Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 183



Bab 183

0Pria itu tersentak dan berlutut di tanah. "Saya tidak berani."     
0

"Jadi kamu pikir saya bersekongkol dengan musuh untuk mengkhianati negara? Atau otak saya bermasalah?"     

Keringat mengalir turun di dahi petugas itu. Dengan gugup, dia berkata, "Saya dungu. Saya tidak berani berpikir seperti itu."     

Pria itu mendongak bahkan tanpa melihat pria itu. "Karena kamu tidak berani, jadi kamu tahu apa yang harus dilakukan."     

"Iya, iya, saya tahu," pria itu berdiri dan memberi perintah kepada para prajuritnya, "Mundur, mundur! Pasukan di belakang, mundur terlebih dahulu. Yang lainnya, ikuti dengan rapi."     

Pria berpakaian ungu itu berbalik. Sebelum dia pergi, tatapannya beradu dengan Chu Qiao. Gadis muda itu berpakaian putih dan terlihat rapuh. Mata gadis itu besar. Chu Qiao mencengkeram tali kekang kudanya dan tetap diam. Angin meniup rambutnya dan membuat pola radian yang sempurna, seperti setetes tinta yang menyentuh air.     

Pasukan musuh, yang beranggotakan lebih dari 3.000 orang, mundur tepat di depan mereka, membiarkan 1.000 orang 'pengungsi' tersebut. Pertempuran ini dimulai dengan kejutan dan diakhiri dengan kejutan juga. Seseorang akhirnya melangkah maju dan bertanya dengan perlahan, "Apakah mereka pergi begitu saja?" Semua orang terus memandang dengan terkesima. Setelah cukup lama, seseorang menjawab, "Apa kamu tidak lihat kalau Jenderal sudah di sini? Mereka kabur karena ketakutan terhadap beliau."     

"He Xiao, atur ulang dulu pasukan kita. Aku akan segera kembali." Saat Chu Qiao bersiap untuk mengejar musuh itu, He Xiao terkejut dan menarik tali kekang Chu Qiao. Dengan lantang, pria itu berseru, "Jenderal, kumohon jangan! Kalau anda sampai jatuh ke tangan musuh, kami tidak akan bisa menebus dosa kami, bahkan dengan nyawa kami sekalipun."     

"Tidak perlu khawatir," Chu Qiao tersenyum. "Tidak akan terjadi apa-apa. Orang itu …" Kata-katanya tiba-tiba terputus. Kata apa yang akan gadis itu gunakan untuk menjelaskan hubungan di antara mereka? Musuh? Lawan? Atau … "adalah temanku."     

Bahkan jika Chu Qiao tidak menyaksikan ini secara langsung, gadis itu mungkin bisa menebak identitas lawan. Tidak ada orang, selain Yan Xun, yang sanggup mengimbangi kekuatan anak panah gadis itu. Kudanya berlari selama kurang dari setengah jam sebelum gadis itu melihat dua orang yang sedang berdiri di bawah sebuah pohon raksasa. Salah satu dari mereka mendekati Chu Qiao dan tertawa sambil berkata, "Nona Xing Er sudah datang. Tuan Muda berkata Anda pasti akan datang. Saya baru saja khawatir tentang ini."     

Cahaya bulan saat itu pucat. Pohon raksasa itu seperti sebuah payung besar, berdiri tegak di padang bersalju. walaupun ranting-ranting dan daun-daunnya sudah layu, pohon itu tetap tegak. Zhuge Yue berdiri di bawah pohon tersebut dan melihat ke gadis itu tanpa mengucapkan apa pun. Kuda putih itu berjalan santai di sekeliling pria tersebut dan meringkik senang saat melihat Chu Qiao, seolah-olah kuda itu bertemu seseorang yang dia kenal.     

Yue Qi terus mengoceh sambil menuntun tali kekang kuda Chu Qiao. Gadis itu melompat turun dari kudanya dan tersenyum kepada Yue Qi, sambil berkata, "Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini. Bagaimana kabar kalian?"     

"Nona, siapa yang anda tanya? Apakah anda menanyakan kabar saya? Saya baik-baik saja. Saya bisa makan dan tidur. Saya baru saja menikah baru-baru ini," Yue Qi tersenyum dan menjawab.     

