Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 178



Bab 178

0Akhirnya, terdengar suara desahan pelan dari pria itu. Pada saat itu, Chu Qiao gemetar karena dia mengira dia sudah berhasil. Tetapi setelah itu, Yan Xun melanjutkan dengan suara dingin, "Lanjutkan eksekusi!" Dengan bunyi tebasan, rentetan suara yang rapi terdengar, dan setelah itu, suara benturan pelan terdengar di tengah kerumunan. Seluruh kejadian itu begitu cepat hingga tidak ada yang sempat berteriak kesakitan. Darah menyembur ke langit dan menodai salju yang putih bersih menjadi merah darah.     
0

Sunyi. Sunyi senyap. Darah Chu Qiao membeku, seolah-olah seluruh anggota tubuhnya disumpal dengan es. Gadis itu mencengkeram salju, dan salju yang dia cengkeram terasa dingin seperti hatinya, sama sekali tidak memiliki kehangatan apa pun.     

"Komandan He Xiao tidak mampu mendisiplinkan anak buahnya, karena prajurit lain yang mengikutinya telah mengabaikan hukum militer. Tangkap mereka, dan hukum mereka delapan puluh pukulan masing-masing. Setelah itu, mereka akan ditahan oleh Pasukan Pertama." Suara tenang Yan Xun menggema perlahan di lapangan terbuka itu. Tidak ada orang yang bersuara, semua orang hanya bertindak sesuai perintah dari pria itu. Sepatu bot mereka berderak saat mereka berlari di salju.     

"Nona." Suara He Xiao datang dari belakang. Pria itu hampir berlutut di tanah, dan suaranya terdengar sangat tenang. Tetapi, bisa terdengar kalau kesedihan memenuhi suara pria tersebut. Dia berkata kepada Chu Qiao, "Kami telah membuat Nona malu. Saya mohon agar Nona menjaga diri baik-baik."     

Dengan suara langkah kaki yang berjalan menjauh, kerumunan itu bubar. Di tengah angin yang semakin kencang, lutut Chu Qiao menjadi mati rasa karena terus berlutut, dan tangan serta kakinya membeku, tidak sanggup mengerahkan tenaga sama sekali. Tetapi, gadis itu tetap dalam posisi itu dan berlutut di sana saat salju perlahan menumpuk di atasnya, menjadi satu lapisan tebal. Sepasang sepatu bot putih mendekat, dan Yan Xun mengulurkan tangannya untuk memegang bahu gadis itu. Saat merasakan sentuhan tangan pria itu, Chu Qiao melompat berdiri, dan terhuyung mundur, seakan-akan dia telah tersundut oleh api.     

Para pengawal berdiri jauh, memunggungi mereka. Yan Xun berdiri di hadapan gadis itu dan tidak berbicara. Dia hanya tetap dalam posisi ingin menyokong gadis itu, dan tangannya diulurkan dengan canggung. "AhChu." Yan Xun memanggil gadis itu dengan perlahan. Tetapi, gadis itu bersikap seperti dirinya sudah tuli. Setelah mencari kudanya, gadis itu menaikinya.     

Hari ini sangat dingin. Chu Qiao tiba-tiba teringat bahwa sebelumnya dia merasa Yan Bei lebih hangat daripada Kekaisaran Tang. Tetapi, tiba-tiba dia menyadari kalau Yan Bei sebenarnya sangat dingin, sampai-sampai darahnya bisa membeku, seolah-olah dirinya sudah jatuh ke dalam jurang es.     

Malam itu, penyakit Chu Qiao menjadi jauh lebih parah. Bahkan sebelum dia meninggalkan perkemahan prajurit, gadis itu sudah terjatuh dari kudanya. Setelah diantarkan pulang ke kediamannya, Lu Liu begitu khawatir dan mulai menangis keras. Berjaga di samping kasur Chu Qiao, Lu Liu memanggil nama gadis itu berulang-ulang. Dengan lemah, Chu Qiao membuka matanya dan ingin menenangkan Lu Liu kalau dirinya akan baik-baik saja dan masih banyak hal yang belum dia selesaikan. Tetapi, saat Chu Qiao membuka mulutnya, dia tidak bisa mengucapkan apa pun.     

