Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 179



Bab 179

0Di luar sangat dingin. Angin utara membawa serta salju, dan meniup obor-obor yang dinyalakan dengan minyak pinus. AhJing berdiri di samping pintu tenda. Para pelayan di kedua sisinya tetap diam saat melihat dia, dan hanya melakukan gerakan hormat yang sederhana. Sebuah rasa tidak nyaman muncul di dalam hati AhJing. Dia sudah tidak mengenali para pengawal Yan Xun saat ini; gelarnya, pimpinan para pengawal, sekarang hanya menjadi gelar kosong. Setelah waktu yang cukup lama, AhJing sudah tidak tahan dengan rasa dingin yang melanda. Dia melompat-lompat, berusaha menghilangkan rasa dingin, dan terus menggosok-gosok kedua tangannya. Tiba-tiba, dia melihat tirai bergerak. Jenderal muda itu berpakaian biru, dan pria itu sedang berjalan keluar dari tenda dengan perlahan.     
0

"Uhuk … cuih!" AhJing sengaja batuk dan meludahkan dahak keluar, yang mendarat tepat di sepatu bot sang jenderal.     

Jenderal itu berhenti melangkah dan berbalik perlahan, melihat AhJing yang memandanginya dengan ganas. Jenderal itu tidak menunjukkan emosi apa pun; kedua matanya berkilauan. Bersikap seperti tidak terjadi apa-apa, pria itu berjalan pergi dan menghilang di dalam kegelapan.     

"Dasar pengecut! Makhluk tidak berguna!" AhJing memaki. "Pantas saja kamu mau menjadi desertir!" Malam itu hitam pekat. Saat bayangan pria itu menghilang, AhJing mendengus dua kali sebelum dia berjalan memasuki tenda.     

Yan Xun sedang mengamati petanya di bawah penerangan lampu. Saat mendengar AhJing masuk, dia bahkan tidak mendongak. Dengan suara rendah, dia berkata, "Ada masalah apa?"     

AhJing mempersiapkan dirinya sebelum menjawab, "Yang Mulia, Nona masih mengikuti dari belakang. Dalam cuaca dingin seperti ini, tanpa tenda untuk bermalam, ini …."     

"Apa?" Yan Xun perlahan mengangkat alisnya yang rapi dan mendongak. Suaranya rendah dan sengaja dipanjangkan, menunjukkan rasa frustrasi pria tersebut. "Bukankah kamu bilang dia sudah berbalik dan pulang?"     

AhJing menggaruk kepalanya dan berbisik, "Iya, saya melihat Nona berbalik ke arah Bei Shuo, tetapi dia menyusul kita lagi semalam."     

"Dasar tidak berguna!" Yan Xun membanting peta itu ke atas meja dan berseru. "Kalian bahkan tidak bisa mengatur seorang wanita."     

AhJing menundukkan kepalanya dan tetap diam, dia merasa tersinggung. Dia berpikir pada dirinya, gadis itu adalah orang yang anda cintai. Kami tidak berani menyentuhnya, bersikap kasar padanya, atau mengikatnya dan mengirimnya pulang! Chu Qiao berjanji akan pulang. Siapa yang menyangka kalau gadis itu justru menyusul lagi!     

Yan Xun berbalik dan mengambil mantelnya dari gantungan. Dia menyampirkannya di bahu dan berjalan ke arah luar. AhJing melihat ini dan mulai merasa senang, berlari ke sisinya dan berkata, "Yang Mulia, saya sudah mempersiapkan kuda untuk anda. Mari pergi dengan segera. Kalau kita terlambat, Nona bisa mati kedinginan. Seperti yang kubilang, mana mungkin Yang Mulia meninggalkan Nona begitu saja? Selain anda, Nona adalah orang paling penting nomor dua di Yan Bei. Dia sudah menderita bersama anda sejak masih di Zhen Huang. Bagaimana mungkin para pengkhianat itu dibandingkan dengannya? Aku sudah tahu …." Namun, sebelum dia menyelesaikan kata-katanya, dia menyadari kalau pria di belakangnya tidak mengikutinya. Dia berbalik dan melihat Yan Xun berdiri di tengah tenda. Cahaya lilin menyinari wajahnya, meneranginya. Sebuah bayangan kelabu terlihat di wajah pria itu, seperti sebuah lapisan kabut.     