Chu Qiao agak kesal tetapi masih bisa tertawa. "Selamat kalau begitu."     

"Yue Qi, pergi ke depan dan beri tahu Yu Cao untuk kurangi kecepatan, jangan sampai dia jatuh ke dalam jurang."     

Yue Qi berbalik dan menjawab pria yang sedang berdiri di bawah pohon itu, "Tuan Muda, Yu Cao adalah seorang komandan dari Barat Laut. Daripada mengkhawatirkan dia, seharusnya anda lebih mengkhawatirkan apakah saya akan jatuh ke dalam jurang dalam perjalanan untuk membawakan pesan kepadanya."     

Zhuge Yue mengangkat alisnya saat mendengar kata-kata Yue Qi, dan kilat amarah melintas di matanya.     

Yue Qi mengangkat kedua tangannya dengan buru-buru dan menjawab, "Baiklah, saya pergi sekarang. Anggap saja ini wujud kepedulian Tuan Muda terhadap bawahan Anda." Setelah selesai berbicara, pria itu naik ke atas kudanya dan menunggang pergi dengan satu ayunan tali kekang kudanya.     

Waktu baru berlalu dua bulan, tetapi rasanya sudah lama sekali bagi Chu Qiao. Terlalu banyak hal yang terjadi selama dua bulan ini. Setelah perang dengan Xia dimulai, masalah datang bertubi-tubi, terutama di antara Yan Xun dengan dirinya. Kata-kata Zhuge Yue telah terjadi, kalimat demi kalimat. Gadis itu menghabiskan banyak usaha untuk berjalan menuju pria tersebut karena berbagai perasaan mulai berkumpul di dalam hatinya. Pada saat ini, gadis itu tidak bisa memahami semua perasaan itu. Hubungan mereka berdua sangat canggung, sehingga gadis itu tidak bisa menemukan bahan pembicaraan. Dia hanya berdiri di sana, termenung, seperti pohon yang layu di padang yang luas itu.     

"Apakah ada masalah internal di pihak kalian?" Zhuge Yue membuka mulutnya dan bertanya, seperti sedang mencari tahu informasi yang sangat dirahasiakan.     

Chu Qiao terpaku dan menatap pria itu, kebingungan. Apa yang sedang ingin dia katakan? Apakah pria itu sedang mencari tahu informasi mengenai pasukan Yan Bei?     

"Orang kalian yang membawa aku kemari," Zhuge Yue berkata perlahan. "Aku rasa ada orang yang ingin menggunakan tanganku untuk melenyapkan pasukan ini. Aku tidak menyangka mereka adalah pasukanmu."     

Walaupun dia memang sudah bisa menebak hal ini, Chu Qiao merasa sangat marah saat mendengar kata-kata pria itu. Gadis itu menggigit bibir bawahnya dan mengepalkan tinjunya dengan erat, menatap ke arah tanah dan tetap diam.     

"Berhati-hatilah. Kali ini kamu bertemu denganku. Lain kali mungkin Zhao Che," Zhuge Yue berkata sambil bersiap pergi dengan kudanya.     

Chu Qiao terkejut. Gadis itu maju dua langkah dan memanggil, "Zhuge Yue!"     

Zhuge Yue berbalik dan melihat gadis itu sambil merengut dan memiringkan kepalanya. Chu Qiao berpikir cukup lama sebelum bertanya, "Apakah ini akan menjadi masalah bagi kamu?"     

Zhuge Yue menjawab, "Asalkan kamu tidak melapor kepada Dewan Tetua Agung, tidak akan terjadi apa-apa."     

Chu Qiao menarik napas dalam-dalam dan matanya berbinar. Dia melihat pria itu lalu berkata dengan suara rendah, "Terima kasih."     

Zhuge Yue bersiap untuk pergi dengan menunggang kudanya. Pria itu melambaikan tangannya dan berkata, "Kalau kamu tidak bisa turun tangan sendiri, beri tahu Yan Xun ketika kamu kembali. Masalah internal akan membuat pertempuran ini sangat berat bagi pihak kalian."     

Tanah bersalju memantulkan cahaya bulan, membuat pemandangan tampak terang. Zhuge Yue sedang memakai jubah ungu dan terlihat tampan. Bayangan pria itu tumbuh semakin panjang saat dia menunggang kudanya menjauh dari gadis itu.     

