Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 199



Bab 199

0Setiap kenangan dari masa lalu melintas di depan mata gadis itu. Akhirnya, jiwanya hancur berkeping-keping di bawah semua tekanan itu, dihancurkan menjadi banyak bagian dan berkibar di udara, keping demi keping, seperti bulu angsa.     
0

Tiba-tiba, jam tengah malam datang. Sekelompok anak berlari ke arahnya dan bertabrakan dengannya. Seorang gadis muda terbanting ke tanah; Lentera berbentuk ikan di tangannya tergencet akibat benturan. Lentera itu berwarna putih dan memiliki mata merah; sebenarnya itu lebih mirip kelinci. Lentera itu memiliki simbol koin emas yang diukir di perutnya. Gadis muda itu mengambil lentera yang tergencet dan mulai menangis dengan keras, dan Chu Qiao berhenti berjalan. Dia berjongkok dan menghapus air mata gadis itu, sambil mengeluarkan sebongkah perak untuk diberikan padanya.     

Pada saat itu, suara kembang api yang memekakkan telinga bergema. Ketika negara itu menyambut Tahun Baru, berbagai keluarga melepaskan kembang api ke langit sebagai tanda perayaan. Anak gadis itu membeku dan berhenti menangis ketika dia menutupi telinganya dan berteriak kegirangan. Namun, Chu Qiao tampaknya terpukul keras oleh raksasa yang tak terlihat, dan warna di wajahnya menjadi pucat.     

"Kalau kamu mati, aku akan melepaskan 100 deretan kembang api untuk merayakan bahwa aku tidak perlu lagi membalas budimu," gadis itu pernah berkata seperti itu kepada pria itu. Pria itu tersenyum tanpa menyembunyikan sikap sombongnya dan menjawab, "Aku rasa kamu tidak akan punya kesempatan untuk itu."     

Saat suara kembang api menjadi lebih keras dan semakin serempak, Chu Qiao mulai menangis keras. Ingatan-ingatan yang telah berusaha keras dia lupakan dan pendam mulai memutar ulang, menyebabkan perasaan sakit yang tak terlukiskan melonjak dalam hatinya, benar-benar menghapus lapisan luar ketenangan dan kesabaran gadis itu.     

"Ada … ada masalah apa?" anak itu terkejut. Ketika kembang api terus meledak, dia berkata, "Jangan menangis. Anda tidak perlu membayar saya lagi …."     

Suara kembang api menjadi semakin keras. Chu Qiao tidak bisa lagi menyembunyikan perasaan batinnya saat dia duduk di tengah jalan yang ramai, menangis tersedu-sedu sambil menutupi wajahnya.     

Byur! Terbentuk riak ketika sesuatu jatuh ke dalam kolam di luar. Angin bertiup membuka jendela lain di rumah Chu Qiao. Gadis itu berdiri untuk menutup jendela, melihat bahwa tanaman plum di bawah rumahnya telah tumbuh setinggi bangunan itu sendiri. Dia terpaku sementara tangannya menggantung di udara. Cahaya bulan bersinar di atas tangannya, membentuk bayangan berbintik-bintik.     

Dalam sekejap, dua tahun telah berlalu. Bibit plum yang dulu dia tanam telah tumbuh menjadi pohon plum yang setinggi atap. Waktu adalah hal paling tidak berperasaan yang pernah hadir di muka bumi. Ia tidak pernah berhenti karena kebahagiaan ataupun kesedihan; segala perasaan yang kental akan memudar dengan berlalunya waktu.     

Malam itu, Chu Qiao meninggalkan Kota Yun Bi. Setelah berkelana selama setengah bulan, dia mencapai Kota Bei Shuo. Di suatu pagi hari, dia berjalan di sepanjang jalanan Bei Shuo yang terlantar, hingga ke gerbang kota. Ketika dia melangkah keluar dari gerbang kota, gadis itu melihat banyak rakyat Yan Bei.     