Pada saat dia bangun, pelayan itu masih berada di sisinya. Melihat Chu Qiao sudah bangun, pelayan itu sangat bahagia sampai meneteskan air mata. Setelah Chu Qiao minum obat, Lu Liu memberitahunya kalau Yan Xun sudah datang sejak lama, dan sudah berdiri di luar pintunya selama hampir 14 jam.     

"Di luar masih turun salju," Lu Liu perlahan memberi tahu Chu Qiao, sambil mencuri-curi pandang untuk melihat reaksi majikannya tersebut.     

Chu Qiao berbaring di kasur, dan banyak hal yang membanjiri pikirannya. Semua kenangan itu melintas di benaknya seperti sungai yang mengalir, kepingan dan potongan kenangan selama delapan tahun terakhir bergabung menjadi satu sungai. Dia menyadari kalau dirinya sudah mengerti semuanya, dan tidak menyimpan rasa benci atau marah. Yang dia rasakan hanyalah kekecewaan yang berat.     

Di Kota Zhen Huang, di wilayah Barat Laut, di tembok kota Chi Du, di medan perang Bei Shuo, para prajurit Garnisun Utusan Barat Daya telah membuktikan kesetiaan mereka dengan nyawa mereka. Ada Feng Ting yang muda dan tampan, Mu Rong yang tenang dan dewasa, Wu Dan Yu yang cerdas dan banyak akal, Wen Yang yang taat peraturan dan keras kepala, dan masih banyak lagi. Mereka semua bukan orang suci; mereka adalah pejuang yang menggunakan tubuh mereka sebagai batu dan perisai bagi orang lain. Mereka tentunya pernah berbuat kesalahan, dan leluhur mereka pernah mengkhianati Yan Bei dan melakukan kejahatan yang tidak bisa diampuni. Tetapi, mulai sejak mereka mengikuti gadis itu dari Kota Zhen Huang, mereka telah menyerahkan nyawa mereka di dalam tangan gadis itu. Yan Xun benar. Mereka bukan setia terhadap pria itu, melainkan terhadap Chu Qiao. Namun, gadis ini tidak memiliki kemampuan untuk melindungi mereka. Dia membawa harapan pasukan tersebut. Dia telah berjanji kalau dia akan memastikan kesalahan mereka di masa lalu akan dimaafkan. Dia pernah berteriak di atas tembok kota Chi Du asalkan mereka bertempur dengan berani untuk menghentikan pasukan Xia, mereka akan menjadi pahlawan bagi Yan Bei, dan nama mereka akan terukir dalam sejarah pencapaian militer di Yan Bei! Karena itu, mereka mengikutinya dan melindungi setiap tanah Yan Bei yang telah mengasingkan mereka, dan mengusir musuh yang jumlahnya berkali-kali lipat dari jumlah mereka. Tetapi sekarang, patung gadis itu telah dibangun di Aula Kesetiaan dan dia telah menjadi pahlawan yang dikenal semua orang. Sedangkan mereka, justru mati di tangan sekutu mereka sendiri.     

Apa yang telah dia lakukan? Apa yang telah dia dapatkan dengan menukar jiwa-jiwa muda yang telah menyerahkan diri mereka padanya?     

Seolah dadanya telah ditimpa oleh batu besar, dia merasakan rasa manis dari darah yang keluar di tenggorokannya. Para prajurit itu tumbang di belakangnya, tetapi dia bahkan tidak memiliki keberanian untuk melihat mereka. Saat dia pergi dengan terburu-buru, dia hanya melihat bercak merah di belakangnya.     

"Nona! Nona!" Lu Liu membuka paksa tangan Chu Qiao, dan melihat telapak tangan gadis itu telah berdarah. Kukunya menusuk ke dalam telapaknya saat Chu Qiao mengepalkan tinjunya.     

"Tolong keluar dulu. Biarkan saya beristirahat sendiri sebentar," terdengar sebuah suara yang pelan, namun sangat serak.     

Lu Liu ragu-ragu untuk beberapa detik lalu akhirnya dia menurut dan meninggalkan kamar tersebut. Ruangan itu langsung menjadi hening.     