Chu Qiao berdiri terpaku di tempatnya saat bayangan pria itu memudar di kejauhan, sampai akhirnya sirna sepenuhnya di bawah lereng bersalju itu. Tenggorokan gadis itu serasa tersumbat. Tak terhitung kata-kata yang tersangkut di tenggorokannya, dan dia tidak sanggup mengungkapkannya. Sebuah dorongan perasaan yang rumit hampir membuat gadis itu kehilangan akal sehat. Dia tetap berdiri di sana untuk waktu yang sangat lama dan tidak bergeming, hingga He Xiao, yang mengkhawatirkan gadis itu, menyusulnya bersama dengan pasukan. Saat itulah gadis itu tersadar dari lamunannya.     

"Jenderal, mari kita kembali."     

Chu Qiao mengangguk dan menjawab, "Pergi dan beri tahu yang lain agar jangan pernah membahas kejadian malam ini kepada siapapun."     

He Xiao mengangguk dan menjawab, "Baik, Jenderal. Tenang saja." Setelah berpikir sejenak, pria itu bertanya, "Apakah kita akan melupakan hal ini begitu saja?"     

Raut wajah Chu Qiao berubah menjadi dingin. Dia mencibir dan berkata dengan suara rendah, "Tentu saja tidak." Gadis itu menaiki kudanya dengan sigap. Kuda perang itu meringkik kencang, memecahkan ketenangan di malam yang sunyi itu. Angin terus berkecamuk, menyebarkan kepingan-kepingan salju, membuat tempat itu tampak semakin terpencil. Chu Qiao berbalik dan melihat ke arah padang luas di belakangnya. Hamparan putih itu bagaikan samudra yang luas tak bertepi. Pohon besar itu berdiri diam di sana; gadis itu tidak tahu sudah berapa lama pohon itu hidup sendirian, ataupun sudah berapa banyak orang yang melalui pohon tersebut. Tatapan di mata gadis itu seolah sudah menembus ruang dan waktu.     

"Kembali ke perkemahan!"     

Angin sedang melolong; kepingan salju tersebar ke mana-mana. Kegelapan yang hitam pekat menyerupai lapisan tinta yang tebal. Para prajurit dari Garnisun Utusan Barat Daya berdiri di depan gerbang perkemahan, melapor kepada para penjaganya. Setelah sejenak, gerbang terbuka; celah di gerbang itu tampak ganas seperti mulut binatang liar yang haus darah. He Xiao menunggang kudanya di samping Chu Qiao dan pedang pria itu tergantung di pinggangnya, memantulkan cahaya hijau pucat yang tampak mencolok di bawah sinar bulan.     

"Jenderal, apakah kita melaporkan hal ini kepada Yang Mulia sekarang?" He Xiao bertanya dengan suara rendah.     

Chu Qiao menggeleng. Angin menggesek helai rambut di dahi gadis itu, seperti sentuhan capung. Dia sedikit mengernyitkan alisnya dan melihat ke arah perkemahan yang terang benderang. Dengan tegas, gadis itu berbisik, "Tidak perlu. Merumitkan masalah ini hanya akan menciptakan lebih banyak masalah. Kita laksanakan rencana itu terlebih dahulu."     

He Xiao agak ragu. Dia mengernyit dan bertanya, "Kalau kita melakukan ini, bukankah Yang Mulia akan marah?"     

"Aku tidak tahu," Chu Qiao menjawab datar. "Mari lakukan ini dulu." Saat dia menyelesaikan kalimatnya, dia menunggang kudanya maju. Para prajurit yang bertugas berjaga memberi hormat kepada gadis itu dengan gerakan yang serempak. Namun, gadis itu tidak memperhatikan mereka, dan menunggang ke tengah perkemahan bersama lebih dari 1.000 orang prajurit dari Garnisun Utusan Barat Daya yang baru saja lolos dari maut. Pasukannya bagaikan angin topan, menyapu tanah perkemahan. Suara kaki kuda bagaikan guntur yang bergemuruh saat mereka menerbangkan kepingan-kepingan salju lagi.     

