Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 193



Bab 193

0Pasukan Yan Bei telah mengepung mereka; pertempuran jarak dekat di antara kedua pasukan itu luar biasa sengit. Darah menodai padang salju hingga menjadi merah menyala; pasukan garis depan dari Yan Bei bertarung dengan berani melawan pasukan Zhuge Yue, bagaikan dua ombak yang saling menghantam. Pedang-pedang mereka berkilauan. Di tengah pertarungan, darah terciprat ke mana-mana, bagaikan lava panas yang bercampur dengan tanah bersalju.     
0

Suara angin dan teriakan untuk membunuh sangat memekakkan telinga. Jeritan kesakitan kuda-kuda perang bercampur dengan jeritan para prajurit saat mereka terjatuh dari kuda mereka. Medan perang itu kacau balau, seperti panci air mendidih - strategi apa pun sudah tidak berguna lagi. Setelah beradu secara langsung, yang terjadi adalah yang kuat yang bertahan. Pada saat ini, semua orang bersikap seolah-olah mereka sudah gila, mengayunkan pedang mereka ke arah musuh, mata mereka sudah merah. Potongan tubuh, darah, otak yang berceceran … para prajurit roboh baris demi baris seperti rumput yang layu di musim gugur. Pemenang dalam pertarungan satu lawan satu akan segera terbunuh oleh orang lain. Sebelum mereka mati, mereka mencengkeram kaki musuh, berharap bisa mengulur waktu yang berharga agar rekan mereka bisa menyerang.     

Walaupun pasukan dari Yan Bei menang jumlah dari lawan, mereka tidak bisa menembus formasi yang dibentuk oleh para Pengawal Yue. Ketika prajurit lapisan luar tumbang, posisi kosong itu langsung digantikan oleh prajurit dari dalam. Mereka berdiri di sana dengan tegar, sambil mengayunkan pedang mereka. Kuda-kuda mereka, yang tampak sudah mau tumbang karena gelombang serangan yang bertubi-tubi, tetap berdiri tegap. Mereka lengket seperti koyok; walaupun mereka sudah di ambang kekalahan, mereka tidak menyerah. Meskipun melihat rekan-rekan di sekitar mereka tumbang, mereka terus bertarung sendirian, membunuh musuh tanpa henti. Mereka tidak takut darah, atau kehilangan tangan atau kaki. Hingga napas terakhir, mereka telah bertekad untuk terus bertarung; bahkan jika mereka ditusuk, mereka akan mengoyak sepotong daging dari musuh mereka!     

Orang-orang ini telah mengikuti Zhuge Yue sejak muda. Karena pria itu adalah putra dari keluarga utama, para petinggi dari keluarga telah mempekerjakan beberapa puluh ahli bela diri di sisinya, beserta lebih dari 500 orang pengawal pribadi. Selama sepuluh tahun, mereka telah bertarung bersama Zhuge Yue dari selatan hingga utara, menjalani begitu banyak pertempuran tanpa mundur. Saat ini, mereka menunjukkan semangat ini lagi, di hadapan para prajurit Yan Bei.     

Pimpinan pengawal Yan Xun yang baru diangkat, Nie Gu, berteriak sambil mengayunkan pedangnya, "Bunuh! Bunuh mereka semua!"     

Sekujur tubuh Yue Jiu terciprat darah saat dia menusuk leher seorang musuh. Pria itu tidak lagi terlihat tenang seperti sebelumnya. Dia menyeka darah di wajahnya dan berteriak, "Saudaraku! Mari kita tinggalkan jejak darah!" Mayat dan pedang berceceran di tanah; tampaknya sudah tidak ada tempat kosong. Para prajurit mengayunkan pedang-pedang mereka dan menendang mayat-mayat ke pinggir. Teriakan untuk membunuh dan jeritan kesakitan sangat memekakkan telinga, sedangkan darah beserta daging manusia, tercecer di mana-mana.     