"Yang … Yang Mulia?" AhJing berbisik, mencoba menebak-nebak.     

Yan Xun berdiri diam. Akhirnya, dia menurunkan tangannya yang semula sedang mengikat mantelnya dan berkata dengan tenang, "Bawa 20 pengawal bersamamu untuk membawa dia kemari."     

"Ah?" Rahang AhJing terbuka dan dia terkejut. "Yang Mulia, anda tidak jadi pergi?"     

Yan Xun tidak mengatakan apa pun, hanya berbalik badan dan melepaskan mantelnya. Lalu, dia berjalan ke meja belajarnya, menggosokkan jarinya di peta besar Yan Bei, tetap diam untuk waktu yang cukup lama.     

Bayangan Yan Xun cukup jelas di tengah cahaya lilin yang terang. Tiba-tiba, AhJing merasa seolah-olah pandangannya menjadi kabur. Dia melihat bayangan Yan Xun, dan teringat akan suatu pagi yang cerah di Istana Sheng Jin bertahun-tahun yang lalu. Kaisar Xia berjalan perlahan keluar dari istananya, saat AhJing berlutut di tengah kerumunan. Dia diam-diam melirik ke atas tetapi disilaukan oleh jubah emas yang berkilau.     

"Baik, Yang Mulia." AhJing menurut. Saat dia berbalik dan hendak pergi, suara Yan Xun terdengar lagi, "Tanpa persetujuan, kamu tidak boleh seenaknya memasuki tenda ini mulai sekarang." Pejuang muda dari Yan Bei itu mengangguk, keceriaannya sudah hilang. "Baik, Yang Mulia."     

Ketika Chu Qiao mengikuti AhJing ke dalam perkemahan, Yan Xun sudah tertidur. Gadis itu melihat ke arah tenda Yan Xun, dan cahaya lilin telah dipadamkan, dan merasa sedikit heran. Feng Zhi berlari mendekat dan berkata, "Yang Mulia telah menempuh perjalanan sepanjang hari. Saya rasa beliau lelah."     

"Baiklah." Chu Qiao mengangguk tanpa menunjukkan emosi apa pun dan menjawab dengan perlahan, "Saya kembali dulu."     

Ketika dia kembali ke tenda, tangan dan kakinya sudah mati rasa karena dingin. AhJing dan beberapa orang pelayan memberinya sambutan hangat dengan mengantarkan air panas kepadanya. Walaupun sebagian besar prajurit tidak mengenalinya, mereka sudah mendengar nama dan prestasinya dulu. Mereka berkumpul di luar tendanya untuk melihat apa yang sedang terjadi dan baru bubar setelah dimarahi oleh AhJing. Setelah sejenak, tirai tenda gadis itu bergerak. Sebuah kepala kecil menyembul masuk dari luar dan berteriak dengan girang, "Jenderal Chu!"     

"Ping An?" Chu Qiao terkejut. Ping An memakai seragam militer ukuran kecil. Mereka sudah beberapa hari tidak bertemu, tetapi anak itu sepertinya sudah tumbuh lebih besar. Pada hari itu, setelah pertempuran Bei Shuo telah berakhir, Chu Qiao jatuh sakit dan tidak bisa memperhatikan anak itu. Gadis itu tidak menyangka akan bertemu dengan anak itu di sini. Chu Qiao bertanya, "Sedang apa kamu di sini?"     

"Saya seorang prajurit."     

"Kamu? Prajurit?" Chu Qiao tertegun. "Berapa umurmu?"     

"Jenderal, jangan meremehkan orang. Jenderal AhJing baru saja memberikan perintah. Mulai sekarang, Ping An akan menjadi pengawal pribadi Nona. Kalau ada tugas yang harus dijalankan, anda bisa menyuruh saya."     

Pengawal pribadi? Ini bagus juga. Setidaknya anak itu tidak perlu maju ke medan perang. Chu Qiao tersenyum dan mengelus rambut anak itu sebentar lalu berkata, "Sampaikan terima kasihku kepada AhJing."     