Banyak prajurit yang terbangun dari tidur mereka. Mengira ada musuh yang menyerbu kemah mereka, mereka segera berpakaian dan bergegas keluar dari tenda dengan membawa senjata mereka. Saat mereka keluar, mereka disambut oleh salju yang beterbangan. Melihat para prajurit Garnisun Utusan Barat Daya mendekati kemah timur dengan gaya yang mengancam, mereka terkejut. Ada seorang prajurit berusia 40 tahun yang belum berpakaian lengkap; sabuknya baru dikencangkan setengah. Wajahnya yang keriput berkedut saat dia merengut, dan berkata, "Mengapa orang-orang ini begitu berapi-api? Akan terjadi sesuatu. Kita harus segera mengabari Yang Mulia."     

"Serang!" Chu Qiao berteriak. Lebih dari 20 kait dilemparkan dan menempel ke tenda. Para prajurit memecut kuda-kuda mereka, membuat kuda-kuda itu meringkik panjang sebelum berlari ke semua arah. Detik berikutnya, tenda itu tercabik-cabik. Cheng Yuan masih belum berpakaian lengkap, tetapi berdiri tegak di tengah tenda, memegang pedangnya. Saat melihat Chu Qiao, dia berteriak dengan marah, "Jenderal Chu? Apa maksud semua ini?"     

"Jenderal Cheng, kamu memalsukan perintah militer dan bersekongkol dengan musuh untuk membunuh orang kita sendiri. Begitu keji!" He Xiao mengamuk, tangannya beradu dengan pedangnya.     

Cheng Yuan merengut dan berpura-pura tidak tahu apa-apa, dan menjawab, "Apa yang kamu bicarakan? Saya tidak mengerti."     

He Xiao ingin menjawab, tetapi Chu Qiao menghentikannya. Gadis itu berkata, "Tidak perlu panjang lebar dengannya."     

"Jenderal Chu, saya rasa ini ada kesalahpahaman. Kita bisa bicara …." Sebelum pria itu menyelesaikan kalimatnya, Chu Qiao mencabut pedang yang menggantung di pinggangnya dan berteriak, "Bunuh dia!"     

Para prajurit dari Garnisun Utusan Barat Daya menyerbu maju. Pengawal pribadi Cheng Yuan melindunginya. Mereka berdiri di tengah cuaca dingin, wajah dan bibir mereka pucat, karena mereka belum sempat mengenakan baju pelindung mereka. Mereka mengangkat pedang-pedang mereka, namun hanya bisa menusuk kuda-kuda. Sebelum darah memercik keluar, kepala mereka telah dipenggal. Teriakan minta tolong memecah keheningan di dalam perkemahan. Cheng Yuan berteriak, "Aku butuh bala bantuan! Bala bantuan! Garnisun Utusan Barat Daya memberontak lagi!"     

Regu terdekat sedang mendekat dengan kecepatan penuh. Langkah kaki mereka bagaikan air banjir yang menggedor hati semua orang.     

Pimpinan dari regu ketiga Pasukan Kedua, Jiang Chong, mendekat bersama pasukannya. Saat dia bergegas ke dalam medan perang, dia melihat Chu Qiao berdiri di tengah kekacauan. Gadis itu berteriak, "Para pejuang dari Pasukan Kedua, apakah kalian berniat melawan saya?"     

Jiang Chong terperangah. Mana mungkin dia tidak kenal Chu Qiao? Setelah pertempuran di Bei Shuo, Chu Qiao menjadi nama yang dikenal semua orang. Terlebih lagi, pria itu mendapat kehormatan seumur hidup untuk bertarung bersama gadis itu dalam perang tersebut. Saat itu, melihat gadis itu berdiri di depan Garnisun Utusan Barat Daya, Jiang Chong menjadi terkejut. Dia mengumpulkan regunya sebelum berteriak, "Jenderal Chu, apa yang sedang terjadi?"     

"Saya sedang mengurus para pengkhianat. Kalian jangan gegabah. Begitu urusan ini selesai, saya akan memberi penjelasan untuk semuanya."     

Di satu sisi berdiri Garnisun Utusan Barat Daya, yang telah dicap sebagai pengkhianat. Di sisi lain berdiri Cheng Yuan, yang telah kabur sebelum pertempuran di Bei Shuo. Keduanya adalah masalah yang sensitif di dalam tentara. Jiang Chong berpikir untuk sejenak lalu memerintahkan, "Kepung wilayah ini. Kalau ada yang berani melarikan diri atau menyebarkan berita, bunuh di tempat!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.