Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 180



Bab 180

0Obat itu dingin dan menyejukkan, dan terasa sangat nyaman saat dioleskan. Kaki Chu Qiao kecil dan menggemaskan, dan sebagian kecil dari betisnya juga tersingkap. Yan Xun memegang tumit gadis itu dengan satu tangan, dan mengoleskan obatnya dengan tangan yang lain. Suaranya terdengar seperti semilir angin, semakin menonjolkan kecanggungan di antara mereka berdua.     
0

"Iya, aku tahu." Chu Qiao mengangguk, dan sedikit menggigit bibirnya. Tetapi, dia tidak tahu harus berkata apa. Tiba-tiba gadis itu teringat tahun-tahun di istana, setiap kali musim dingin tiba, kakinya akan terkena radang dingin dan menjadi merah dan bengkak, terkadang bahkan mengeluarkan nanah. Saat sedang parah, gadis itu bahkan tidak bisa turun dari kasur. Pada saat itu, mereka tidak memiliki obat-obatan, jadi Yan Xun akan menggosok lukanya dengan alkohol. Melihat gadis itu menggeliat kesakitan, pemuda itu bahkan bercanda kalau dia akan membuat Chu Qiao mabuk agar gadis itu tidak merasakan sakit lagi. Di saat itu, mata Yan Xun sangat jernih. Bahkan di dalam mimpinya sekarang, Chu Qiao masih bisa mengingat mata pemuda itu di saat itu. Mata pemuda itu begitu polos sampai-sampai hanya dengan memikirkan kedua mata itu bisa membuat Chu Qiao melupakan betapa pemuda itu kini sudah berubah.     

"Beristirahatlah dengan baik." Setelah mengoleskan obat, Yan Xun berdiri. Sambil membawa mangkuk itu bersamanya, pria itu berkata, "Saya pergi dulu."     

"Yan Xun …." Saat pria itu berbalik, dia menyadari kalau ujung bajunya telah ditarik oleh sebuah tangan kecil yang putih. Tangan itu begitu kurus, dan saat mendengar suara gadis itu, hati pria itu melunak. Dia berbalik, dan menatap mata Chu Qiao, lalu bertanya dengan tenang, "Ada apa?"     

"Apakah kamu masih marah padaku?"     

Melihat gadis itu, Yan Xun menjawab dengan tenang, "Apakah aku harus marah?"     

Chu Qiao sedikit sesak napas karena kurangnya perputaran udara di dalam tenda. Sambil menggigit bibirnya, dia menjawab, "Aku tidak tahu."     

Suasana menjadi kaku saat mereka berdua tenggelam dalam kesunyian. Aroma kecanggungan sekali lagi melayang di dalam tenda. Yan Xun, berdiri tegak, dengan rambutnya yang hitam pekat dan matanya yang seperti obsidian, hanya menata gadis itu. Pipi Chu Qiao pucat, dan akhirnya, dia perlahan mengangkat kepalanya, dan melihat ke mata Yan Xun, gadis itu menarik lengan baju pria tersebut, lalu berbisik, "Biarkan aku ikut denganmu, kumohon?"     

Yan Xun berdiri diam untuk cukup lama, sambil menatap wajah Chu Qiao. Berbagai emosi melintas di benak pria tersebut, membuatnya tidak bisa memastikan perasaannya sendiri. Kebangkitan Yan Bei terjadi terlalu cepat, dan kini mereka sedang melawan arus. Setiap langkah yang mereka ambil harus berhati-hati dan diperhitungkan. Sambil merengut, pria itu memikirkan rencana dan strateginya untuk masa depan, sebelum akhirnya membuka mulutnya, "AhChu, apakah kamu tahu apa ancaman terbesar yang dihadapi Yan Bei saat ini?"     

Chu Qiao mendongak tetapi tidak menjawab. Dia tahu kalau ini adalah pertanyaan retorik.     

Seperti yang diduga, Yan Xun melanjutkan, "Dengan adanya berbagai faksi di dalam militer, semua orang memiliki pimpinan mereka masing-masing. Dengan menyusupnya pasukan dari Da Tong, militer menjadi tidak stabil, karena setiap orang memiliki pimpinan yang harus mereka ikuti. Ini akan menjadi titik kelemahan bagi pasukan Yan Bei." Yan Xun mengulurkan tangannya, dan perlahan membelai rambut Chu Qiao, lalu melanjutkan, "Semua hal ini masih belum diselesaikan. Sudah pasti akan menjadi proses yang berdarah, tetapi ini adalah jalur yang harus ditempuh agar pemerintahan yang baru bisa didirikan.Tidak ada benar atau salah dalam hal ini, dan aku hanya mengambil langkah ini karena keadaan yang aku hadapi. Aku tidak ingin kamu juga terlibat dalam keributan ini. Apakah kamu mengerti?"     