Seorang prajurit dari Yan Bei memotong kaki dari seorang Pengawal Yue. Prajurit muda itu tidak bersuara dan sebaliknya, menusuk dada prajurit Yan Bei tersebut. Sebelum prajurit Yan Bei itu tumbang, dia menarik pinggang Pengawal Yue tersebut. Mereka berdua berguling di tanah, sudah di ambang kematian, seperti dua ekor anjing liar yang saling menggigit. Mereka berdua seolah-olah memiliki dendam kesumat terhadap satu sama lain. Namun, sebelum mereka saling menggigit hingga mati, lebih dari 10 kuda perang berlari ke arah mereka. Para prajurit di atas kuda perang masih terus bertarung saat dua orang di bawah terinjak-injak sampai mati. Tulang mereka remuk dan otak mereka terciprat ke kaki kuda-kuda tersebut.     

Medan perang itu berubah menjadi kolam pusaran merah tua, yang berpusat di 300 orang Pengawal Yue. Formasi kedua pihak sudah berantakan. Para prajurit Yan Bei dari luar tidak bisa menembus masuk, dan berdiri di luar saat kuda-kuda mereka meringkik keras. Begitu rekan mereka terbunuh, prajurit lain menggantikan tempat mereka di garis depan. Pada saat ini, bagian barat laut dari formasi Pengawal Yue sudah ditembus. Nie Gu berteriak gembira saat para prajurit mengangkat pedang mereka untuk mengikutinya dari belakang, sambil meneriakkan pekikan perang yang memekakkan telinga.     

"Lindungi sang jenderal!" Yue Jiu berteriak. Wajah mudanya telah menjadi merah karena darah, membuat penampilannya menjadi sulit dikenali. Para Pengawal Yue, dengan mata merah, berbalik untuk mengisi lubang tersebut, tetapi tertahan oleh musuh di sisi mereka.     

Nie Gu berteriak lantang, "Serbu! Bunuh pengkhianat bernama Zhuge itu!"     

Wush! Saat dia menyelesaikan kata-katanya, sebuah pedang menebas lehernya, meninggalkan jejak darah. Detik berikutnya, kepala komandan muda itu melayang di udara. Tubuhnya melengkung ke belakang dan dia ambruk ke dalam kolam darah. Zhuge Yue berdiri tegak sambil memegang pedangnya. Mantel hijaunya menonjolkan warna kulit wajahnya yang putih. Tatapan matanya sangat dalam saat dia menatap medan perang yang kacau balau itu dengan mata yang membara. Setetes darah mengalir turun di dahinya, melintasi lekukan wajahnya. Di belakang pria itu tergeletak gunung mayat; lebih jauh ke belakang, kota itu terbakar dan berasap. Jauh di belakangnya, terletak medan perang utama antara Yan Bei dengan Xia.     

Perang terus berkecamuk; warga sipil menangis meminta pertolongan. Benua Meng Barat sedang berguncang; langit dan bumi sedang berdarah. Zhuge Yue berdiri dengan garang di kolam darah sementara pembantaian terus berlanjut di sekelilingnya, dia berdiri tegap bagaikan gunung.     

"Jenderal!"     

"Bagus!" Sorakan yang bergemuruh segera terdengar. Zhuge Yue berdiri di tengah kolam darah, berteriak dengan suara lantang, "Kalian semua tidak boleh mati! Serbu!"     

"Siap!" para prajurit itu berseru dengan serempak. Zhuge Yue berdiri di depan dan memimpin pasukannya secara langsung. Kelincahannya membuat pandangan orang lain menjadi kabur. Dia terlihat seperti sebuah gelombang putih; ke mana pun dia pergi, orang-orang mental ke udara. Sungguh pemandangan yang berantakan.     

Hanya tersisa 100 orang Pengawal Yue. Semangat mereka meningkat dan teriakan mereka pun semakin kencang. Pasukan Yan Bei yang mengaku tidak terkalahkan, saat menghadapi pemandangan menyeramkan ini, terpaksa mundur. Medan perang kini menemui jalan buntu. Para pejabat di belakang memaki dan mengutuk, namun bagaimanapun mereka memaki, mereka tidak bisa menaklukkan tempat yang lebih tinggi itu. Tidak peduli berapa banyak prajurit yang mereka kirimkan ke garis depan, mereka tidak bisa menembus pertahanan 100 orang itu.     

