Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 59



Bab 59

0"Bantu dia naik ke kuda. Ayo pergi!" Chu Qiao berkata dingin, mulai memacu kudanya. Keempat prajurit itu bergegas mengikutinya dari belakang. Dia sudah menyadari kalau mereka tidak sendiri, di dalam hutan tebal di kedua sisi, yang diselimuti salju, dia bisa mendengar banyak suara langkah kaki yang berhati-hati. Dia tau ada yang salah. Kereta kuda itu terlihat sendirian, tetapi dikawal dekat oleh hampir seratus orang pengawal yang sigap. Kalau mereka bentrok, tidak akan menguntungkan bagi rombongan Chu Qiao. Satu-satunya cara adalah berpura-pura tidak tahu dan menyerang dengan kejutan.     
0

Sesuai dugaan, dalam sekejap, suara bergemuruh kaki kuda menggema dari belakang. Chu Qiao berteriak sambil mengendalikan kudanya dengan cambuk, "Cepat!" Kelima orang itu mulai melarikan diri.     

Saat ini, hujan panah yang dibidikkan ke kuda mereka melesat ke arah mereka. Panah-panah itu mengenai target mereka, membuat ke empat prajurit terjatuh dari kuda mereka.     

"Masih tidak mau berhenti?" sebuah suara jahat bergema di samping telinga Chu Qiao. Sebuah kuda putih memacu di sisinya. Pria di atas kuda itu berpakaian merah. Raut wajahnya seperti wanita. Wajahnya terlihat jahat menawan. Dia memegang tali kekang kudanya dengan satu tangan dan sebuah kipas di tangan lainnya. Dia berkendara di samping Chu Qiao sambil tersenyum.     

Chu Qiao menendang perut kuda itu dengan keras. Kuda itu meringkik kesakitan tetapi tidak mundur.     

Pria itu, terkejut sejenak, lalu berkata sambil tersenyum, "Wanita yang sangat ganas. Tidak apa-apa. Karena kamu tidak menyukainya, jangan biarkan dia mengganggu kita berdua." Selesai berkata begitu, pria itu melompat ke atas kuda Chu Qiao dengan satu gerakan gesit. Dia meletakkan tangannya di pinggang Chu Qiao, napasnya berembus di belakang telinga Chu Qiao. Dia berkata lembut, "Betapa harum dan putih. Ternyata ada wanita cantik di Hong Chuan. Betapa bodohnya aku."     

Chu Qiao, mendengus, lalu berusaha menjatuhkan pria itu dari kuda. Pria itu, sambil tertawa, memeluk Chu Qiao dengan erat. Pria itu menjulurkan lidahnya, menjilat daun telinga Chu Qiao dan menambahkan. "Kulit nan putih, aroma nan wangi. Benar-benar kecantikan yang menggairahkan."     

Chu Qiao merasa merinding di sekujur punggungnya. Dia melihat bahwa dia sudah terkepung. Dengan amarah menggelegak, dia mengepalkan tinjunya dan menyikut bahu pria itu. Memutar tubuhnya, dia meluncur ke bawah sisi belakang kudanya. Dengan menjepitkan kakinya di sekeliling perut kuda, dia meraih kaki pria itu dan menyentaknya dengan keras. Pria itu, karena menganggap remeh kelincahan Chu Qiao, menjadi lengah. Dengan suara berdentum, dia terjatuh dari kuda, mendarat di tanah bersalju dengan menyedihkan. Gadis muda itu segera melompat turun dari kudanya dan mendaratkan lututnya di punggung pria itu, membuatnya berkunang-kunang terkena hantaman itu.     

Chu Qiao, bagaikan harimau buas, mulai mengeluarkan ilmu bela diri Wing Chun nya, menghujani kepala pria itu dengan tinju-tinju secepat kilat. Pukulan gadis itu sangat keras. Kecepatan hantamannya mencengangkan. Semua orang, ternganga diam, melihat gadis muda yang duduk di atas punggung pria itu.     