Kerumunan itu terdiri dari penghuni kota, dan juga warga lain yang telah berjalan jauh dari daratan utama bagian dalam. Termasuk di antara mereka yaitu warga dari kota Shang Shen, Gunung Luo Ri, Lan, Chi Du, Pegunungan Hui Hui, dan Mei Lin. Ketika para warga mendengar kabar tentang kepergian gadis itu, mereka berkumpul di Bei Shuo tanpa mengucapkan kata apa pun. Dalam perjalanannya kemari, Chu Qiao telah bertemu dengan banyak rombongan ini. Dia tidak mengenal mereka, dan mereka tidak mengganggunya. Mereka mengikuti gadis itu sepanjang jalan hingga kemari, hingga gerbang kota Bei Shuo. Mereka memandangi gadis itu dengan diam sambil bersiap-siap mengantarkan kepergian gadis itu dalam perjalanan terakhirnya.     

Orang-orang dari semua lapisan masyarakat hadir, mulai dari para lansia hingga anak-anak, dari orang asing di luar perbatasan hingga para pedagang dari wilayah timur. Para wajib militer Chi Du, yang telah bertarung bersamanya dalam pertempuran melawan pasukan Xia; warga sipil Bei Shuo, yang telah dia lindungi dari kematian; warga Shang Shen, yang telah berpartisipasi dalam proses rekonstruksi kota; para gembala di bawah Pegunungan Hui Hui … mereka semua hadir. Orang-orang ini telah berkumpul di luar gerbang kota sejak dini hari, membentuk barisan di kedua sisi untuk dilewati gadis itu. Saat dia berjalan keluar, mereka semua menatapnya.     

Chu Qiao tidak akan bisa melupakan tatapan mereka. Sebagian dari mereka menunjukkan keengganan, kesedihan, kekhawatiran, dan ketakutan. Namun, emosi-emosi ini bergabung menjadi satu dan membentuk perasaan canggung dan keheningan yang menggantung di udara. Bahkan anak-anak kecil tidak berbicara sepatah kata pun, mereka hanya menatapnya dengan diam, sangat tenang. Pada saat itu, Chu Qiao merasa sangat sedih.     

Dia sadar akan tanggung jawab yang harus dia pikul. Selama setahun terakhir, Chu Qiao telah melakukan perjalanan ke tanah Yan Bei, menyebarkan kepercayaannya akan perdamaian ke setiap sudut dan celah negara tersebut. Dia memimpin mereka membangun kembali tanah air mereka, untuk menghidupkan kembali ekonomi setelah perang, dan mereka memberinya dukungan sepenuh hati. Warga negara ini, yang telah tertindas selama ratusan tahun, telah sepenuhnya menempatkan harapan mereka akan kebebasan dan kehidupan yang indah pada gadis itu. Namun, hari ini, dia akan pergi, melanggar janjinya kepada mereka. Dia akan meninggalkan mereka dan meninggalkan mimpinya yang telah dia usahakan dengan begitu susah payah.     

He Xiao memimpin jalan, bersama dengan 9.000 prajurit dari Pasukan Xiuli. Mereka memakai kelengkapan berperang dan telah mengemas barang-barang mereka, seolah-olah mereka akan mengikuti Chu Qiao dalam perjalanannya. Tidak ada hal lain yang perlu diucapkan. Gadis itu berdiri tertegun di sana, bagaikan sebuah patung batu.     

Tiba-tiba, sebuah tangan yang kecil dan lembut meraih pinggangnya. Chu Qiao melihat ke bawah dan melihat seorang gadis kecil, yang berusia sekitar sepuluh tahun. Anak itu tetap diam saat menatap Chu Qiao, mendongak ke arahnya dengan keras kepala. Air mata menggenang di mata gadis itu, tetapi tidak jatuh. Ping An berlari ke arah mereka dari belakang dan mencoba memisahkan adik perempuannya dari Chu Qiao, tetapi tidak berhasil.     

Ping An sudah menjadi prajurit di dalam pasukan. Sejak pemuda itu pertama kali diutus ke daratan utama bagian dalam oleh Yan Xun, adiknya, Jing Jing, sudah mengikuti Chu Qiao selama lebih dari satu tahun.     