"Jenderal sedang tidak bertugas malam. Sekarang Jenderal Cheng yang sedang bertugas."     

Chu Qiao mengangkat alisnya. AhJing adalah pengawal pribadi Yan Xun yang paling setia. Mengapa dia tidak bertugas di malam? Gadis itu bertanya dengan lembut, "Jenderal Cheng? Jenderal Cheng yang mana?"     

"Saya juga tidak tahu." Ping An memang masih anak-anak, dan dia menjawab dengan kekanak-kanakan, "Saya hanya tahu dia bermarga Cheng."     

"Oh," Chu Qiao mengangguk dan melanjutkan, "sudah larut malam. Pulang dan beristirahatlah dulu."     

Ping An menurut dengan gembira dan meninggalkan tenda tersebut, sambil melompat-lompat kecil. Chu Qiao melihat bayangan anak itu dan merasa sedih di dalam hatinya. Kalau di zaman modern, anak seumuran itu akan bersiap berangkat sekolah setiap hari. Kalau dia menemui masalah, dia akan mengeluh kepada orangtuanya sambil dipeluk oleh mereka! Tetapi, di sini, anak itu harus mengemban tanggung jawab untuk merawat adiknya di usia begitu muda, melibatkan dirinya dalam kehidupan penuh pertumpahan darah.     

Air itu sudah menjadi hangat-hangat kuku setelah gadis itu mencuci wajahnya. Dia melepaskan sepatu botnya dengan sedikit susah payah dan memasukkan kakinya ke dalam air. Kakinya sudah membengkak karena cuaca yang dingin; memar-memar di kakinya membuatnya terlihat merah keunguan. Dia merasa gatal saat mencelupkannya di dalam air, dan menarik napas dalam-dalam. Setelah dia selesai mencuci kakinya, Chu Qiao memakan sesuap ransum kering yang dibawakan untuknya tadi. Dia berbaring di atas selimut hangat sambil melamun. Kejadian hari itu memang menciptakan jarak di antara mereka berdua. Walaupun dia menyembunyikannya dan Yan Xun berusaha untuk memperbaiki keadaan, beberapa hal itu seperti porselen - begitu sudah pecah, tidak bisa diperbaiki lagi betapa keras pun kita berusaha.     

Karena gadis itu sakit, Yan Xun menunda keberangkatannya sampai dua hari penuh. Selama dua hari itu, Yan Xun terus berada di sisi gadis itu, menyuapinya dan dia sendiri yang menggodok obat untuk gadis itu. Ketekunannya membuat orang-orang di sekitar menjadi takut. Tetapi, ketika Chu Qiao membahas tentang dirinya ikut serta dengan pasukan, pria itu menolaknya dengan berbagai alasan yang masuk akal. Meskipun kata-katanya sangat masuk akal, ataupun pria itu mengaku bahwa dia melakukan itu demi Chu Qiao, benak gadis itu mengulang apa yang dikatakan pria itu pada hari itu: Kalau mereka melanggar hukum militer lagi, aku tidak akan memberi ampun.     

Ini adalah sebuah peringatan, tetapi bagaimana dia bisa yakin kalau itu bukan sebuah pertanda? Chu Qiao merasa buruk karena dia berpikir seperti itu. Sejak kapan dirinya mulai waspada terhadap Yan Xun? Selain saat itu ketika Yan Xun memperlakukan dirinya dengan begitu baik, sampai-sampai dia merasa itu sebuah mimpi. Namun, pada hari di mana pasukan itu berangkat, ketika Chu Qiao berdiri di depan gerbang kota dan memohon agar dirinya diizinkan bergabung dalam pertempuran, Yan Xun marah padanya.     

Ini adalah pertama kalinya pria tersebut marah kepadanya. Pria itu tidak memarahinya, melainkan hanya melotot padanya cukup lama. Pria itu seolah melihat banyak hal saat dia melihat di balik bahu gadis itu. Akhirnya, pria itu bertanya, "AhChu, apa yang kamu khawatirkan?" Setelah itu, sebelum gadis itu sempat menjawab, Yan Xun melewatinya tanpa menoleh lagi ke belakang.     

