Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 152



Bab 152

0"Iya." Gadis itu menyandarkan kepalanya di dada Yan Xun, suaranya sedikit teredam. Dia terlihat seolah-olah entah bagaimana dia telah disakiti. "Pastikan kamu pegang kata-katamu."     
0

"Pasti! Aku berjanji," Yan Xun berjanji dengan tegas. "Seorang pria sejati akan selalu memegang perkataannya. Biarkan langit mematahkan kakiku jika aku ingkar."     

"Baiklah. Kamu boleh pergi."     

"Tunggu, ada satu hal lagi." Yan Xun memasang wajah tegas, dan dia berkata dengan serius, "Hal ini sangat penting, kamu harus senantiasa mengingat ini di dalam hati."     

"Hmm?" Chu Qiao mengangkat kepalanya sambil mengedipkan matanya yang besar dan berair. "Apa itu?"     

"Ingat ini! Ini adalah kata-kata nasihat yang paling tulus dari aku sebagai temanmu, sebagai seseorang yang tumbuh bersama, bertempur bersama, dan tinggal bersama denganmu sejak muda."     

Chu Qiao mengerutkan alisnya. Kecerdikannya telah membuatnya sadar kalau ada yang janggal. Dengan curiga, dia bertanya, "Apa yang mau kamu katakan?"     

"Kamu harus lebih jujur dengan dirimu sendiri!" Yan Xun berteriak, lalu tiba-tiba ia menekan kepalanya kepada Chu Qiao. Pria itu menahan sisi belakang kepala Chu Qiao, dan bibir mereka saling menekan dengan rapat. Sambil melakukan ini, lidah pria itu dengan kuat mendorong ke dalam mulut gadis itu, dalam sekejap menembus segala bentuk pertahanan yang dipasang gadis itu, benar-benar membuatnya lengah. Napas gadis itu langsung menjadi tidak beraturan, dan dadanya kembang kempis dengan hebat. Di padang bersalju itu, di hadapan 500 orang pengawal, sang Raja Yan Bei mencium Nona Cu dari Kantor Staf Militer dengan penuh gairah ….     

Hanya saat Chu Qiao hampir pingsan karena kekurangan oksigen baru Yan Xun melepaskannya. Melihat wajah gadis itu berubah menjadi merah dan ia terus melirik ke kiri dan kanan, seolah-olah dia adalah pencuri yang baru saja tertangkap basah, Yan Xun tertawa terbahak-bahak. "Apa yang kamu khawatirkan? Seluruh Yan Bei adalah milikku!"     

Chu Qiao meledak dengan marah, dan bahkan telinganya pun menjadi merah karena marah dan malu. "Ah! Baj*ngan kamu! Kesucianku sudah kamu nodai!"     

Yan Xun menarik pinggangnya, dan sambil menggerakkan alisnya, dia membalas, "AhChu, apakah kamu tidak tahu? Sejak kamu melangkah ke dalam Istana Sheng Jin, kata 'suci' sudah berpamitan padamu."     

"Baj*ngan!" Pilihan kata Chu Qiao tidak memadai untuk keadaan seperti ini, dan melihat kalau orang-orang di sekitar mereka menonton dengan girang, dia menjadi semakin marah, dia menunjuk ke AhJing dan yang lainnya sambil berteriak, "Jangan ketawa! Jangan beri tahu orang lain! Aku akan menghajarmu! Dan kamu! Kamu! Siapa kamu? Kamu tertawa begitu keras sampai aku bisa melihat gusimu! Siapa namamu? Kamu dari pasukan mana? Kamu masih tertawa? Iya, kamu!"     

"AhChu! Jangan pedulikan apa kata orang lain!" Yan Xun tiba-tiba berkata. Sambil menarik gadis itu, dia melanjutkan, "Kamu harus lebih terus terang dengan dirimu sendiri. Kamu hanya tidak mau aku pergi keluar dan merayu wanita lain, kenapa kamu malah membahas panjang lebar tentang moral dan kebajikan? Kurasa justru kamu yang perlu dihukum."     

"Oi, oi!" Chu Qiao melompat dengan malu. "Apakah sudah terlalu lama aku tidak menghajar kamu? Kamu mau menghukum aku? Memangnya kamu bisa mengalahkan aku?"     

Yan Xun sedikit terkejut, lalu dia membalas, "Itu karena aku sengaja mengalah! Kamu pikir kamu yang paling hebat di seluruh dunia?"     

"Baiklah! Kacang lupa kulitnya. Kalau kamu mau, kita bisa bertanding di sini, sekarang juga!"     

