Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 81



Bab 81

0Semangat perang Yan Bei! Semangat para prajurit telah dibangkitkan sepenuhnya. Mereka melompat ke atas kuda masing-masing dan menyerbu ke arah pasukan musuh yang jumlahnya beberapa kali lipat dari mereka. Pertarungan berdarah terjadi di semua jalan besar maupun lorong kecil. Prajurit dari Garnisun Utusan Barat Daya, yang dahulu dikabarkan lemah dan pengecut, menjadi penjelmaan dari singa, mengaum di jalanan, menusukkan senjata mereka ke musuh.     
0

"Tuan," Xirui dan Bian Cang dari Serikat Da Tong berjalan ke atas menara dan bertanya dengan muram, "Garnisun Utusan Barat Daya sudah membuka jalan di tengah barisan musuh. Divisi ke-12, ke-19, dan ke-36 sudah menderita banyak korban jiwa dari serangan mereka. Apakah kita mundur sekarang?"     

"Tidak, ini masih belum cukup."     

Xirui dan Bian Cang saling melihat dengan gelisah. Menurut rencana, seharusnya sekarang waktu untuk mundur. Apakah sang tuan dibutakan oleh balas dendam sampai dia begitu terpaku?     

"Para elite dari kekaisaran masih hidup dan aman."     

"Para elite?" Bian Cang bertanya. "Saya tidak mengerti. Pasukan Kavaleri dan Pasukan Hijau sudah kehilangan komandan mereka, dan Garnisun Utusan Barat Daya telah berpindah ke pihak kita. Divisi ke-12, ke-19, dan ke-36 telah menderita banyak korban jiwa. Kita sudah menang."     

"Memang kenapa kalau sudah tidak ada petugas di pasukan mereka? Kekaisaran Xia masih memiliki prajurit yang bisa dengan mudah diturunkan."     

"Apa maksud Yang Mulia?"     

Yan Xun mengangkat alisnya, dan matanya sama sekali tidak ada rasa belas kasihan. Dia berdiri menyendiri di atas menara. Di atas jubah hitamnya, dia memakai sebuah mantel putih dengan sulaman elang yang berkibar di tengah angin.     

"Kalau kita tidak mencabut pasukan mereka sampai ke akarnya, mereka bisa digerakkan lagi dengan mudah. Perintahkan semua pejuang dari Da Tong untuk mengikutiku ke Aula Shang Wu, di mana kekaisaran melatih para calon pemimpin militer. Aku ingin keluarga Kekaisaran Xia tidak memiliki jenderal yang cakap untuk dipanggil, tidak ada marsekal yang kompeten untuk diterjunkan untuk bertahun-tahun mendatang!" Yan Xun berkata.     

Xirui dan Bian Cang tertegun untuk sesaat sambil menatap pemuda itu. Aura pembunuh yang tak terpuaskan dipancarkan oleh pria yang biasanya selalu damai dan tenang ini; nafsu membunuh yang kuat bagaikan air banjir yang tak terbendung, menelan seluruh ibu kota kekaisaran.     

Pembantaian ini baru dimulai sekarang. Awal dari penghancuran Kota Zhen Huang sudah dimulai oleh pria ini. Pedang kehancuran menggores langit malam yang gelap gulita, dan jeritan kemarahan yang membuat gila bergema di tengah ibu kota. Sejarah mungkin melupakan Zhao Zhengde, tetapi pasti ada bekas tak terlupakan yang ditinggalkan oleh Yan Xun. Pada hari ke-20 bulan kelima, Yan Xun memberontak dan memerintahkan pembantaian 3000 siswa militer di Aula Shang Wu. Sebagian besar anggota elite kekaisaran gugur di dalam pertempuran itu!     

Di bawah penerangan obor api, seluruh Aula Shang Wu sunyi senyap karena tidak adanya perintah dan pemimpin. Para anggota elite kekaisaran cukup bijak dan mundur untuk menghindari pembantaian di awal pemberontakan. Tidak ada pengawal yang dikirimkan untuk menjaga ketertiban, dan karena alasan itulah mereka masih berkekuatan penuh.     

