Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 164



Bab 164

0"Hahaha!" Chu Qiao tertawa sambil berbalik badan. Sosoknya terlihat begitu lelah dan lemah, "Kalian bahkan tidak bisa melindungi rakyat di satu wilayah, tetapi kalian membenarkan tindakan ini dengan berkata kalau ini demi impian semua orang? Lucu sekali." Chu Qiao menyibakkan tirai tenda dan pergi.     
0

Nyonya Yu merengut dan mengejar di belakangnya, lalu bertanya, "Chu Qiao, kamu mau pergi?"     

"Yan Bei bukan rumah saya, tetapi ini adalah apa yang selalu saya percaya. Bahkan jika kalian sudah tidak menginginkannya, saya masih. Bahkan jika kalian menelantarkannya, saya tetap akan melindunginya. Beri tahu Yan Xun, kalau saya meninggal, dia tidak perlu membalaskan dendam saya karena yang membunuh saya adalah dia sendiri!"     

"Berhenti!" Nyonya Yu memperingatkan dengan serius, "Saya tidak akan membiarkan anda pergi!"     

Chu Qiao berbalik dan mendengus. "Anda bisa membunuh saya. Tetapi saya tidak akan menelantarkan Yan Bei kecuali saya mati!" Sambil mengeluarkan belati yang tersembunyi di dalam sepatunya, Chu Qiao tertawa dengan menyedihkan saat dia menawan dirinya sendiri. Perlahan dia mundur ke arah seekor kuda, lalu Chu Qiao menaiki kuda itu.     

"Kesalahan besar belum terjadi, dan masih bisa berbalik sekarang. Beri tahu dia, aku akan menunggunya di Kota Bei Shuo! Hiyah!" Gadis muda itu berbalik dan segera menghilang di lautan putih yang luas, jubahnya berkibar-kibar di dalam angin.     

Song Qi Feng dengan gelisah mendekat dan berseru, "Nyonya, mengapa anda membiarkan Nona Chu pergi? Yang Mulia sudah berulang kali mengingatkan kalau anda tidak boleh memberi tahu Nona Chu tentang rencana ini …."     

Nyonya Yu tersenyum diam-diam dan dia mengangkat kepalanya. Cahaya matahari fajar menyinari wajahnya. Dengan wajah sepucat kertas, dia hampir seperti hantu.     

Yan Bei-ku yang tercinta, saya sangat tak berguna. Hanya ini yang bisa saya lakukan untukmu.     

"Kabari Yang Mulia kalau Bei Shuo akan segera jatuh. Nona Chu bersikeras untuk mempertahankan Chi Du demi membantu Bei Shuo. Mereka hanya bisa bertahan selama lima hari lagi. Setelah itu, Yan Bei akan musnah."     

Pada saat yang sama, Kota Chi Du tenggelam dalam keheningan yang menyesakkan, karena Nona Chu tidak bisa ditemukan di mana-mana. Akhirnya, mereka tahu kalau malam sebelumnya, para pengawalnya mengawal sebuah kereta kuda keluar dari kota. Keputusasaan membanjiri pikiran semua orang. Para prajurit, dengan pakaian compang-camping, berdiri gemetaran di tengah salju sambil bertanya-tanya, "Apakah Nona meninggalkan kita?"     

Sebelum dia bahkan sempat menyelesaikan kalimatnya, dia sudah ditendang sampai jatuh oleh prajurit dari Garnisun Utusan Barat Daya. He Qi, adik dari He Xiao, membentak dengan dingin, "Nona Chu tidak akan meninggalkan kita! Bahkan saat di Kota Zhen Huang, dalam keadaan seperti itu, dia tidak meninggalkan kita. Kali ini pun sama!"     

"Kalau begitu ke mana dia pergi?" Salah satu penjaga asli Chi Du berteriak dengan putus asa, "Semua pejabat itu sama saja!"     

Para prajurit yang bergabung karena wajib militer juga mulai riuh saat beberapa orang menyahut dengan setuju, "Pasti begitu! Melihat kalau kita hampir kalah, dia melarikan diri!"     

"Seperti yang aku bilang, para pejabat itu tidak bisa dipercaya! Apalagi, dia seorang wanita!"     

"Apakah kita benar-benar ditinggalkan? Apa yang harus kita lakukan?"     