"Kakak," Jing Jing akhirnya memanggil dan air mata mengalir turun di wajahnya. "Anda sudah tidak menginginkan saya lagi? Apakah anda sudah tidak menginginkan saya lagi?"     

Anak itu mulai menangis. Warga lainnya sedang berdiri dalam barisan rapi ketika seseorang di dalam kerumunan mulai berlutut di tanah. Perlahan-lahan, semua orang mulai mengikutinya; warga yang lebih tua mulai menangis dan bertanya, "Jenderal, apakah anda sudah tidak menginginkan kami lagi?"     

"Jenderal, tanpa keberadaan anda, saya akan ditangkap lagi sebagai budak."     

"Jenderal, ke mana anda akan pergi? Bolehkah saya mengikuti anda?"     

….     

Angin dingin meniup salju di atas tanah. Chu Qiao melepaskan tali kekang kudanya dan melihat ke arah matahari. Air mata mengalir di wajahnya, hingga ke rambutnya di bawah. Tanggung jawab yang berat membebani bahunya, membuat gadis itu kehabisan napas. Dia tahu dalang di balik taktik ini, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Pria itu sudah mengenal dirinya terlalu baik. Dengan trik kecil ini, Chu Qiao akan terjebak dalam cengkeraman pria itu.     

Hari itu, air mata Chu Qiao mengering. Saat dia berdiri di tanah bersalju, dia merasa seperti layang-layang tanpa benang yang tertahan. Bahkan jika dia ingin melarikan diri, dia tidak akan tahu ke mana dia harus pergi. Begitu saja, gadis itu tinggal di Yan Bei dan menetap di daerah Pegunungan Hui Hui selama dua tahun. Selama tahun-tahun ini, gadis itu menyaksikan ketika Yan Xun memperkuat posisinya sebagai penguasa Yan Bei, ketika pria itu menarik wajib militer ke dalam pasukan, mengenakan pajak pada kota-kota, menyerang berbagai negeri, menghilangkan anak buahnya, dan memaksakan tangan besinya kepada pasukan militernya . Dari waktu ke waktu, Chu Qiao merasa bahwa hidup adalah hal yang menarik. Pada saat putus asa, cahaya di ujung terowongan akan muncul, memungkinkan seseorang untuk terus bertahan. Pada saat-saat ketika seseorang hampir mencapai keselamatan, kehidupan akan memadamkan harapan mereka dengan sebuah baskom berisi air dingin.     

Pada akhirnya, Yan Xun berhasil menjalankan motifnya. Di bawah kepemimpinannya, Kekaisaran Xia ditindas olehnya. Setelah kematian Zhuge Yue, keluarga Zhuge mencoba untuk membersihkan nama mereka dengan memutuskan hubungan dengannya. Mereka tidak mengubur jenazahnya di makam keluarga. Namun, meskipun demikian, mereka masih terkena imbasnya. Status mereka di Dewan Tetua Agung sangat berkurang, dan Zhuge Huai dikucilkan berulang kali. Upaya Zhuge Muqing untuk memperbaiki keadaan dengan mendukung keluarga pihak lain juga tidak membuahkan hasil.     

Sebagai atasan langsung Zhuge Yue, Zhao Che juga tidak diberi ampun. Pangeran tersebut, yang telah melalui serangkaian pasang surut, sekali lagi diasingkan ke perbatasan timur laut yang terpencil untuk mengawasi proyek rekonstruksi militer yang sama sekali tidak perlu, hal ini mengakhiri keterlibatannya dalam dunia politik Kekaisaran Xia.     

Hal yang paling tidak terduga adalah bahwa pangeran ke-14, Zhao Yang, membentuk aliansi dengan keluarga Wei. Di bawah dukungan Wei Guang, Zhao Yang menjadi pewaris takhta kerajaan, mendapatkan gelar sebagai Raja Zhou. Wei Shuye juga diberi kenaikan pangkat, dan dia menerima kendali penuh atas pasukan di Jalur Yan Ming.     