Yan Xun langsung tertawa. "AhChu, apakah kamu begitu enggan melepaskan aku pergi? Dengan sengaja, kamu mengulur-ulur waktu, menunda perjalananku."     

Chu Qiao memelototi pria itu, dan berteriak dengan marah, "Siapa yang enggan? Enyah! Melihatmu satu detik lagi bisa membuat aku semakin marah!"     

"Kalau begitu, aku benar-benar boleh pergi sekarang?"     

"Pergi sana! Tidak ada yang melihatmu."     

"Jangan menyesal!"     

"Tidak akan!"     

"Setelah aku pergi, jangan diam-diam menangis!"     

"Kamu mau pergi atau tidak? Banyak omong kosong!"     

"Haha!" Yan Xun melompat ke atas kudanya, dan dia tertawa sambil berkata, "AhChu, aku pergi dahulu. Tunggu aku kembali dengan membawa kemenangan! Hiyah!" Ratusan kuda perang itu bergemuruh hingga kejauhan. Salju yang putih bersih tertendang ke atas oleh para kuda tersebut dan menjadi kabut tipis di atas tanah. Elang melayang di angkasa, dan bunyi angin mengamuk di kejauhan, matahari yang keemasan menyinari sosok para prajurit yang menghilang di kejauhan, hanya menyisakan bayangan yang samar.     

Chu Qiao berdiri di tempat itu tanpa bergerak, mengamati Yan Xun pergi. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan saat dia mengatupkan kedua tangannya dan berdoa. Dengan suara lembut, dia berdoa dengan sepenuh hati, "Tuhan yang Maha Kuasa, kumohon dengarkan aku, lindungi kekasihku, dan lancarkan perjalanannya, pastikan kemenangannya dan bawalah ia kembali dengan selamat."     

Saat Yan Bei menjadi perwujudan neraka beku dengan badai salju yang terus menerpa, di Kekaisaran Song sudah berhari-hari hujan terus turun tanpa henti, dengan awan mendung menutupi di atas langit mereka. Di dalam istana, tidak ada obor yang menyala, hanya cahaya lilin kecil yang berkedip di dalam kegelapan. Di dalam Istana Mo Ji yang kosong, renda sutra berwarna hijau melayang tertiup angin sepoi-sepoi, dan lorong-lorongnya dilapisi kayu sonokeling [1. Kayu keras berkualitas tinggi, kayu rosewood.]. Lantai itu terlihat kuno, namun sebenarnya itu sama mahalnya dengan melapisi seluruh lantai dengan emas. Setiap langkah menghasilkan gema yang unik, seolah-olah suara itu telah mengarungi ruang dan waktu dari masa lalu yang kuno, bagaikan lagu ritual yang dinyanyikan di akhir zaman.     

Di setiap bangunan telah digantungkan lentera-lentera yang putih bersih. Hari ini adalah peringatan kematian mendiang kaisar Nalan Lie, dan oleh karena itu, semua orang memakai pakaian upacara berwarna putih. Bahkan pada bunga merah yang sedang mekar di depan istana diikatkan pita putih. Hujan tanpa henti membuat suasana menjadi semakin suram.     

Dengan bunyi kerincing dari lonceng, seorang wanita yang memakai hiasan kepala mewah berjalan di dalam istana yang luas itu. Dengan raut wajah yang tegas, matanya berkilau dengan kekuatan dan kepercayaan diri. Walaupun dia tidak akan termasuk wanita yang cantik luar biasa, namun dia tetap termasuk wanita yang menarik berdasarkan wajahnya yang lumayan dan sikapnya yang anggun.     

Di ujung istana besar itu ada sebuah karpet kecil dengan sebuah meja kecil. Di samping meja tersebut, ada beberapa orang pelayan yang berteriak dan bersorak dengan keras. Semua orang sedang tenggelam dengan apa pun yang sedang mereka lakukan. Seorang remaja yang memakai jubah naga juga bergabung di dalam kerumunan itu. Walaupun dia terlihat hampir berusia dua puluh tahun, dia sedang menari-nari, bersikap seperti anak berumur enam hingga tujuh tahun.     

Seorang bibi di samping merengut dan mendekati mereka. "Tuan putri pertama telah tiba, apakah kalian tidak akan menyambutnya?"     

Mendengar itu, kerumunan tadi, yang sedang bermain, segera berbalik badan. Melihat wanita yang berdiri di tengah, mereka bergegas dengan panik. Sambil berlutut, orang-orang itu berteriak, "Kami memberi hormat kepada Tuan Putri Pertama. Semoga Tuan Putri panjang umur."     

"Berdirilah." Wanita yang berpakaian sederhana itu mengangguk pelan, dia memancarkan aura bagaikan seorang dewi. Melihat ke remaja berjubah kuning keemasan, wanita itu melambai kepadanya. "Yu Er, kemari."     