Saat kebisingan mulai meningkat, sebagian mulai menangis. Di kaki langit, awan gelap mulai terbentuk, dan salju yang tertiup melayang oleh angin terlihat seperti uang kertas yang dipersembahkan untuk orang-orang yang sudah meninggal.     

"Mengapa kalian bengong di sini? Musuh sudah mau menyerang!" He Xiao melangkah mendekat dan menegur mereka dengan serius.     

"Komandan He! Nona sudah meninggalkan kita dan melarikan diri!"     

"Itu tidak mungkin!" He Xiao menjawab dengan dingin. "Aku tidak akan percaya itu, dan begitu juga seluruh prajurit dari Garnisun Utusan Barat Daya. Nona bukan orang seperti itu!"     

"Tetapi …."     

"Aku akan hanya membiarkan kata-kata seperti itu diucapkan satu kali! Kalau ada orang yang terdengar menghina Nona Chu, dia akan menjadi musuh dari seluruh Garnisun Utusan Barat Daya!" Pria itu mencabut pedangnya dengan satu ayunan cepat. Kilauan di pedangnya bersinar terang saat dia memberi perintah, "Apa lagi yang kalian tunggu? Naik ke tembok!"     

Setelah pengaturan ulang di malam hari, pasukan Xia akhirnya berhenti menyerang dengan ceroboh. Tetapi, Garnisun Utusan Barat Daya juga sudah kesulitan bertahan karena amunisi mereka habis dengan cepat, bahkan pot api pun sudah habis malam itu. Pada siang hari, prajurit Xia mulai berhasil menerobos. Para prajurit Xia menyerang dengan tangga tanpa rasa takut, dan para pemanah terus menembak ke arah tembok untuk membantu pasukan yang sedang menyerbu. Dengan gelombang demi gelombang panah yang terbang ke dalam kota, terlihat seperti hujan badai yang deras. Tembok itu hanya bisa disebut mengerikan, karena para prajurit terus berjatuhan setelah terkena panah.     

Seorang prajurit muda sudah terkena lebih dari sepuluh anak panah, dan sebagian besar kena di titik vitalnya. Seorang prajurit lain menawarkan untuk menggantikan posisinya agar dia bisa dirawat, tetapi prajurit muda itu hanya bersandar di tembok dan tersenyum lugu, memperlihatkan giginya yang putih. Sambil melambai, dia berkata, "Kalau Nona Chu kembali nanti, tolong sampaikan sesuatu dari dari saya. Beri tahu dia kalau semua prajurit dari kelompok kami diam-diam jatuh cinta padanya." Setelah berkata demikian, dia melompat turun dari tembok kota, menggunakan tubuhnya sendiri sebagai amunisi, untuk menghantam pasukan Xia. Karena itu, sebuah gelombang jeritan kesakitan terdengar dari bawah, seolah-olah pasukan Xia sedang menyanyikan lagu putus asa untuk prajurit yang baru saja jatuh itu.     

Pertarungan jarak dekat akhirnya dimulai saat kelompok-kelompok musuh mulai menaiki tembok kota. Seluruh barisan pertahanan yang pertama langsung dihancurkan, panah beterbangan ke sana kemari, melengkapi suara pembunuhan dan jeritan mengerikan yang terus terdengar. Pasukan Xia di atas tembok semakin banyak, dan darah yang merah tua membuat tanah menjadi merah. Pada saat ini, bahkan para prajurit wajib militer juga menyerbu ke atas tembok untuk bertarung dengan prajurit Xia. Mereka tidak lagi meringkuk ketakutan saat menghadapi kematian. Mereka tahu kalau kematian mereka sudah tak terelakkan, bagaimanapun mereka melawannya, tetapi setidaknya, menahan musuh di sini akan memberi keluarga mereka lebih banyak waktu untuk melarikan diri dari pasukan Xia yang tidak berbelas kasihan. Mereka menggunakan apa pun yang bisa mereka pakai, menebas dengan pedang, menusuk dengan tombak, menghantam dengan batu bata, atau bahkan menggigit dengan gigi mereka. Kekejaman perang sepenuhnya terlihat di sana.     

Situ Jing sedang berdiri di kejauhan dan mengamati pertempuran, dengan mata yang terkejut, dia bertanya ke anak buahnya, "Apa kalian yakin para prajurit di atas tembok itu hanya pasukan wajib militer?"     