Namun, menjelang tengah malam, di luar tiba-tiba ada kobaran api besar, dan jeritan tragis terdengar dari luar. Ada beberapa siswa yang berusaha untuk menerobos keluar dari sekolah, tetapi yang menyambut mereka di luar adalah formasi pejuang Da Tong yang rapi mengantarkan kematian para siswa tersebut. Dalam hujanan panah bertubi-tubi, tidak ada yang berhasil melarikan diri. Di antara kerumunan yang ramai, bisa terlihat mantan Pangeran Yan Bei, yang di masa lalu selalu terlihat di sudut kekaisaran yang tidak mencolok. Namun kini, sosok pria yang sama, berdiri tegap dan terlihat bagai malaikat pencabut nyawa, dan para siswa yang terjebak ini berteriak ketakutan, "Itu Yan Xun! Si pengkhianat telah datang!"     

Berteriak tak beraturan, 3000 siswa elite ini jatuh dalam kekacauan bahkan sebelum mulai bertempur. Xirui mengejek mereka, tetapi dia diabaikan. Setelah ketiga kali, Yan Xun memerintahkan Xirui dengan tenang, "Mereka sudah kehilangan semangat untuk bertarung. Kita bisa menghindari pertempuran jarak dekat dan bakar saja tempat ini. Kalian berjaga di sini dan tutupi jalan keluar binatang-binatang itu."     

"Yan Xun, dasar kamu pengecut! Kalau kamu punya nyali, datang dan lawan aku sendiri!" Wei Shuhan, jenderal muda dari keluarga Wei, berteriak sekuat tenaga dan menghunuskan pedangnya. Namun bahkan sebelum dia bisa maju satu langkah, sebuah anak panah menembus lehernya. Matanya masih melotot dengan kegetiran. Dia jatuh mati di tengah reruntuhan kebakaran.     

Yan Xun bahkan tidak meliriknya sama sekali saat dia melompat ke atas kudanya dan memerintahkan, "Berangkat ke Kamp Kavaleri sekarang!"     

Malam itu, Garnisun Utusan Barat Daya membelot, dan sebagian besar pasukan pengawal ibu kota tewas dalam kekacauan itu. Divisi ke-12, ke-19, dan ke-36 bertempur sepanjang malam dengan prajurit dari Garnisun Utusan Barat Daya, dan kedua pihak menderita kerugian besar. Setelah itu, dengan menggunakan metode yang serupa, Yan Xun berhasil melenyapkan kekuatan militer dari Aula Shang Wu, Sayap Barat Kamp Kavaleri, dan seluruh Pasukan ke-7 dan ke-9. Pada akhirnya, ada terlalu banyak lawan, jadi Yan Xun memerintahkan untuk membuka semua istal perang dan dengan menggunakan hujan panah, dia menggiring 2000 petugas dan prajurit yang tersisa dari Kamp ke-16 ke Lapangan Xi Wei. Lalu dia memaksa kuda-kuda perang untuk menyerbu, dan menginjak-nginjak musuh mereka yang ada di lapangan itu. Serangan itu memakan korban 1800 jiwa, dan meninggalkan sisanya terluka dan cacat, mengerang kesakitan di medan perang.     

Bian Cang menyarankan untuk menyelesaikannya, tetapi Yan Xun menggeleng dan berkata, "Tinggalkan yang cacat, biar Zhao Zhengde yang mengurus mereka."     

Pukul 2 dini hari, langit semakin tenggelam dalam kegelapan, dan seluruh ibu kota kekaisaran sudah tinggal reruntuhan. Ada beberapa yang masih hidup di dalam kamp, dan tim terakhir yang kembali dari Fuyi Yamen, melaporkan bahwa para petugas dari Fuyi Yamen telah melarikan diri. Setelah membantai beberapa ratus prajurit, mereka kembali.     

Saat ini, selain 3000 pengawal di bawah Song Que, dan ketiga divisi yang sedang terlibat pertempuran dengan Garnisun Utusan Barat Daya, sudah tidak ada kekuatan militer yang tersisa.     

"Tuan, apakah kita perlu mengabari pasukan Garnisun Utusan Barat Daya untuk mundur? Sudah saatnya kita pergi."     

"Betul, sudah saatnya pergi." Yan Xun mengangguk perlahan sambil melihat tanah hangus yang tersisa dari ibu kota kekaisaran.     