Remaja itu menggaruk kepalanya dan berjalan mendekat dengan enggan. Para pelayan di belakang wanita itu segera memberi salam kepada remaja itu, "Kami memberi hormat kepada Kaisar."     

Kaisar muda itu bahkan tidak melirik mereka, dia dengan kikuk melambaikan tangannya sebelum dia mendongak. Air liur mengalir turun dari sudut bibirnya. Seperti seorang anak yang ketakutan terhadap gurunya, dia berbicara kepada wanita itu, "Kakak, aku tidak melakukan kesalahan apa pun."     

Diterangi oleh cahaya remang-remang lilin, wanita itu mengeluarkan saputangannya yang dihiasi sulaman anggrek, dan menyeka air liur sang kaisar muda, lalu menjawab, "Aku tahu."     

Sang Kaisar menundukkan kepalanya dan bergumam tidak jelas dengan suara kecil. Wanita itu mendesah, "Hari ini adalah peringatan wafatnya ayah kita, mengapa Yu Er tidak mau ke kuil dan membakar dupa untuk ayah? Selain itu, kamu menyuruh orang untuk memukul Kasim Lu."     

Jawaban sang Kaisar sangat halus, sambil menunduk "Aku … aku tidak mau pergi."     

Wanita itu menundukkan kepalanya dan bertanya dengan sabar, "Mengapa begitu? Bisakah kamu memberi tahu kakak?"     

"Karena … karena …." Sang kaisar mengangkat kepalanya, kulitnya yang biasa putih sekarang merona merah, saat dia berusaha menjelaskan, "Karena Raja Chang Ling selalu mengejek aku …. Aku tidak suka bermain dengan mereka."     

Suara rintik hujan terdengar dari luar, dan angin membawa udara lembap ke dalam lorong itu. Setelah berpikir sejenak, wanita itu mengangguk dan memberi tahu sang kaisar, "Kalau kamu tidak mau pergi, kamu tidak perlu pergi." Lalu sambil menoleh kepada para pelayan yang masih berlutut di lantai, wanita itu memerintahkan kepada mereka, dia berkata, "Pastikan kalian selalu menemani sang kaisar!"     

"Baik!" Rombongan anak-anak itu, yang berusia sekitar 12 hingga 13 tahun, menjawab dengan serentak. Wanita itu kemudian berbalik, dan dengan iringannya, menuju keluar dari istana. Tidak lama kemudian, suara sorakan itu kembali berlanjut. Jika diperhatikan dengan saksama, bisa terdengar kalau suara itu benar-benar dipenuhi dengan kegembiraan dan kesenangan.     

Siapa yang menyangka kalau Kekaisaran Song, yang menguasai lahan paling kaya di seluruh benua, memiliki seorang kaisar yang secara harfiah seorang idiot? Kematangan mentalnya akan selamanya seperti berusia sepuluh tahun, dan usia mentalnya tidak akan berkembang lagi dari sekarang. Ini adalah rahasia yang paling dijaga ketat oleh Kekaisaran Song. Tuan Putri Song telah menyembunyikan ini dari mata publik selama bertahun-tahun. Namun seiring dengan Nalan Hong Yu yang perlahan tumbuh besar, hari di mana dia seharusnya mengawasi berbagai urusan istana kembali ditunda, dan suara-suara yang sangsi akan sang tuan putri semakin menguat akhir-akhir ini. Wanita itu akhirnya mulai merasakan tekanan tersebut.     

Tahun itu, sebelum Nalan Lie meninggal, kaisar ini, yang telah menaklukkan berpetak-petak garis pantai, menatap putrinya yang muda dan putranya yang idiot, dan berseru dengan kencang, "Ini semua karma!" lalu meninggal. Tanggung jawab atas wilayah yang luas itu kemudian ditanggung oleh seorang gadis yang bahkan belum berusia 15 tahun saat itu. Dalam sekejap mata, lima tahun telah berlalu.     

Menatap sosok lemah yang berjalan di depannya, hati Bibi Yun terasa campur aduk. Dia sulit membayangkan kalau gadis muda itu kini sudah berusia 20 puluh tahun, menghabiskan tahun-tahunnya yang paling cantik bekerja begitu keras dari balik layar di istana. Walaupun orang lain tahu kalau Tuan Putri Pertama begitu cakap dan bijaksana, di tahun-tahun belakangan ini muncul suara-suara tidak setuju, karena ada yang mencurigai kalau dia telah merampas kekuasaan dari kaisar yang muda itu. Beberapa orang bahkan mengira dia telah menahan sang kaisar sebagai tahanan rumah. Melihat bagaimana gadis muda ini telah tumbuh dewasa, mungkin hanya Bibi Yun yang tahu betapa keras usaha yang dikerahkan gadis muda ini. Lima tahun. Dalam kehidupan seorang wanita, bisa ada berapa kali lima tahun ini terjadi?     