Hari itu, sungai Chi Du sempat meleleh untuk sesaat. Lapis demi lapis darah panas menutupi sungai yang membeku, membuat lapisan permukaannya meleleh. Walaupun, tidak lama kemudian, permukaan itu kembali membeku. Seluruh tempat itu seperti dicat merah, dengan mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Kaki seorang prajurit telah ditebas hingga putus, namun tanpa keraguan, dia melemparkan kakinya ke arah prajurit Xia. Seorang prajurit Xia yang sedang memanjat tembok begitu terkejut sampai pegangannya terlepas dan dia terjatuh dari tangga, langsung ke tanah yang dingin dan keras.     

Seluruh kesatuan ketujuh dari Garnisun Utusan Barat Daya telah dibantai habis kecuali seorang pembawa pesan. Dia berdiri dengan berani di atas tembok kota, menggunakan jasad rekannya sebagai senjata untuk menghantam prajurit-prajurit Xia yang berusaha memanjat naik. Pada akhirnya, sudah tidak ada lagi jasad yang tersisa, dan dia sendiri juga sudah terluka. Prajurit muda ini lalu berteriak, "Hidup sang Nona!" lalu menangkap seorang prajurit Xia dan melompat dari tembok kota.     

Kendali atas tembok terus berpindah beberapa kali di antara kedua kubu. Bahkan He Xiao sudah mengalami beberapa luka, namun dengan keras kepala dia terus melawan. Dia berdiri di atas tembok dan berteriak, "Saudaraku! Jangan mencoreng wajah Nona! Walaupun kita mati di sini, dia akan membalaskan dendam kita! Bunuh mereka!"     

Mendengar itu, para pejuang sekali lagi dipenuhi semangat tempur. Seolah mereka semua tiba-tiba dipenuhi kekuatan, mereka berdiri, dan tubuh mereka yang terluka sekali lagi menghunuskan pedang, beradu dengan musuh-musuh mereka.     

Angin yang berkecamuk terus berlanjut, dan salju mulai turun lagi. Aroma darah tercium di seluruh medan perang. Pasukan Xia masih terus mengalir tanpa henti. Kedua pasukan itu sudah bertempur sejak pagi, dan masih terus bertarung hingga petang.     

Zhao Yang berdiri di sebuah lereng di dekat sana dan dia mengamati, namun dia hanya bisa mendesah, "Garnisun Utusan Barat Daya benar-benar binatang buas yang sulit dihadapi!"     

Setelah tembok kota sekali lagi jatuh ke tangan musuh, Kota Chi Du akhirnya tenggelam dalam keputusasaan. Seorang prajurit muda menghunus pedangnya dengan lemah ke arah prajurit Xia yang mendekat, dan dia sudah siap untuk mati dalam pertarungan terakhir ini. Tetapi saat prajurit Xia itu mendekat, sebuah sosok melompat masuk, dan sebuah pedang menebas. Bersama dengan kilauan pedang itu, kepala prajurit Xia tadi melayang di udara, sambil mencipratkan darah ke sekitar.     

Prajurit itu terbengong dengan mulut menganga, tertegun melihat sosok yang berbalik badan dan berteriak, "Untuk apa kamu berdiri di sana? Ikuti saya!"     

"Nona?" Prajurit itu berteriak tidak percaya, "Nona sudah kembali!"     

Para prajurit Garnisun Utusan Barat Daya yang sudah kelelahan menoleh, dan melihat seorang gadis berdiri tegak sambil memegang sebilah pedang. Kalau bukan Chu Qiao, siapa lagi?     

"Nona tidak meninggalkan kita!" Tidak diketahui siapa yang mulai bersorak, namun diikuti oleh sorakan yang menggema dan menyebar di seluruh pasukan. Para prajurit yang awalnya sudah kelelahan tiba-tiba berdiri dengan semangat, seakan-akan mereka baru saja dipulihkan kembali.     

Asalkan Nona ada di sini, kita tidak akan kalah! Pemikiran seperti ini membanjiri benak para prajurit. Pasukan Xia hanya bisa menatap dengan ketakutan saat lawan mereka yang beberapa saat lalu sudah di ujung tanduk tiba-tiba kembali mendapat kekuatan, dan menyerbu ke arah mereka seperti kumpulan binatang buas yang kelaparan. Seolah-olah semua kelelahan tadi hanyalah berpura-pura saja.     