Dengan bulan yang menggantung di langit, angin semakin kencang. Gadis itu tahu kalau Yan Xun masih di luar. Selama dia tidak keluar, pria itu akan tetap menunggu. Pria itu memang selalu keras kepala. Ketika mereka masih muda, pria itu belajar cara menggunakan pedang dari Chu Qiao. Gerakan yang begitu sulit bisa dia kuasai hanya dalam waktu satu bulan. Pria itu terus berlatih siang dan malam, dan tidak berhenti bahkan ketika tangan dan kakinya sudah kapalan. Sampai hari ini, gadis itu masih ingat di halaman itu, pria itu berdiri di hadapan pilar dan berlatih setiap gerakan, dan tatapan pria itu tegas bagaikan harimau. Yan Xun selalu memendam banyak hal di dalam hatinya. Chu Qiao mengira dirinya sudah mengerti pria itu, tetapi sekarang dia mulai ragu apakah dia benar-benar mengerti Yan Xun.     

Tatapan gadis itu mulai membeku, setitik tekad berkilau di matanya. Tiba-tiba dia turun dari kasur, dan menarik napas dalam-dalam dua kali. Hanya memakai piama, gadis itu berlari ke pintu, dan masuk ke dalam pelukan erat pria tersebut. Saat merasakan kehangatan gadis itu, Yan Xun terkejut. Dia tidak menyangka gadis itu akan keluar, atau setidaknya tidak secepat ini. Saat dia merasakan tangan kurus gadis itu memeluk pinggangnya baru dia bisa bereaksi, dan dia membalas pelukan gadis itu dengan pelukan yang lebih erat.     

"AhChu! Aku telah menyakitimu." Pria itu mendesah.     

Chu Qiao meringkuk di dada pria itu dan hanya memeluknya dengan erat tanpa menjawab. Yan Xun menjelaskan perlahan, "Aku tidak meragukan dirimu, juga tidak membenci Garnisun Utusan Barat Daya. Jumlah mereka sekarang hanya 2.000 orang, dan dengan kekuatan selemah itu, aku terpaksa membubarkan mereka. Tetapi, mereka tidak disiplin dan menyerang perkemahan Pasukan Pertama. Kalau aku tidak menghukum mereka, itu hanya akan menjadi masalah di masa depan."     

Chu Qiao menjawab dengan sedih. "Aku mengerti. Aku mengerti semuanya. Yan Xun, aku sudah mempersulit kamu."     

Yan Xun mengangkat dagu gadis itu dan menatap matanya, lalu berkata, "Tidak apa-apa, aku hanya khawatir aku telah melukai kamu. Asalkan kamu masih bersedia untuk keluar dan menemuiku, aku bisa tenang."     

Chu Qiao, dengan mata yang merah, menggigit bibirnya dan berkata, "Mereka berulang kali menyelamatkan aku, dan aku sangat berutang budi kepada mereka. Yan Xun, aku tidak tega melihat apa yang terjadi kepada mereka."     

Yan Xun merengut, dan akhirnya dengan tak berdaya menjawab, "Baiklah, aku akan melepaskan He Xiao dan anak buahnya. Tetapi jika mereka melakukan pelanggaran lagi, aku tidak akan bersikap lunak terhadap mereka."     

Chu Qiao mengangguk. "Yan Xun, terima kasih."     

Cahaya bulan yang pucat menerangi langit dan angin berembus. Mereka berdua berpelukan erat, namun rasanya seperti mereka begitu jauh dari satu sama lain.     

Setelah Yan Xun kembali ke kamarnya, Chu Qiao juga kembali ke dalam kamarnya sendiri. Setelah menutup pintu, wajahnya kembali menjadi dingin. Dengan diam, dia berjalan ke arah kasurnya dan dengan berhati-hati duduk sambil berpegangan pada kasurnya.     

Tidak cukup anggota? Membubarkan pasukan? Mengambil bendera mereka? Tidak disiplin? Yan Xun, mengapa kamu bisa mengatakan hal seperti itu kepadaku?     

Bagi seorang prajurit, kalau kesatuan mereka dibubarkan itu adalah penghinaan yang besar. Bagi seorang prajurit, bendera mereka adalah sesuatu yang akan mereka bela sampai mati. Selama bendera masih berdiri, pasukan itu masih ada. Apalagi, penambahan prajurit baru adalah hal yang sangat sederhana. Wen Yang dan anak buahnya yang 30 orang lebih semuanya prajurit administrasi. Apakah mereka sanggup menyerbu ke dalam perkemahan Pasukan Pertama yang memiliki lebih dari 300.000 prajurit, merebut kembali bendera mereka, dan kabur hingga keluar kota? Ketika orang-orang dari Garnisun Utusan Barat Daya akan dieksekusi, mengapa He Xiao dan yang lainnya tidak ditahan dan dibiarkan masuk ke tempat eksekusi untuk membuat keributan?     

