ren, Nalan Hong Ye mengumumkan wasiatnya. Putra tertua sang kaisar, Nalan He Qing akan meneruskan tahta, dan ini menandakan dimulainya masa Ming De. Tetapi, di malam meninggalnya sang Kaisar, Nalan Hong Ye jatuh sakit parah. Kelelahan yang menumpuk selama bertahun-tahun seperti satu gentong bubuk mesiu yang disulut. Begitu gadis itu melangkah keluar dari Istana Mo Ji, darah menggelegak di tenggorokannya. Namun, dia menahannya. Gadis itu terhuyung-huyung dan hampir terjatuh, Bibi Yun bergegas menyokongnya. Di hadapan semua pejabat, gadis itu tahu kalau dirinya tidak bisa memuntahkan darah itu. Karena itu, dia menelannya dan mendorong tangan Bibi Yun.     

Keluarga Nalan sudah kosong. Selain ibunya yang sedang sakit, adik perempuannya, dan keponakannya yang belum berusia satu tahun, hanya dia yang tersisa. Wilayah kekuasaan keluarga kekaisaran Nalan yang begitu luas sekali lagi jatuh ke bahunya sendirian. Karena itu dia tidak boleh jatuh, atau bahkan menunjukkan kelemahan. Di saat dia jatuh akan menandakan saat di mana seluruh usaha para leluhurnya selama ribuan tahun menjadi sia-sia.     

Setelah menegakkan punggungnya, dia dengan tenang membacakan wasiat dan mengatur pemakaman. Dengan demikian, dia berhasil menenangkan hati para pejabat. Setelah semua selesai, dia kembali ke kamar tidurnya dan duduk diam sepanjang malam. Dengan lilin yang menetes seperti air mata, mata gadis itu kosong dan dingin, tetapi tidak ada air mata yang keluar.     

Pemakaman sang Kaisar diserahkan kepada Raja An Ling dan Xuan Mo serta ayahnya. Di hari selanjutnya, berbagai pejabat dari seluruh kekaisaran mengirimkan orang untuk menghadiri pemakaman. Duduk di istana pusat, Nalan Hong Ye mengatur semuanya. Walaupun sang Kaisar sudah meninggal, pewarisnya sudah ditentukan sejak lama, dan juga Tuan Putri Pertama Nalan masih ada, jadi tidak ada perubahan yang drastis.     

Pada hari kedua, Nalan Hong Ye membawa orang ke istana sang Ratu untuk membawa sang Kaisar baru ke kuil leluhur. Tetapi, bahkan sebelum dia memasuki kamar tidur, dia melihat sebuah belati menusuk ke arahnya.     

Dengan satu tebasan, Xuan Mo mencabut pedangnya dan menangkis belati yang mendekat. Pria itu melindungi Nalan Hong Ye. Para penjaga di sekeliling menjadi panik, dan ada yang berteriak, "Pembunuh gelap! Pembunuh gelap!"     

Saat mereka akan menyerbu ke dalam kamar tidur, bisa terdengar suara sang Ratu yang berteriak ketakutan, "Akan kubunuh kamu! Kubunuh kamu!"     

Cui Wan Ru berlari keluar, rambutnya berantakan. Dengan satu tangan memegang anaknya, tangannya yang satu lagi sedang memegang gunting. Dengan mata merah, dia berteriak dengan suara serak, "Kamu wanita hina! Kamu sudah membunuh sang Kaisar. Sekarang kamu berniat membunuh anakku! Aku akan membunuhmu, aku akan membunuhmu!"     

Wajah Nalan Hong Ye menjadi pucat dan dia menggigit bibirnya. Melihat itu, Bibi Yun menyela, "Yang Mulia! Omong kosong apa yang anda ucapkan?"     

"Aku tidak berbicara omong kosong! Aku tahu segalanya!" Cui Wan Ru mendengus. "Kamu wanita yang sangat berambisi. Kamu ingin menjadi penguasa, jadi kamu membunuh sang Kaisar, dan sekarang kamu datang untuk anakku. Aku tidak akan membiarkan rencanamu berhasil!"     

Nalan Hong Ye tiba-tiba merasa sangat lelah. Matahari begitu menusuk, seakan-akan di mana pun matahari bersinar, dipenuhi dengan ketajaman. Dengan dingin, dia berbalik badan dan berkata dengan tenang, "Sang Ratu merasa tidak sehat, dan tidak bisa merawat sang Kaisar lagi. Bawa sang Kaisar pergi."     

Xuan Mo berkata dengan hormat, "Siap. Bagaimana dengan sang Ratu?" Dengan meninggalnya sang Kaisar, seluruh istana sedang heboh. Ayah Cui Wan Ru adalah Komandan Utama dari Kekaisaran Song. Kalau dia melanjutkan sebagai ibu dari sang Kaisar, kekuasaan keluarga Cui akan melesat dengan seketika. Ditambah lagi, Komandan Utama Cui adalah guru dari Raja Jin Jiang ….     

"Sang Ratu sangat bijak dan berbudi, dan bersumpah untuk selalu bersama sang Kaisar. Hadiahi dia arak beracun dan antar dia pergi!"     

Walaupun matahari bersinar, gumpalan awan hujan melayang dari barat laut. Sambil mengangkat kepalanya, Nalan Hong Ye bertanya-tanya apakah akan turun hujan. Dia memaksa dirinya untuk menyelesaikan dokumen, dan malam sudah larut. Mengikuti di belakangnya, Xuan Mo terlihat seperti berulang kali ingin mengatakan sesuatu, tetapi pada akhirnya pria itu memutuskan untuk tidak mengucapkannya. Sebelum pergi, pria itu menasehatinya, "Orang mati tidak bisa kembali kepada yang masih hidup. Saya turut berduka cita, Tuan Putri. Janganlah terlalu bersedih, karena akan merusak kesehatan anda."     

Nalan Hong Ye mengangguk, dan dengan sangat formal dia menjawab, "Saya menghargai bantuan anda, Raja Xuan."     

Xuan Mo tidak menjawab, dan hanya menatap gadis itu. Saat mendongak, Nalan Hong Ye melihat kalau wajah pria itu terlihat serius dan kesepian, dan tidak lagi dipenuhi oleh kemudaan dan kebebasan. Dengan berlalunya waktu, pada akhirnya, semua orang berubah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.