Para prajurit mengepungnya dan meminta agar gadis itu kembali ke kediamannya. Gadis itu terdiam melihat Yan Xun berangkat, merasakan kekecewaan.     

Pria itu tahu segalanya, segalanya. Dia sedang merencanakan sesuatu. Dia bertanya pada gadis itu: Apa yang kamu khawatirkan? Tetapi, Yan Xun, bagaimana denganmu? Apa yang kamu khawatirkan?     

Pada akhirnya, gadis itu memutuskan untuk mengikuti rombongan Yan Xun. Pria itu benar—gadis itu memang khawatir. Chu Qiao khawatir tentang pria itu, gadis itu khawatir kalau Yan Xun akan membunuh seluruh pasukan Garnisun Utusan Barat Daya. Di medan perang, sangat mudah untuk melenyapkan seluruh pasukan tanpa meninggalkan jejak dan bukti. Ada begitu banyak cara. Para prajurit dari Garnisun Utusan Barat Daya telah menyerahkan nyawa mereka ke dalam tangan gadis itu.     

Dia tidak bisa membiarkan mereka mati sia-sia.     

Mungkin, dirinya yang paranoid. Tetapi, Yan Xun, berhubung kamu tahu apa yang aku khawatirkan, mengapa kamu tidak berjanji saja padaku? Apakah kamu tidak berani? Apakah yang aku khawatirkan itu sudah menjadi bagian dari rencanamu?     

Api di tanah membara perlahan. Ini adalah batu bara putih berkualitas tinggi, dan hanya mengeluarkan asap tipis. Chu Qiao menatap perapian itu, dan merasakan matanya menjadi kering dan menyakitkan. Dia belum pulih sepenuhnya. Ditambah lagi dia sudah menempuh perjalanan sepanjang hari di dalam cuaca yang dingin, rasa lelahnya mulai muncul. Dia mengenakan pakaian putih yang tipis dan berbaring di atas kasur. Dia memadamkan lilin, lalu mulai terlelap.     

Bulan di luar sangat terang. Cahaya bulan menyinari tanah bersalju, membuat pemandangan terlihat putih dan luas. Namun, di dalam tenda itu gelap gulita. Angin terus berkecamuk. Tidak terlihat satu pohon pun di sekeliling. Hanya pekikan elang yang terdengar, saat mereka menembus langit malam yang sunyi. Setelah entah berapa lama, di dalam tenda yang gelap gulita, Chu Qiao merasakan sesuatu yang dingin di kakinya. Dia mengernyit, matanya masih tetap terpejam. Dia duduk dengan cepat dan menghardik, "Siapa itu?"     

Di dalam kegelapan, sebuah bayangan panjang duduk di sisi kasurnya. Pria itu memakai pakaian yang terbuat dari kain halus. Dengan bantuan cahaya yang pucat, dia bisa mengira-ngira wajah pria tersebut. Pria itu duduk di sana, tangannya menggenggam kaki Chu Qiao. Dia meletakkan sebuah mangkuk di sisi kasur gadis itu, dan bau obat bisa tercium dari dalam mangkuk itu.     

"Kamu sudah bangun?" Yan Xun bertanya perlahan. Dia berdiri dan menyalakan sebuah lilin. Cahaya kuning menerangi wajah pria itu, membuatnya terasa damai dan tenang. Dia berjalan kembali ke kasur Chu Qiao, mengulurkan jarinya yang panjang, menyendok sedikit obat, dan mengoleskannya di luka gadis itu. Sentuhan jari pria itu hangat, seperti angin hangat, saat jari-jari itu menyapu jari-jari kaki dan telapak kaki gadis itu. Yan Xun tidak mendongak saat dia melanjutkan dan berkata, "Kamu harus mengoleskan obat di kakimu setiap hari. Di dalam pasukan, tidak ada pelayan yang bisa melayanimu seperti di rumah. Di sini sangat sibuk. Jangan mengabaikan kesehatanmu saat kamu sibuk."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.