Chu Qiao mengangguk. "Aku mengerti. Yan Xun, aku tidak ingin mengendalikan pasukan apa pun. Aku hanya ingin berada di sisimu saja."     

Mendengar perkataan Chu Qiao, Yan Xun agak terkejut. Dia mengira Chu Qiao mengejar rombongannya demi mendapatkan kembali posisinya sebagai pimpinan dari Garnisun Utusan Barat Daya. Pada saat ini, pria itu mulai meragukan penilaian awalnya terhadap niat gadis itu. Namun, dengan rasa hangat yang menyebar di dalam hatinya, dia mengangguk, dan berkata dengan lembut, "Baguslah."     

Yan Xun melepaskan tangan gadis itu dan hendak pergi. Dia mengenakan jubah birunya, tampaknya tubuh pria itu semakin kurus. Melihat bayangan pria itu, Chu Qiao tiba-tiba merasa hatinya sakit. Dia menggigit bibirnya dan bertanya, "Yan Xun, apakah kamu mempercayai aku?"     

Langkah Yan Xun terhenti, tetapi dia tidak berbalik badan. Namun suaranya yang rendah bergema, seperti suara lembut ombak yang menghantam pasir.     

"AhChu, aku tidak pernah meragukan kamu. Aku hanya berharap agar sebelum badai terjadi, aku bisa melindungimu dari pertikaian itu."     

Tirai bergoyang, dan sosok itu menghilang. Masih duduk di atas kasur, Chu Qiao sudah tidak lagi merasa mengantuk sama sekali. Dengan suara jam pasir di latar belakang, segalanya terasa damai. Gadis itu tiba-tiba teringat janji yang dibuat mereka berdua dulu. Tidak akan ada rahasia, dan mereka akan selalu jujur terhadap satu sama lain. Mereka tidak akan membiarkan kesalahpahaman atau rintangan apa pun menghalangi di antara mereka berdua! Namun, itu hanya sebuah angan-angan. Ada banyak hal yang harus dirahasiakan dari orang lain, dan terutama, dari orang yang mereka sayangi.     

Gadis itu seharusnya memercayai pria itu.     

Chu Qiao perlahan menggigit bibirnya lagi. Kalau dia tidak memercayai pria itu, siapa lagi yang bisa dia percaya? Dia berusaha keras meyakinkan dirinya sendiri sebelum berbaring lagi. Sebelum menutup matanya, pemandangan para prajurit yang dipenggal di alun-alun itu tiba-tiba melintas di matanya lagi.     

Setelah menempuh perjalanan selama tujuh hari, pasukan itu akhirnya mencapai Sungai Xue Kui di provinsi Yu Yao. Setelah mendirikan kemah utama di dekat gunung, 200.000 prajurit itu menetap. Dari kejauhan, orang-orang hanya bisa melihat sepetak putih metalik.     

Chu Qiao telah melepaskan kepemimpinannya terhadap Garnisun Utusan Barat Daya untuk alasan yang bagus. Setelah pertempuran di Bei Shuo, reputasi Chu Qiao di Bei Shuo sudah setara dengan Yan Xun, dan banyak orang di dalam tentara yang menyanyikan pujian untuk gadis itu. Ditambah lagi, karena dia sudah mengikuti Yan Xun selama bertahun-tahun, bersama dengan prestasinya yang memukau, gadis itu telah menjadi sosok nomor dua di Yan Bei. Namun, sebagai pasukan yang telah secara langsung menyebabkan kekalahan Yan Shicheng, Garnisun Utusan Barat Daya telah menimbulkan perasaan yang berbeda-beda dari orang-orang. Ada sebagian orang yang membenci mereka karena pengkhianatan di masa lalu, dan ada sebagian yang berterima kasih kepada mereka karena membela Yan Bei. Perasaan yang begitu bertentangan itu bisa dengan mudah dimanfaatkan oleh siapa pun yang sedang berusaha merencanakan sesuatu.     

