Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 141



Bab 141

0Li Ce memakai pakaian yang semarak. Matanya tenang, dia bahkan tidak menatap mata orang-orang itu. Dia melihat ke atas ke panggung perunggu, mengangkat kakinya, dan melangkah ke depan dengan mantap.     
0

Ajudan Zhao Chun Er tidak tahan melihat semua usaha mereka menjadi sia-sia. Mereka berlari mendekat untuk menghentikan Li Ce. Namun, sebelum mereka sempat berbicara, sebelum orang-orang itu sempat melihat tindakan Li Ce, tenggorokan pria itu telah digorok selama pertukaran singkatnya dengan Li Ce. Mata pria itu membelalak dan dia terkapar di lantai. Suara dentuman keras terdengar dan debu tersebar di udara.     

Li Ce mengeluarkan saputangan putih, lalu menyeka noda darah di pergelangan tangannya, dan melemparkannya ke lantai. Saputangan putih yang bernoda darah itu terbang terbawa angin, dan berputar-putar di udara.     

Tidak ada yang berani berbicara, mendongak, berbisik, atau bahkan bernapas.     

Li Ce, yang biasanya sulit diatur dan genit, tiba-tiba berubah menjadi orang yang berbeda. Aura yang jahat dan kemarahan dari dirinya cukup untuk menakuti binatang buas dalam radius ratusan kilometer. Pasukan Kamp Utara yang liar tidak berani melawan saat melihat orang ini.     

"Menyingkir!" Jalur di jalanan pusat mulai dikosongkan. Bawahan Li Ce yang terlihat sangar berlari mendekat dari kejauhan, sambil membawa pisau. Menatap mereka satu kali sudah cukup untuk membuat punggung merinding.     

Orang-orang ini dikenal sebagai "pasukan preman" nomor satu di daratan. Gelar mereka hanya untuk pajangan saja, karena sebelumnya mereka sudah beberapa kali kalah saat berkelahi dengan pasukan dari Kamp Utara di rumah bordil. Mereka adalah pengawal pribadi Li Ce. Pada saat ini, ekspresi mereka sangat serius. Barisan mereka rapi, mereka memegang pisau di tangan masing-masing. Dengan penuh tekad, mereka berlari ke dalam kerumunan tersebut.     

Li Ce berdiri di atas panggung perunggu, melihat prajurit dari Kamp Utara yang sedang membawa obor. Dia mengangkat ujung bibirnya dan berkata dengan nada dingin, "Pergi!"     

Prajurit itu ketakutan dan lututnya menekuk. Menurut, dia segera bergegas turun dari panggung.     

"Maaf, aku terlambat." Saat angin bertiup, wajah Li Ce terlihat menyesal. Dia merengut dan menatap gadis muda tersebut, yang wajahnya sudah babak belur, yang berada di hadapannya. Dia merasa hatinya tertusuk-tusuk. Dia melepaskan ikatan wanita itu dan memeluknya.     

Zhao Chun Er, dengan rambutnya yang berantakan dan wajah yang bernoda darah, menatap Li Ce. Sebuah gelombang sukacita melanda hatinya, dia sudah kabur dari kematian.     

Apakah orang ini pria yang akan dia nikahi?     

Dia terperangah, otaknya tidak bisa berpikir jernih. Dia hanya tahu kalau dia hampir mati, namun sudah diselamatkan oleh pria yang akan dia nikahi. Air mata mengalir turun di wajahnya, dan dia mulai meratap kencang.     

Li Ce merengut, mengangkat gadis itu di pinggangnya dan berjalan menuruni panggung.     

Zhao Chun Er sudah bebas. Dia berpegangan erat ke pinggang Li Ce seperti binatang yang terluka, tubuhnya gemetaran. Namun, detik berikutnya, pria yang sudah sangat berpengalaman dalam urusan percintaan tersebut, berhenti melangkah. Dia menatap gadis itu, dan tertegun. Li Ce kemudian berjongkok, masih membawa gadis itu dalam pelukannya. Dia mengulurkan jarinya dan mendorong rambut yang menutupi wajah gadis itu. Masih ada banyak noda darah di wajahnya.     

Wajahnya lembut, tampaknya dia takut mengejutkan siapa pun. Dengan lembut, dia bertanya, "Kamu? Siapa kamu?"     

Zhao Chun Er mengeluarkan suara-suara yang tidak jelas, dia tidak bisa berbicara.     

Li Ce menyadari kalau sendi rahang gadis itu terlepas. Dengan metode khusus, dia mendorong rahang Zhao Chun Er kembali ke tempatnya. Air mata wanita itu mengalir keluar bagaikan air mancur, kesedihannya meluap. Sambil menangis, dia berkata, "Saya adalah tuan putri kedelapan dari Xia, Zhao Chun Er."     

Li Ce terkejut. Dia mendongak dan melihat ke bawah. Pasukannya sudah mau mulai bertarung dengan pasukan Kamp Utara. Para warga sipil berlutut di tanah, gemetaran, dan melihat ke arahnya. Langit gelap dan angin bertiup ke segala arah.     