"Kalau begitu, aku akan menyampaikan perintah ke mereka."     

"Berhenti di sana." Yan Xun melirik ke Xirui dan bertanya, "Kapan aku bilang kita akan membawa pasukan Garnisun Utusan Barat Daya bersama kita?"     

Xirui tertegun dan bertanya, "Tuan?"     

Yan Xun membalik badan, dan berkata dengan lembut, "Garnisun Utusan Barat Daya mengorbankan diri mereka dan bersuka rela tinggal di belakang untuk menghadang serangan musuh yang gencar untuk menjaga kekuatan Yan Bei. Mereka setia dan taat, dan pantas menjadi contoh untuk semua prajurit!"     

Xirui mengerutkan alisnya, dan melangkah maju, "Tapi, Tuan …." Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, Bian Cang menahan dia dan menutup mulutnya.     

"Jenderal Xirui, tolong jangan meragukan kesetiaan Garnisun Utusan Barat Daya. Mereka menyamar di ibu kota selama bertahun-tahun, hanya menunggu kesempatan ini untuk menyerang balik kekaisaran." Pandangan Yan Xun sudah mantap. Ucapannya tenang tetapi nada dingin bisa terasa dari kata-katanya, bagaikan panah yang menembus jantung orang-orang.     

Bian Cang segera menyahut, "Betul, Tuan, memang benar! Mereka sangat terhormat dengan mengorbankan dirinya untuk negara kita, dan kita akan selalu mengingat mereka sebagai prajurit teladan!" Tangannya menggenggam erat pakaian Xirui, takut kalau temannya itu akan mengucapkan sesuatu yang membuat Yan Xun jengkel. Melihat pembantaian tanpa ampun yang dilakukan Yan Xun tadi, Bian Cang yakin kalau pria yang terlihat damai ini akan memerintahkan untuk mengeksekusi mereka hanya dengan sebuah isyarat tangan.     

"Baik, seluruh pasukan mundur melalui Gerbang Utara. Setelah keluar, kunci gerbangnya!"     

Kuda-kuda perang yang perkasa melesat keluar, dan gerbang ditutup rapat. Pada saat itu, seakan langit dan bumi menjadi gelap, dan para prajurit dari Garnisun Utusan Barat Daya yang masih bertarung dengan Divisi ke-12, ke-19 dan ke-36, benar-benar terkejut dan kebingungan.     

Setelah terdiam cukup lama, suara putus asa menggema, "Yang Mulia! Masih ada kami! Kami masih di dalam sini!"     

"Kita telah ditinggalkan! Kita telah dikhianati!"     

Benih rasa takut tumbuh di hati mereka, dan formasi mereka yang tadinya sudah rapuh kini menjadi kacau balau. Para prajurit berlari meninggalkan posisi mereka dan menyebar, berteriak ketakutan dengan menyedihkan.     

"Bagaimana? Apa yang harus kita lakukan? Kita sudah ditinggalkan!"     

Komandan Divisi ke-19 Fang Baiyu segera memanfaatkan kesempatan ini untuk mengerahkan anak buahnya.Sambil menyeka noda darah di wajahnya, dia berteriak, "Saudaraku! Ikuti aku! Bunuh mereka!"     

"Pasukan kekaisaran sudah tiba! Bala bantuan kita sudah datang!" para prajurit Divisi ke-19 bersorak.     

Dengan alis tajam dan tatapan yang tegas, pria yang memimpin bala bantuan itu memakai baju pelindung berwarna putih dan memegang pedang berwarna hijau pucat. Menunggang dengan megah, dia tampak bagaikan penjelmaan kemenangan, membersihkan jalan yang dinodai oleh darah para jenderal musuh.     

"Itu Pangeran Ketujuh! Bala bantuannya telah datang!"     

Mengikuti tibanya pasukan yang dipimpin oleh Zhao Che, Zhao Yang mempersiapkan dirinya, namun tali kekangnya ditahan oleh Zhao Xiang. Zhao Xiang mengingatkan, "Kakak Keempat Belas, ibu kota sedang dalam kekacauan. Ayah tidak mengirimmu keluar, mengapa kamu mau terlibat dalam kekacauan ini?"     