Raut wajah Yan Xun masih tidak berubah, namun dia memicingkan matanya. Zhuge Yue akhirnya keluar. Pria itu berdiri di garis depan, memakai mantel hijau dan memegang pedangnya, menebas dengan lincah. Dalam sekejap itu, Yan Xun seakan melihat cahaya yang memancar dari Zhuge Yue. Cahaya itu terang dan membutakan; tidak ada yang bisa menatapnya langsung. Sebuah pandangan dingin melintas di mata Yan Xun. Lalu dia memerintahkan dengan suara rendah, "Bawakan busur dan anak panahku."     

Pelayannya mengambilkan busur emasnya untuk dia. Busur itu sangat berkilau. Yan Xun sedang memakai mantel hitam; raut wajahnya sudah tidak ada kehangatan yang dulu ia miliki. Saat ini, dia adalah sebuah mesin pembunuh di tengah kekacauan tersebut; mantel hitamnya bernoda darah. Ujung jarinya bergesekan dengan busurnya perlahan saat dia mempererat genggaman tangannya pada busur tersebut. Dia mengambil anak panahnya dan memasangnya pada busur itu, lalu menariknya ke belakang dengan benang takdir. Kenangan masa lalu melintas di matanya lagi saat dia mengumpulkan tenaga untuk menembakkan panah tersebut.     

Angin terus mengamuk, menyapu medan perang dan mendinginkan mayat-mayat. Awan gelap menggantung di langit; kepingan salju melayang di udara. Sekelompok kuda perang mendekat dari belakang. Tatapan di mata Yan Xun sangat dingin. Pria itu berdiri tegap, dikelilingi oleh 10.000 prajurit. Dia menenangkan dirinya; dengan postur yang tegap dan ketepatan yang sempurna, dia mengendurkan jarinya yang menahan anak panah tersebut! Panah yang berkilau melesat dari busurnya dan terbang dengan kecepatan penuh ke arah tubuh di medan perang!     

Ribuan mata terpaku pada anak panah yang melesat tersebut. Dalam cahaya matahari yang terang dan menyilaukan, panah takdir terbang ke arah dada Zhuge Yue, haus akan darah.     

Zhuge Yue menebas seorang prajurit Yan Bei, membuat darah terciprat ke punggung tangannya seperti minyak yang terbakar. Dia tidak perlu melihat apa yang sedang mendatanginya. Pria itu menggunakan indra pendengarannya untuk mendeteksi anak panah yang sedang terbang ke arahnya. Dengan kelincahan yang tak tertandingi, Zhuge Yue mengelak ke samping untuk menghindari anak panah tersebut. Anak panah itu menggesek lengannya, membawa serta sepotong kain dan segumpal daging. Sebelum Zhuge Yue sempat berdiri kembali, sebuah panah lain melesat ke arahnya.     

Serangan beruntun! Sebuah teknik terkenal yang disempurnakan oleh Chu Qiao dari Yan Bei! Di malam bersalju saat pesta bertahun-tahun lalu, dan di medan perang barat laut, Zhuge Yue sudah melihat Chu Qiao menggunakan teknik ini. Dia sudah tidak asing dengan teknik itu. Namun, pada saat ini, panah tersebut ditembakkan oleh Yan Xun. Teknik itu tidak seindah gadis itu, tetapi kekuatannya jauh melebihi Chu Qiao.     

Yan Xun menembakkan tujuh panah beruntun, semuanya diarahkan ke organ vital Zhuge Yue. Zhuge Yue menghindari semua panah tersebut, dan berhasil kembali berdiri di tengah hujan panah itu, dengan menyentakkan tubuhnya. Mereka saling menatap satu sama lain untuk waktu yang singkat, tetapi itu sudah cukup untuk merangkum perseteruan mereka seumur hidup.     

Dalam sekejap itu, Zhuge Yue memutar tubuhnya dan berlari ke arah Yan Xun. Pedangnya yang berkilau bagaikan kilatan petir saat dia membalas dengan gerakannya sendiri. Terdengar suara napas terkejut dari sekitarnya. Pria yang hampir terkena tebasan pedang itu tersenyum ringan. Dia tidak menghindarinya, dan juga tidak terlihat terganggu. Sebaliknya, dia mengambil anak panah emasnya yang terakhir, menarik busurnya, dan membiarkannya lepas dari tangannya.     