"Saudaraku! Serang bersamaku!" He Xiao berseru. Dengan satu tebasan, dia memenggal seorang prajurit Xia, lalu dia bersorak, "Hidup sang Nona!"     

"Hidup sang Nona!"     

"Hidup sang Nona!"     

Raungan yang memekakkan telinga kembali terdengar. Melihat pasukannya tiba-tiba mulai kabur seperti air bah, Zhao Yang akhirnya harus menghadapi kenyataan pahit dari kekalahan ini.     

"Yang Mulia, kalau kita masih tidak bisa menduduki kota ini, akan sulit untuk menjelaskan kepada Pangeran Ketiga."     

"Siapa yang bilang kalau aku tidak ingin menang?" Zhao Yang mendesah, dan dia melihat ke arah kota kecil Chi Du itu.     

Malam tiba saat pasukan Xia kembali mundur sekali lagi. Chu Qiao menemukan Ping An yang diikat di dalam sebuah toko makanan. Anak itu sudah tertidur. Saat dia terbangun dan melihat Chu Qiao aman dan selamat, anak itu bersorak terkejut dan gembira.     

Dalam pertempuran hari ini, Kota Chi Du mengalami kerugian besar. Pasukan utama dari Garnisun Utusan Barat Daya kehilangan lebih dari 2.000 prajurit. Bersama dengan 1.500 prajurit yang gugur di awal, seluruh Garnisun itu hanya memiliki kurang dari 3.000 orang prajurit, dan hanya 2.000 yang masih bisa bertarung. Sedangkan pasukan wajib militer menderita kerugian terbesar dengan hampir 20.000 korban jiwa. Tembok kota sudah rusak parah, kalau musuh memiliki senjata seperti katapel tempur, mereka bisa menghancurkan seluruh kota dalam satu hari.     

Aroma darah tercium di semua tempat, dan mayat-mayat tergeletak di seluruh kota. Obat-obatan di dalam kota sudah habis, dan para prajurit hanya bisa dirawat dengan air bersih dan perban. Pada malam hari, seluruh tempat itu dipenuhi erangan kesakitan. Beberapa lorong dari sana, mayat-mayat yang tak bergerak disusun dalam barisan yang rapi. Mayat-mayat ini tersusun rapi dan potongan kain berwarna kuning menutupi wajah mereka.     

Saat berjalan melalui semua ini, langkah kaki Chu Qiao semakin lama semakin berat. Di dalam langit yang gelap, burung-burung gagak menggaok, membuatnya merinding. Seumur hidupnya, ini adalah pertama kalinya Chu Qiao merasa begitu kesepian dan tidak berdaya. Harapan dan impiannya sudah pecah berantakan, namun dia masih harus tetap berdiri tegak dan tampil di depan para prajurit. Dia harus menunjukkan kepada mereka kalau dia masih percaya diri dan kalau dia akan terus memimpin semua orang keluar dari tempat ini dengan selamat.     

Angin dingin meniup sosoknya yang rapuh saat dia mendengar senandung di kejauhan. Lagu itu penuh kesedihan, dan Chu Qiao berjalan ke arah sumber suara. Saat berbalik di sebuah sudut jalan, dia melihat seorang prajurit. Prajurit itu seorang pemuda yang tampan, dan dia belum mulai berkumis. Wajahnya yang halus terlihat seperti seorang pelajar yang lebih cocok belajar daripada bertempur. Salah satu kakinya sudah hilang dari lutut ke bawah. Dia hanya duduk di sana. Bukannya mengerang kesakitan, dia hanya tersenyum, dengan matanya yang polos dan jernih, seakan-akan dia terpesona oleh sebuah kenangan indah di masa lalu, dan dia terus bernyanyi, "Selamat tinggal, gadis cantikku. Aku akan mengangkat senjata dan melindungi tanah kita. Musuh sudah siap, dan aku harus melindungi tempat tinggal kita. Mungkin, aku tidak akan melihat mata indahmu lagi. Mungkin, aku tidak akan mendengar nyanyianmu di telingaku lagi. Tetapi kumohon, percayalah padaku, aku akan selalu mengingat tempat di mana kamu mengucapkan selamat tinggal kepadaku, dengan matahari terbenam yang mewarnai sekeliling kita menjadi merah, saat kamu tersenyum, dan berbisik padaku untuk segera pulang …."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.