Kesetiaan Garnisun Utusan Barat Daya kepada Chu Qiao sudah diketahui semua orang. Selama gadis itu mempertahankan posisinya sebagai pimpinan pasukan itu, Yan Xun akan kehilangan kendali atas pasukan tersebut. Mereka akan menjadi pasukan pribadi gadis itu. Hal semacam ini tidak akan bisa diterima oleh penguasa mana pun. Karena itu, Chu Qiao harus melepaskan jabatannya dan berpihak di sisi Yan Xun. Dengan demikian, kalau terjadi sesuatu, gadis itu akan berada di posisi netral, dan hal itu akan membantu baik bagi gadis itu maupun bagi Garnisun Utusan Barat Daya.     

Rencana ini sebenarnya sangat baik. Tetapi, ketika Chu Qiao melihat komandan baru yang ditunjuk sebagai pimpinan Garnisun Utusan Barat Daya, gadis itu kehabisan kata-kata. Kerutan alisnya semakin mendalam saat tatapannya semakin menusuk dengan sikap penuh permusuhan. Komandan muda yang memakai seragam biru itu perlahan memberikan hormat lalu menyapa gadis itu dengan datar, "Sudah lama tak bersua, Nona Chu."     

"Jenderal Cheng." tatapan Chu Qiao terpaku, dan gadis itu menyeringai. Perlahan, dia menyatakan, "Saat berpisah di Bei Shuo, Jenderal Xue Zhi Yuan meninggal dengan mengenaskan. Ketika anda pergi bersama Jenderal Xia An, saya mengira saya tidak akan pernah melihat wajah anda lagi. Saya tak menduga kalau kita akan bertemu lagi. Ini adalah pertemuan yang sangat menggembirakan."     

Cheng Yuan tersenyum tipis. "Dunia ini sempit. Saya percaya kita ditakdirkan untuk bertemu lagi."     

Chu Qiao mendengus dan berjalan menuju tenda Yan Xun. Sebelum pergi, gadis itu memerintahkan dengan dingin, "He Xiao, awasi anak buahmu. Sebelum saya kembali, tidak ada yang boleh berbuat apa pun terhadap Garnisun Utusan Barat Daya!"     

"Baik!" He Xiao menyahut dengan lantang.     

Saat angin dingin menerpa wajah gadis itu, dia berpikir, Jenderal Xue, akhirnya saya bisa membalaskan dendammu!     

Yan Xun mengalami mimpi yang sama lagi. Dahinya penuh dengan keringat dingin, matanya kosong seperti jurang tanpa dasar. Berbaring di mejanya, seluruh baju dalamnya sudah basah kuyup. Dia mengulurkan jarinya yang lentik untuk meraih cangkir teh, bisa terlihat kukunya yang terpotong rapi, bersama dengan kapalan tebal sebagai hasil dari latihan bela diri selama bertahun-tahun. Walaupun dia memegang cangkir itu dengan segenap kekuatannya, jari-jari pria itu masih gemetaran. Setelah bertahun-tahun, ingatannya tidak lagi jelas, dan semuanya sudah menjadi kabur. Pria itu selalu mengira kalau tahun-tahun bersabar di Ibu Kota Kekaisaran telah membuatnya lupa. Tetapi, hanya dengan mimpi sesekali, seluruh usahanya untuk melupakan masa lalu menjadi sia-sia. Semua perasaan dan kenangan yang telah dia pendam, menguasai dirinya lagi dan lagi, membungkusnya bagaikan selimut dari pedang, menusuk ke dalam dagingnya, mencakar ke dalam tulangnya.     

Dalam mimpi tersebut, darah mengalir tanpa henti. Mata orang tuanya terbuka lebar saat darah mulai mengalir keluar dari mata mereka, terlihat seperti anggur merah kualitas tinggi. Setelah bertahun-tahun, dia mengira kalau dia sudah terbiasa dengan emosi-emosi yang berkecamuk itu. Tetapi, pada saat dia menjejakkan kakinya di tanah Yan Bei, semua perasaan terpendam yang selama bertahun-tahun sudah tertidur itu meluap lagi. Semua emosi itu berhibernasi seperti ular sampai terganggu. Bahkan dengan mata tertutup, secara nalar dia tahu ke mana harus menggigit. Pada saat ini, Yan Xun akhirnya mengerti kalau pulang ke Yan Bei tidak menyelamatkan dirinya, melainkan hanya sebuah obat untuk meredakan emosinya.     

Saat menatap, mata pria itu masih tidak fokus saat napasnya perlahan menjadi tenang. Tetapi, sebuah kebencian yang kental muncul dari dalam hatinya. Sebuah nafsu untuk pertumpahan darah mulai tumbuh di dalam hatinya. Pria itu memiliki keinginan yang tak terbendung untuk meraih pedangnya, mengayunkan pedang itu, dan merasakan kenikmatan membacok daging dan tulang.     