Li Ce tertawa dengan hangat. Dia menunduk ke arah Zhao Chun Er, dan mengucapkan sesuatu yang tidak dimengerti oleh gadis itu. "Aku sudah tahu. Mana ada orang yang bisa mengganggunya?"     

Setelah itu, Putra Mahkota Tang berdiri, tidak peduli kalau sedang ada tuan putri cantik di dalam pelukannya. Dengan suara berdebum, Zhao Chun Er jatuh ke lantai dan berguling seperti bola.     

Li Ce melangkahi Zhao Chun Er, dan berlari ke tengah kedua pasukan yang sedang bersitegang. Dia melambaikan kedua tangannya dengan gerakan yang berlebihan, berteriak kepada pasukan dari Kamp Utara. "Tenang, tenang. Kalian semua, tenang." Dalam sekejap mata, dia sudah kembali ke dirinya yang biasa. Dia berdiri di depan pasukan tersebut, tertawa, dan berkata, "Aku dengar ada masalah di sini, jadi aku datang untuk melihatnya bersama mereka. Jangan pedulikan aku, lanjutkan! Lanjutkan!"     

Suasana hati 50.000 pasukan di belakangnya terlihat jelas menjadi lebih santai, saat melihat ekspresi tuan mereka berubah. Mereka merangkul bahu rekan mereka, dan meninggalkan ketertiban mereka. Semua yang baru terjadi seakan-akan hanya mimpi.     

Pasukan Li Ce berjalan ke arah pasukan Kamp Utara dengan riang, menepuk bahu mereka dan berkata, "Bagaimana, bung? Menyeramkan tidak? Kami berlatih selama berbulan-bulan. Haha, bagus kan?"     

Kegiatan kembali berlanjut. Sekelompok prajurit berlari ke arah Zhao Chun Er, yang terjatuh dan kepalanya terbentur.     

Wanita itu mendongak dan berseru dengan marah, "Aku adalah tuan putri dari Xia!"     

Para pejabat Xia mendengar suara tuan putri tersebut. Mereka terkejut dan berlari ke arahnya, menambahkan kekacauan dalam situasi tersebut.     

Zhao Chun Er dibantu berdiri oleh para pejabat Xia. Di tengah kerumunan, dia melihat Li Ce berbincang santai dengan para prajurit, sungguh tidak pantas bagi seorang pangeran. Memikirkan tindakan dan ucapan pria itu tadi, semuanya terasa seperti panah yang ditancapkan ke jantungnya. Dia membiarkan anak buahnya menutupi dirinya dengan tikar. Dia menggigit bibir bawahnya dengan keras, hampir membuatnya menyemburkan darah.     

Chu Qiao, Chu Qiao, bagaimana mungkin aku tidak membencimu?     

Kesedihan di dalam dadanya mengisap seluruh tenaga darinya. Air matanya sudah kering. Dia mendongak perlahan ke arah awan gelap di langit. Dia tidak memiliki tenaga untuk berteriak.     

"Hari ini, di tempat ini, aku bersumpah kalau dalam kehidupan ini, aku akan melihat kamu diasingkan dari dunia. Aku akan melihat kamu kehilangan semua yang kamu miliki, dan mengamati kamu mati dengan mengenaskan. Kalau tidak, aku bukan manusia!"     

Dengan embusan angin, tirai pun tertutup. Kejadian dramatis ini telah berakhir.     

Saat Li Ce mencari di seluruh kota, Chu Qiao tidak berada jauh darinya. Gadis itu hanya berjarak tidak sampai 300 langkah dari kediaman Sun Di.     

Di dalam halaman yang digunakan untuk menyambut tamu, ada kedamaian. Cahaya bulan malam itu pucat. Bangunan yang dirancang dengan indah membaur di antara deretan bunga apel liar yang rimbun. Jendela bambu dari bangunan itu sedikit terbuka. Zhuge Yue duduk di depan ruang belajarnya, tampak sedang berpikir mendalam. Dia menyegel sebuah amplop dan menyerahkannya kepada Yue Qi, yang sedang berdiri di sisinya. Zhuge Yue melihat pria itu dari sudut matanya, dan berkata dengan tenang, "Kalau ada yang berani mempertanyakan perintah ini, suruh dia masuk kemari dan menghadap ke saya."     

Wajah Yue Qi menjadi pucat. Dia menunduk dan tetap diam. Dia mengerti maksudnya: Kalau ada yang berani masuk, orang itu cari mati.     

Zhuge Yue menundukkan kepalanya. Tanpa emosi apa pun, dia berkata, "Pergi."     

Yue Qi buru-buru membuka pintu dan meninggalkan ruangan itu.     

Sesaat kemudian, terdengar suara gemerisik dari luar. Zhuge Yue meletakkan kuasnya dan berbalik badan, melihat Chu Qiao berdiri di sisi pintu masuk ruang belajar yang berbentuk bulan sabit. Gadis itu berpakaian putih, dan berpegangan pada pintu. Tubuhnya mungil dan wajahnya pucat. Dia berdiri diam di sana, rambutnya terurai menutupi wajahnya.     