Waktu seakan terhenti pada saat ini. Mereka berdua saling menatap dalam kesunyian, terpisahkan oleh ribuan pasukan. Mereka mengerahkan seluruh kekuatan untuk satu serangan terakhir, tanpa menghindari serangan lawan, pasrah kepada takdir untuk menentukan siapa yang hidup atau mati.     

"Yang Mulia, hati-hati!"     

"Jenderal!"     

Sebelum teriakan-teriakan itu mencapai telinga mereka, seekor kuda perang meringkik panjang. Pedang yang berkilau itu bagaikan bintang yang bersinar di dalam kegelapan. Pedang tajam itu membelah udara, mengarah ke punggung Yan Xun. Pada saat pedang Zhuge Yue akan menembus jantung Yan Xun, pedang itu tertahan oleh punggung pedang Yan Xun! Pedang Zhuge Yue hanyalah pedang biasa yang digunakan untuk bertempur. Bagaimana bisa dibandingkan dengan pedang berharga yang dimiliki Yan Xun? Kekuatan hantaman itu menyebabkan pedang Zhuge Yue pecah berkeping-keping, sementara pedang Yan Xun mengarah padanya, tampaknya tidak terpengaruh oleh hantaman tersebut. Panah Yan Xun mengarah ke dada Zhuge Yue; sedangkan pedang Yan Xun mengikuti dekat di belakangnya dan mendarat di sisi belakang panah tersebut. Lalu menebas ke bawah, mendarat di dada Zhuge Yue. Darah merembes keluar dari dada pria itu ke atas pedang, mengalir hingga ujungnya. Dua huruf "Po Yue" bisa terlihat samar-samar.     

Darah dimuntahkan keluar dari mulut Zhuge Yue saat pria itu jatuh ke belakang, kehilangan keseimbangannya. Namun, dia tidak ambruk ke tanah. Para Pengawal Yue bergegas maju dan melindunginya. Mata Yue Jiu merah dan air mata mengalir turun di wajahnya. Pejuang muda itu berbalik badan, matanya penuh dengan kegilaan dan kemarahan, saat dia menatap pasukan berbaju hitam yang berdiri di tengah salju.     

Chu Qiao duduk di atas kudanya, dengan 2.000 prajurit dari Pasukan Xiuli di sisinya. Kaki-kaki kuda membuat benturan yang memekakkan telinga dengan tanah bersalju. Mata gadis itu membelalak saat dia akhirnya melihat wajah yang tak asing di tengah salju. Hatinya menciut dan tangan kakinya menjadi mati rasa; jantungnya seakan sudah dicongkel keluar dan dilemparkan ke atas tanah bersalju.     

Yan Xun tersenyum datar saat dia mengulurkan tangannya untuk mengibaskan kepingan salju. Lalu ia berjalan ke sisi Chu Qiao dan mengulurkan tangannya sambil berkata dengan lembut, "Kamu sudah di sini."     

Zhuge Yue sudah berlumuran darah karena luka di dadanya berdarah banyak sekali. Tatapan mata pria itu gelap. Kebenaran telah menghilangkan kesombongan dan kebanggaan pria tersebut. Dia mengangkat alisnya dan menatap orang itu, menahan darah yang sedang menggelegak naik di tenggorokannya.     

"Zhuge Yue, berapa lama lagi kamu mau menginjak-nginjak dirimu?" Pria itu tertawa dingin, suaranya rendah dan serak saat dia bergumam, "Bagaimanapun ini memang berat sebelah."     

Dia menatap Chu Qiao dengan dingin, membuat gadis itu merasa sulit untuk bernapas. Gadis itu tidak bisa bergerak ataupun berbicara dan dia hanya duduk lemas di atas punggung kudanya. Gadis itu tidak bisa lagi melihat senyuman munafik Yan Xun, tumpukan mayat, Kota Yue Gong yang sedang berasap dan terbakar, ataupun angin bersalju di hadapannya. Gadis itu hanya melihat Zhuge Yue dan darah berwarna merah tua yang menodai mantel hijau pria itu; pemandangan di hadapannya bagaikan panah tajam yang menembus dada gadis itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.