Zhao Yang mengerutkan alisnya dan menggenggam pedangnya lebih erat. Melihat ke adiknya, dia berkata dengan tegas, "Adik Ketujuh Belas, apakah kamu mau selamanya terus di tanah dan melihat orang lain? Atau kamu mau berdiri tegap dan bangga akan kemampuanmu sendiri? Kalau kamu mau yang kedua, ikuti aku keluar sekarang."     

Wajah Zhao Xiang merona merah, dan ia melompat ke atas kudanya tanpa keraguan. Sambil mencabut pedangnya,dia berseru dengan suara keras, "Kakak Keempat Belas, ke mana pun kamu pergi, adik ini akan selalu mengikutimu!"     

Zhao Yang mengangguk setuju, dan menatap ke gerbang kota yang mengesankan, dan suara-suara pertempuran dan kematian terdengar dari balik gerbang itu. Sang pangeran muda menghunus pedangnya, dan menetapkan pandangannya.     

Dengan membawa serta pengawal pribadinya, pasukan yang hanya berisi hampir seratus orang ini menyerang ke jantung pasukan Garnisun Utusan Barat Daya, bagaikan pisau panas yang memotong mentega. Hujan darah pun terjadi, menandakan naiknya seorang bintang baru dari kekaisaran di tengah-tengah pembantaian itu.     

Chu Qiao tiba di tepi sungai Chi Shui, AhJing sudah menunggu. Di tepian sungai di sisi seberang sana, ada ribuan kuda perang yang menunggu untuk mundur ke Yan Bei. Saat melihat Chu Qiao tiba sendirian, tidak ada yang terkejut, dan mereka segera bersiap untuk membawa dia menyeberang sungai. Chu Qiao turun dari kudanya, dan menyapa AhJing dan yang lainnya. Chu Qiao mengernyit dan bertanya dengan muram, "AhJing, hanya ada satu jembatan apung[1]. Pasukan Garnisun Utusan Barat Daya beranggotakan lebih dari sepuluh ribu prajurit. Apa kita bisa menyeberangi sungai dalam sehari?"     

AhJing tersenyum dan mengangguk. "Ini adalah perintah dari sang pangeran, jadi seharusnya sudah tepat. Mari saya antar anda ke seberang dahulu."     

Chu Qiao berdiri diam, dan perasaan buruk tiba-tiba menerpanya, wajahnya langsung menjadi pucat, menunjukkan tanda-tanda kepanikan. AhJing bertanya, "Nona, ada masalah apa?"     

Chu Qiao dengan cepat menutupi kekhawatirannya dan tersenyum. "Tidak, tidak apa-apa. Kamu bisa membawa mereka menyeberang dahulu. Aku akan menunggu Yan Xun."     

AhJing merengut. "Tapi Yang Mulia memerintahkan …."     

"Kamu tidak perlu bilang apa-apa lagi. Cepat dan seberangi sungai."     

AhJing mengerti perasaan yang dimiliki Chu Qiao dan Yan Xun untuk satu sama lain, dan itu bukan sesuatu yang dia bisa ikut campur. Dia mengangguk dan tidak memaksa lebih lanjut.     

Satu jam kemudian, suara pedang-pedang beradu dengan sengit terdengar dari arah tenggara. Terdengar lebih hebat daripada pertempuran-pertempuran di ibu kota sebelumnya. Hati Chu Qiao gemetar. Dia menunggangi kudanya, menuju ke medan perang.     

"Nona! Anda mau ke mana?" AhJing panik dan berteriak.     

"Aku kembali untuk menjemput Yan Xun!"     

Tidak lama kemudian, dia melihat sekitar 5000 prajurit memacu ke arahnya. Dengan pakaian dan baju pelindung berwarna hitam, dan bendera perang hitam berkibar di angkasa. Chu Qiao gembira, dan saat sudah mendekat, dia melihat Yan Xun memacu cepat ke arahnya, dengan jubahnya berkibar di belakangnya bagaikan sayap seekor elang.     

"AhChu!"     

"Yan Xun, apakah kamu baik-baik saja?" Chu Qiao menyambutnya dan tersenyum lega.     

[1] Berupa rakit atau perahu kecil yang dihubungkan ke seberang sungai dengan tali yang diikatkan di kedua sisi sungai     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.