"Ah! Dasar bodoh, cepat pergi dan dan selamatkan Pangeran!"     

Mendengar kata-kata wanita itu, jantung Chu Qiao serasa copot. Dia berpikir kepada dirinya sendiri, Pangeran?     

Suara kaki kuda yang menggemuruh membuat salju bertebaran di sekitar. Zhao Che tiba di tempat itu dengan pasukannya dari Kamp Adik Ketujuh. Namun, melihat yang terjadi di hadapan mereka, semua orang panik, dan wajah mereka menjadi pucat.     

Zhao Che, dengan wajah merengut, berteriak dari atas kudanya, "Chu Qiao! Apa yang kamu lakukan?"     

Chu Qiao menghentikan apa yang sedang ia lakukan. Pria itu, dengan wajah penuh memar, mendongak dengan pening. Matanya bengkak dan semua orang bertanya-tanya apakah dia masih bisa melihat apa yang ada di depannya.     

Zhao Che segera turun dari kudanya, melangkah lebar ke depan. Dia membungkuk kepada pria yang tergeletak di tanah, berkata, "Yang Mulia, saya tidak cukup tegas terhadap anak buah saya. Maaf sudah menyinggung anda." Selesai berbicara, ia meraih lengan Chu Qiao, menariknya menjauh dari pria itu dan ke arahnya sendiri.     

Chu Qiao ternganga. Dia melihat utusan dari Kekaisaran Tang yang sudah hampir menangis, merasa bingung. Apakah ini putra tunggal Kaisar Tang, Li Ce? Si hidung belang, pangeran yang selalu mendapatkan apa yang dia inginkan?     

Dia sudah gila. Chu Qiao sadar bahwa dia sudah membuat masalah besar.     

Terlalu banyak hal yang perlu dikhawatirkan. Membunuh pangeran dari Kekaisaran Tang? Berkonspirasi untuk merusak hubungan diplomasi antara kedua kekaisaran? Melawan perintah atasan? Tuntutan apapun yang menyatakan dia bersalah sudah cukup untuk membuatnya di eksekusi. Dia tidak pernah bertindak begitu gegabah sebelumnya, sampai-sampai dia tidak memikirkan akibatnya. Apa yang salah? Mengapa dia bersikap seperti orang kerasukan?     

Chu Qiao tidak berani menatap Zhao Che. Ocehan beberapa wanita dari pihak seberang cukup kencang untuk menembus atap tenda. Chu Qiao berdiri di belakang Zhao Che, mengingat-ingat apa yang terjadi. Namun, dia tidak bisa mencari alasan untuk membela dirinya sendiri. Dia hanya bisa berharap kejadian ini tidak melibatkan Yan Xun, dan juga agar Yan Xun tidak menanggung hukuman untuk menggantikannya atas hal ini.     

"Apa kalian sudah selesai?" suara yang dingin dan dalam mendadak bergemuruh. Para wanita itu membeku. Zhao Che sedang memakai baju besi lengkap dari kepala sampai kaki. Tampangnya keras dan dia menatap tajam ke arah mereka, mengucapkan dengan jelas, "Kalau sudah selesai, pergi!"     

"Kamu!" seorang wanita yang bergaun kuning menunjuk ke arah Zhao Che dan berseru. Namun, dia segera dihentikan oleh wanita lain yang sedikit lebih tua daripadanya. "Xiao E, jangan lancang terhadap Yang Mulia Ketujuh."     

"Kakak Fu …."     

"Karena Yang Mulia sedang sibuk, kami tidak akan mengganggu. Namun, kami tidak akan membiarkan hal ini begitu saja. Kami akan mengirimkan pembawa pesan ke Zhen Huang untuk membahas masalah ini. Sedangkan untuk gadis ini," Mata wanita itu tertuju pada Chu Qiao. "Karena Yang Mulia menolak untuk menyerahkannya, kami tidak dapat berbuat apa-apa. Tolong awasi dia untuk kami. Kita akan menyelesaikan urusan ini di lain waktu. Selamat tinggal." Selesai itu, dia berbalik badan dan meninggalkan tenda. Wanita-wanita lainnya, mendengus, lalu mengikutinya dari belakang.     