Pada saat itu, ada keributan di depan pintu. Suara seorang wanita yang mengamuk terdengar sangat menusuk. Pikiran pria itu menjadi terhenti. Tanpa berpikir, dia sudah tahu siapa pengunjungnya itu. Dengan teriakan kencang, dia memberi tahu para pengawal, dan seketika itu juga, gadis itu diizinkan untuk masuk.     

Chu Qiao masih memakai jubah putih salju itu. Selama masa ini, gadis itu terlihat sudah tumbuh sedikit lebih tinggi. Berdiri di sana, tampak jelas kalau gadis itu sudah bukan anak-anak lagi.     

Yan Xun menenangkan dirinya dan menyembunyikan perasaannya. Dengan lembut, dia menjelaskan, "Para pengawal itu masih baru, jadi mereka masih belum mengenalmu."     

"Mengapa Cheng Yuan ada di dalam pasukan?" Chu Qiao tidak membuang waktu dan sama sekali tidak terganggu dengan kenyataan bahwa tadi dia dicegat di luar tenda.     

Yan Xun, saat melihat kalau gadis itu terlihat sangat serius, juga duduk tegak, dan dengan wajah yang serius, dia menjawab, "Jenderal Cheng telah berkontribusi besar. Dia membunuh Jenderal Xia An yang melarikan diri, dan kembali bersama Garnisun Bei Shuo. Itu pantas diberi hadiah."     

Mata Chu Qiao menyala, dan dia menatap Yan Xun, seolah-olah dia ingin menemukan celah di ekspresi pria tersebut. Pria itu hanya duduk di samping, sama sekali tidak menunjukkan emosi apa pun, sama sekali tidak memikirkan apa pun.     

"Aku ingin membunuhnya," Chu Qiao berkata dengan perlahan. Suara gadis itu sangat tenang, tetapi setitik nafsu membunuh melintas di matanya.     

Alis Yan Xun naik sedikit, dan pria itu mengamati Chu Qiao dengan diam tanpa menjawab. Suasana menjadi berat, dan hampir bisa terdengar suara angin bertiup melewati tenda-tenda.     

"Aku sudah memberi tahu kamu. Aku permisi dahulu," Chu Qiao berkata dengan tenang, lalu gadis itu berbalik hendak pergi.     

"Tunggu sebentar." Yan Xun memicingkan matanya, dan terlihat tidak senang, dia melihat gadis itu sambil merengut. Pria itu memperingatkan, "Saat ini, Cheng Yuan adalah Jenderal dari Garnisun Utusan Barat Daya. Kalau sampai terjadi sesuatu padanya, Garnisun Utusan Barat Daya tidak akan bisa mengelak dari pelanggaran berupa gagal melindungi komandan mereka dengan baik."     

Sambil membalik badan, Chu Qiao mengangkat alisnya. "Apakah kamu sedang mengancam aku?"     

"Aku hanya berharap kamu tidak melakukan hal yang salah."     

"Orang itu membunuh Xue Zhi Yuan dan para prajurit dari Garnisun Utusan Barat Daya. Dia hampir membunuhku. Kalau bukan karena dia, perang Yan Bei tidak akan menderita kerugian sebesar itu. Orang ini sangat hina dan licik dan dia juga seorang pengecut yang hanya menjilat orang yang sedang berkuasa. Kamu ingin melindungi orang semacam itu?"     

Melihat Chu Qiao yang jengkel, ekspresi Yan Xun tidak berubah. Dia berkata dengan tenang, "Ada terlalu banyak orang di Yan Bei yang tidak takut mati dan tidak tunduk pada perintah. Aku tidak merasa sifat seperti itu patut dipuji."     

Chu Qiao membentak balik, "Jadi tidak tahu terima kasih dan bersikap pengecut itu sesuatu yang patut dipuji?"     

"Seseorang harus memiliki keinginan dan rasa takut agar mereka bisa dikendalikan dengan mudah. AhChu, aku harap kamu bisa menenangkan diri dan memikirkannya baik-baik."     

Chu Qiao memelototi Yan Xun. Bayangan para pejuang yang mati di bawah tembok kota Bei Shuo, bersama dengan kematian Xue Zhi Yuan, terulang di benaknya. Tiba-tiba gadis itu merasa darahnya mendidih, dan pandangannya berubah menjadi tajam bagai pedang. Dengan tegas, dia bertanya, "Bagaimana kalau aku tetap ingin membunuhnya. Apa yang akan kamu lakukan terhadap aku?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.