Bahkan jika kamu bilang kamu membenci Garnisun Utusan Barat Daya karena pernah mengkhianati Yan Bei, itu lebih baik daripada membohongi aku seperti itu.     

Satu garis air mata mengalir. Saat cahaya bulan menyinari ruangan itu, sekelilingnya diwarnai putih keperakan. Dengan perlahan bersandar di kasur, ribuan pikiran membanjiri benaknya, namun dia masih tidak bisa menemukan apa yang salah. Pada saat itu, sebuah kepingan giok yang dingin terjatuh dari kasur. Saat memungutnya, Chu Qiao menyadari kalau itu adalah giok untuk mendoakan dirinya panjang umur. Mungkin itu ditaruh di sini oleh Lu Liu tadi. Mengingat bagaimana Feng Zhi dan Lu Liu membawa pulang papan doa panjang umur itu, sesuatu menjadi terhubung di dalam benaknya, dan hati gadis itu membeku seakan-akan seseorang baru saja menenggelamkan dirinya ke dalam danau es. Bagaimanapun juga, He Xiao dan yang lainnya akan aman untuk sekarang.     

Chu Qiao tersenyum getir. Dia tidak pernah membayangkan kalau suatu hari dia harus melakukan hal seperti ini. Air matanya mengalir tanpa henti di dalam kegelapan.     

Yan Xun, Yan Xun, apa yang terjadi padamu? Di dalam malam yang gelap, akhirnya gadis itu tidak bisa lagi menyimpan semua itu, dan dia mulai menangis dengan keras.     

Saat itu sudah larut malam, dan burung-burung liar terbang di atas kepalanya. Kaki kuda mengetuk lapisan es yang telah menumpuk entah berapa ribu tahun. Angin yang kering dan dingin bertiup dari jauh dan suhu semakin menurun. Angin utara bagaikan serigala yang menggila, dan melolong tanpa henti siang dan malam. Duduk di atas kuda, Chu Qiao menyusutkan lehernya ke dalam pakaiannya sambil menjilat bibirnya yang kering, diam-diam mengikuti cahaya di depannya tanpa mendekatinya.     

Setelah cukup lama, kelompok di depannya itu akhirnya berhenti. Chu Qiao melompat turun dari punggung kudanya. Dia menggosok wajahnya yang sudah mati rasa karena angin dingin, lalu mulai menurunkan barang bawaannya, kemudian mengambil kayu bakar untuk menyalakan api.     

Di saat ini, di dalam pasukan besar di depan itu, asap dari api unggun mereka juga mulai melayang di udara. Dengan tirai kulit yang berkibar-kibar, AhJing berjalan masuk dengan kepala penuh kepingan salju. Melihat seorang jenderal muda yang berdiri di samping Yan Xun sambil diam-diam melaporkan sesuatu, wajahnya menjadi kecewa.     

Yan Xun melirik ke arahnya dengan santai, tidak jelas apa perasaan pria itu. Namun, Yan Xun terus mendengarkan laporan orang itu, dan sesekali menganggukkan kepalanya. AhJing berdiri di samping pintu dan wajahnya sedikit memerah. Setelah cukup lama, AhJing berdeham, dan mengabarkan dengan lantang, "Yang Mulia, ada sesuatu yang ingin dilaporkan bawahan ini."     

Seolah-olah dia baru menyadari keberadaan AhJing, Yan Xun mengangkat kepalanya dan menatap AhJing dengan datar lalu perlahan berkata, "Pergi dan tunggu di luar."     

Wajah AhJing menjadi semakin merah. Dengan marah, dia melihat ke arah pria di samping Yan Xun, dan melihat kalau pria itu sedang membungkuk, dan menunjukkan rasa hormat dengan sebisa mungkin. Ketika AhJing masuk, pria itu bahkan tidak mengangkat matanya. AhJing segera termakan oleh kemarahan, dan dia berteriak menyahut lalu berjalan keluar sambil mengentakkan kakinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.