Zhao Che berdiri diam di dalam tenda. Dia melihat ke arah tirai yang bergerak ditiup angin, tetap diam untuk waktu yang lama.     

Chu Qiao berdiri di belakangnya, tidak bisa melihat raut wajahnya, tetapi bisa membayangkan betapa marahnya dia. Bagi Zhao Che, cara paling baik untuk menyelesaikan masalah ini adalah menghukum mati gadis pemberontak ini saat itu juga, daripada menyerahkannya ke pengadilan. Namun, dia menolak untuk menyerahkannya kepada Kekaisaran Tang. Mengapa demikian? Chu Qiao berjanji pada dirinya sendiri, bila Zhao Che melayangkan tinjunya ke arah dia saat itu, dia tidak akan melawan.     

Tiba-tiba, punggung Zhao Che tersentak. Terlihat seakan dia sedang menahan apa yang ingin dia katakan. Keringat mengucur dari kening Chu Qiao dan telapak tangannya lengket. Pupil matanya menciut. Apa yang sedang ingin dilakukan Zhao Che? Apakah dia memanfaatkan kesempatan ini untuk menabur perpecahan? Sang Kaisar sudah lama berusaha mencari-cari kesalahan Yan Xun dan ini adalah kesempatan bagus untuk melenyapkannya. Apakah Chu Qiao akan dijadikan alasan bagi Kaisar untuk berbuat demikian? Mengapa dia begitu sial dan membuat kekacauan sebesar ini, padahal dia baru masuk ke Kamp Adik Ketujuh? Chu Qiao mengepalkan tinjunya, secara tidak sadar meraba belati yang ada di pahanya.     

Zhao Che membalik badan dengan raut yang aneh di wajahnya. Dia menatap Chu Qiao dengan mata yang bersemangat. Tiba-tiba, mulutnya terbuka lalu ….     

"Hahahaha!" Suara tawa menggelegar keluar dari mulutnya. Wakil Komandan Cheng dan beberapa petugas penting di Kamp Adik Ketujuh mendadak masuk dan ikut tertawa.     

Zhao Che mengulurkan tangannya, dan memegang pundak Chu Qiao. Dia mengacungkan jempolnya dan berseru, "Luar biasa! Kerja yang bagus!"     

Apa yang sedang terjadi di sini? Chu Qiao terbengong untuk sejenak, matanya membelalak.     

"Li Ce, anak itu, seharusnya diberi pelajaran sejak dahulu."     

"Pangeran dari Kekaisaran Tang? Dia bersikap seperti banci, memakai merah dan hijau sepanjang hari. Membuatku mual tiap kali melihatnya."     

"Betapa menyusahkan. Seseorang harus menghabisi kesombongannya."     

"Gadis, kerja yang bagus. Kalau ada yang berani mencari masalah denganmu, kamilah yang akan pertama mendukungmu!"     

Chu Qiao terperangah, tak bisa berkata apa-apa. Setelah sejenak, dia berbisik perlahan, "Yang Mulia, kita tidak bisa menganggap remeh masalah ini. Walaupun orang yang tidak tahu, tidak bisa dinyatakan bersalah, tetapi saya sudah memukuli Pangeran Tang. Dan juga, dia datang untuk merayakan ulang tahun Kaisar. Walaupun tidak menyelesaikan masalah, bukankah sebaiknya saya meminta maaf?"     

"Kamu memukuli dia?" Zhao Che meninggikan alisnya, berbalik kepada anak buahnya dan bertanya, "Siapa yang lihat? Apakah kalian melihatnya?"     