"Kamu sudah bangun," Zhuge Yue berseru. Dia menunjuk ke ruangan dalam dan melanjutkan, "Ada makanan hangat di sana, makanlah sedikit." Melihat Chu Qiao tidak bergerak, dia merengut dan melanjutkan, "Kamu belum pulih. Kembalilah, berbaring dan beristirahat dahulu."     

Chu Qiao tidak bergerak. Tirai sutra berwarna hijau itu tampak dingin di dalam cuaca musim gugur. Angin bertiup di pepohonan, membuat suara gemerisik, seperti hujan gerimis. Chu Qiao menatap pria itu dengan diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun.     

Zhuge Yue berdiri dan berjalan menuju ruangan dalam. Saat melewati gadis itu, dia meraih pergelangan tangan gadis itu, dan merasakan lingkar tangannya yang kurus. Dia merengut dan menyeret gadis itu ke dalam ruangan.     

"Zhuge Yue," Chu Qiao berbisik, suaranya membawa nada memohon.     

Zhuge Yue berhenti melangkah namun tidak berbalik badan. Suara Chu Qiao terdengar dari belakangnya, "Aku harus pergi."     

Angin berembus, membuat pakaian Chu Qiao terbang di udara. Walaupun dia cukup tinggi, pakaian Zhuge Yue tampak terlalu besar baginya. Zhuge Yue mengabaikan gadis itu dan berkata, "Di luar berbahaya. Aku tidak membawa pakaian wanita saat ini. Kamu bisa memakai baju ini sementara."     

"Zhuge Yue, aku benar-benar harus pergi."     

Zhuge Yue berbalik badan, masih mengabaikan perkataan gadis itu. "Apakah kamu sudah meminum obat yang diberikan oleh tabib? Kalau demammu belum menurun, istirahatlah lagi."     

"Zhuge Yue, aku benar-benar …."     

"Kalau kamu tidak mau makan ini, aku akan menyuruh orang mempersiapkan makanan lain."     

"Dengarkan aku …."     

"Kamu sudah di sini cukup lama. Apakah kamu pernah keluar? Ada beberapa restoran yang menyajikan makanan enak. Aku akan menyuruh orang untuk membelikannya untukmu."     

"Zhuge Yue, dengarkan aku," Chu Qiao meraih pria itu dan berkata dengan putus asa, "Aku berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan aku, tetapi aku harus pergi sekarang. Aku harus mencari Yan Xun. Yan Bei masih tidak stabil, aku harus segera kembali, aku …."     

Saat dia masih berbicara, Zhuge Yue menepis tangannya, dan berbalik badan untuk pergi.     

Chu Qiao terkejut dan menahannya, berkata dengan keras, "Zhuge Yue, aku …."     

"Zhuge Yue, Zhuge Yue! Sudah selesai belum? Apa aku berutang uang padamu? Haruskah kamu memanggil nama lengkapku terus menerus?" pria itu berbalik dan mengangkat alisnya. Bibirnya merah; pandangan di matanya bagaikan bintang bersinar. Dengan marah, dia melanjutkan, "Yan Xun dan kamu sendiri. Yan Bei. Otakmu selalu dipenuhi orang lain. Pernahkah kamu memikirkan dirimu sendiri? Memikirkan aku?"     

Chu Qiao terkejut. Zhuge Yue menatapnya dengan tajam, matanya seperti menyemburkan api. Seperti ini, mereka saling menatap cukup lama, membiarkan pikiran mereka yang terpendam untuk mengungkapkan dirinya sedikit demi sedikit. Suasana terasa dingin. Napas mereka rendah, tetapi tidak seorang pun yang sanggup berbicara.     

Setelah cukup lama, Chu Qiao menghindari topik tersebut yang membuatnya merasa tidak nyaman. Dia berbisik, "Kalau begitu aku harus panggil kamu apa? Tuan Keempat Zhuge? Zhuge? Yue?" Setelah menyelesaikan kalimatnya, gadis itu merasa punggungnya dingin, dan merinding di tangannya. Dia berkata lagi, "Jangan bilang kamu mau aku panggil Kakak Keempat?"     

Zhuge Yue bahkan tidak melihat ke arah gadis itu, dia berbalik badan untuk meninggalkan ruangan, bertekad untuk meninggalkan tempat ini.     

Chu Qiao, melihat pria itu pergi, mengejarnya. Dengan ceroboh, dia menginjak taplak meja, membuat sup tumpah di tubuhnya.     

Chu Qiao mengerang dan terjatuh di karpet. Zhuge Yue berbalik dan menaruh mangkuk yang mendidih itu di samping, dan melihat lengan Chu Qiao sudah membengkak karena terbakar. Walau demikian, gadis itu tidak berkata apapun.     

Wajah Zhuge Yue seperti dia ingin membunuh seseorang. Dia menggendong Chu Qiao dan melangkah lebar keluar dari ruangan itu. Dia berlari melalui dua lorong dan memasuki kamar mandi. Tidak memedulikan pakaiannya menjadi basah, dia mengambil air dingin dan menuangkannya di atas lengan Chu Qiao.     

"Apakah sakit?"     

Chu Qiao menggigit bibirnya dan menggeleng, tetap diam.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.