Meskipun Kekaisaran Xia mengalami perombakan politik besar-besaran, mudah terlihat bahwa mereka tidak lagi memiliki sikap mendominasi yang pernah mereka miliki. Menghadapi pasukan Yan Bei yang kuat, mereka menjadi gelisah. Meskipun Wei Shuye berpengalaman dalam seni perang, dia bukan tandingan Yan Xun. Ditambah dengan gangguan politik internal di Xia, dia harus mengambil sikap yang lebih defensif dalam perang. Selama satu tahun terakhir, mereka mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan.     

Saat ini, benua Meng Barat terbagi menjadi empat bagian. Di Tang, Li Ce telah meneruskan tahta kekaisaran; di Song, tuan putri tertua, Nalan Hong Ye, mengambil alih urusan negara; di Yan Bei, Yan Xun memegang kendali penuh. Tidak ada lagi kekuatan besar yang menguasai Meng Barat.     

Namun, meskipun demikian, Yan Xun tidak berani menyerang Xia dengan ceroboh. Di arah barat daya Pegunungan He Lan, sebuah kekuatan politik baru muncul di bawah pandangan semua orang. Tidak ada yang tahu asal usul kekuatan politik tersebut, maupun jumlah orang yang mereka miliki. Satu-satunya hal yang mereka ketahui adalah bahwa pemimpin pasukan ini menamai dirinya sendiri "Raja Qing Hai", mulai dari para pedagang yang lewat dan para pengintai yang dikirim untuk mencari informasi.     

Qing Hai adalah sebidang tanah yang terletak di sisi selatan Pegunungan He Lan, dan di sebelah barat Pegunungan Cui Wei. Tempat itu dikabarkan sebagai wilayah yang tandus, tanah tak bertuan, dengan iklim yang keras. Binatang buas berkeliaran di tanah tanpa rumput tersebut. Lebih dari 2.000 tahun yang lalu, tahanan dari berbagai kekaisaran diasingkan ke tempat ini; sudah terkenal kalau tidak ada orang yang dibuang ke sana yang selamat. Antara mereka dimakan hidup-hidup oleh binatang buas atau terbunuh karena penyakit misterius. Ungkapan, "diasingkan ke Qing Hai", menjadi bahasa gaul yang secara tidak langsung berarti kematian yang sudah dipastikan. Kabar itu begitu hebatnya sampai-sampai titik di mana orang lebih memilih untuk mati di Meng Barat daripada menginjakkan kaki di Qing Hai. Selama bertahun-tahun, banyak tahanan di Jalur Cui Wei yang melakukan bunuh diri.     

Namun, sebuah kekuatan politik baru, tiba-tiba lahir di sebidang tanah ini, yang dikuasai oleh serangga beracun dan binatang buas, tanpa jejak kehidupan manusia sedikitpun.     

Hari itu adalah hari ke-17 pada bulan ketujuh di tahun 778. 70.000 orang pasukan, yang dipimpin secara pribadi oleh Yan Xun, menyerang gerbang selatan Jalur Yan Ming. Ketika mereka hampir berhasil, tiba-tiba musuh muncul dari bagian barat daya pasukan belakang mereka. Pasukan musuh itu gesit dan berpengalaman dalam bertempur; gerakan mereka cepat dan kejam. Mereka mengiris ke sisi kiri pasukan Yan Bei dengan mudah, mengganggu formasi mereka. Namun, ketika Yan Xun bergegas ke belakang untuk membalas, mereka sudah menghilang begitu saja. Setelah cukup lama baru para pengintai menemukan bahwa mereka berada di Jalur Cui Wei, dan bahwa pria ini, yang dikenal sebagai Raja Qing Hai, telah mengambil alih tempat itu.     

Ini adalah mimpi buruk yang mengerikan bagi Yan Bei. Karena Jalur Cui Wei terletak di dekat Pegunungan He Lan, di sisi barat dari sungai, ini berarti bahwa Yan Bei memiliki musuh lain yang harus dihadapi, selain orang-orang Quan Rong di luar Jalur Mei Lin. Yang lebih buruk lagi adalah bahwa Jalur Mei Lin ada di tangan Yan Bei, sementara Jalur Mei Lin merupakan milik Raja Qing Hai.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.