Semua menjawab serentak, "Kami tidak melihat apapun."     

Chu Qiao tersentak. Dia melihat ke Zhao Che dengan bingung.     

Zhao Che menghela napas dan berkata, "Kalau dipikir-pikir sekarang, kamu bodoh sekali. Kalau kamu mau menghajarnya, seharusnya kamu lakukan pada saat tidak ada orang di sekitar."     

"Itu benar!" Dong si Bewok maju dengan santai dan menyela, "Yang Mulia sudah membahasnya dengan kami. Ketika orang itu dalam perjalanan, kami akan mencari kesempatan saat tidak ada orang di sekeliling, untuk memasukkan dia ke dalam karung dan memukulinya untuk meluapkan kemarahan kami. Kami akan memastikan dia sampai di Zhen Huang dengan muka yang bengkak. Namun, kami tidak menduga kamu akan bergerak lebih. Kami sudah tiba sejak lama dan melihatmu memukulinya dari kejauhan tetapi tidak menampakkan diri."     

Chu Qiao melihat ke orang-orang itu, yang sedang berseri-seri. Dia mau menangis, tetapi tidak ada air mata yang menetes.     

"Jangan khawatir." Zhao Che menepuk bahunya dengan setia. "Walaupun dahulu kita tidak sependapat, karena sekarang kamu di bawah tanggung jawabku, aku tidak akan memperlakukanmu dengan buruk."     

Saat malam tiba, perkemahan menjadi hening. Satu-satunya suara datang dari sisi timur, mirip suara sizhu. Ini adalah hal yang tak lazim, mengingat di sini adalah markas militer. Wakil Komandan Cheng pernah menyebutkan sebelumnya, bahwa ini adalah kebiasaan Pangeran Tang—bahwa dia tidak bisa tidur tanpa alunan lagu. Hari ini, setelah kejadian yang dialaminya, lagunya terdengar lebih sendu. Bagaikan pelayan istana yang merindukan masa mudanya.     

Chu Qiao duduk di atas bukit bersalju, bermain-main dengan pedang panjang di tangannya. Di atas dataran bersalju yang luas, tak terhitung cahaya terang yang menerangi angkasa. Cahaya bulan yang terang terpantul ke tanah. Keheningan menyelimuti kamp, sesekali disela oleh prajurit yang berpatroli. Kenyataan bahwa tempat ini bukan medan perang membuat suasana jauh lebih santai dan tidak tegang. Tempat ini sangat terpencil.     

Chu Qiao menghela napas. "Tidak ada yang istimewa dari cahaya terang itu."     

Suara nyaring terdengar menggema. Chu Qiao melihat ke bawah ke arah pedang berharga yang belum dikeluarkan dari sarungnya, menyadari suara itu berasal dari sana. Dia sedikit mengerutkan keningnya dan mengeluarkan pedang itu dari sarungnya. Pedang ini ditempa dengan unik. Panjangnya 1,2 meter. Warna dasarnya putih kehijauan, dihiasi dengan ukiran merah tua yang tidak jelas. Dilihat sepintas, orang akan mengira ukiran itu adalah bercak darah yang belum mengering.     

"Pedang yang bagus!" Suara pujian terdengar dari belakang.     

Chu Qiao berbalik badan, melihat Zhao Che berjalan ke atas bukit bersalju itu. Dia memakai jubah hitam. Dia berjalan sampai samping Chu Qiao dan duduk, menanyakan, "Apa namanya?"     

Chu Qiao tertegun sesaat. Dia menggeleng dan menjawab, "Saya tidak tahu."     

"Bagaimana kamu tidak tahu nama pedangmu?"     

"Pedang ini bukan milik saya."     

Zhao Che mengangguk, tidak bertanya lebih lanjut. Dia memegang guci angur di tangan kanannya. Dia menengadah dan meminum seteguk penuh darinya, lalu menyerahkannya kepada Chu Qiao.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.