"Tuan Putri, sekarang sudah malam, apakah kita akan kembali ke istana dan beristirahat?"     

Nalan Hong Ye menggeleng. "Masih ada beberapa dokumen yang menunggu persetujuan di Istana Yu He."     

Bibi Yun segera menyarankan, "Kalau begitu bagaimana kalau kita membawanya ke kediaman anda dan membacanya di sana?"     

Melihat bibi yang telah merawatnya sejak masih muda begitu cemas, Nalan Hong Ye tersenyum lembut dan setuju, "Baiklah."     

Bibi Yun dengan senang segera memerintahkan beberapa pelayan lainnya untuk bergegas menuju Istana Yu He dan mengambil dokumen-dokumen tersebut. Tak lama kemudian, lampu-lampu di Istana Rou Fu mulai menyala sepenuhnya, dan seluruh tempat itu diterangi dengan benderang. Walaupun Nalan Hong Ye adalah orang yang rendah hati, para pelayan di dalam istana semuanya tahu siapa yang sebenarnya berkuasa di dalam istana, dan akan melayani wanita ini dengan lebih berhati-hati.     

Saat itu sudah hampir tengah malam, dan Bibi Yun sudah diam-diam masuk dan memeriksa beberapa kali. Akhirnya, dia melihat dokumen yang tersisa di atas meja telah berkurang. Namun, pada akhirnya, dia melihat sang Tuan Putri memegang sebuah surat dari perbatasan dengan ragu untuk waktu yang cukup lama. Dia akhirnya berjalan mendekat. Sambil merengut, dia bertanya, "Tuan Putri, hal apa yang begitu sulit diputuskan? Sekarang sudah tengah malam. Besok, anda masih harus menghadiri pertemuan pagi."     

"Hmm? Ini sebuah laporan dari perbatasan." Walau diganggu oleh seseorang, Nalan Hong Ye menjawab sambil melamun, tampaknya dia terlalu tenggelam dalam pemikirannya. Ia menyapu beberapa helai rambut di wajahnya, dan ia tidak menyembunyikan pertimbangannya dari orang kepercayaan terdekatnya. "Kekaisaran Xia mengirim pasukan mereka ke Yan Bei. Yan Bei sedang sangat membutuhkan pasokan obat dan makanan. Ditambah lagi, mereka ingin menukar bijih dan bahan tambang mereka dengan senjata."     

Bibi Yun jelas bukan wanita biasa yang tidak paham apa pun tentang politik, dia merengut dan bertanya, "Bukankah kita baru saja mengirimkannya ke mereka?"     

"Jumlah yang kita kirim tidak cukup untuk menghasilkan dampak apa pun. Dengan Pangeran Chang Le dan Raja Jin Jiang yang terus mengganggu, terutama dengan alasan mereka kalau perang di Laut Timur akan segera dimulai, pasokan kita sudah berkurang banyak sekali. Karena peperangan di Utara, biaya sehari-hari untuk pasokan itu melonjak tinggi. Uang yang kita ambil dari Pangeran Yan sebagian besar sudah terpakai."     

Nalan sedikit merengut, tiba-tiba dia menyadari ada banyak suara dari arah Istana Qin An. Dia berdiri dan bertanya, "Apa yang terjadi di luar sana?"     

Bibi Yun bergegas keluar lalu dia kembali sambil tersenyum. "Bukan masalah besar. Pangeran muda sedang menangis. Sang Ratu khawatir dia sakit, jadi dia mengabari para tabib kekaisaran untuk datang."     

Nalan mengangkat alisnya dan bertanya, "Apa kata tabib?"     

"Kata tabib semuanya baik-baik saja. Anak itu hanya kelaparan."     

Nalan tersenyum tipis. Dari matanya yang cerah, bisa terlihat kebijaksanaannya. "Anak itu adalah harapan bagi Kekaisaran Song. Pantas saja sang Ratu begitu cemas. Bibi Yun, anda lebih berpengalaman, jadi akan sangat bagus jika anda juga bisa membantu mengawasi anak itu juga."     

"Baik." Nalan kembali duduk di kursinya. Untung saja Yu Er memiliki anak ini. Karena tidak mungkin dia bisa menjadi seorang kaisar, maka Nalan Hong Ye hanya bisa menaruh harapannya kepada anak itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.