Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 87



Bab 87

0"Nona, anda berbakat, pemberani, dan baik hati. Tanpa memedulikan keselamatan anda sendiri, anda menyelamatkan semua orang. Kami sepenuhnya setia pada anda, dan hanya di bawah perintah anda, baru kami akan diampuni. Kumohon jadilah pemimpin kami!"     
0

"Kami mohon jadilah pemimpin kami!" seluruh pasukan berteriak kompak, dan semua pejuang yang besar hati itu berlutut di tanah. Suara saat pelindung lutut mereka menghantam tanah bagaikan gemuruh guntur!     

Berdiri di atas sebuah batu besar, Chu Qiao menghadapi angin malam dengan tubuh mungilnya, dan menatap ke arah mata orang-orang yang penuh harapan itu. Dia akhirnya menggeleng dan menjawab, "Maafkan saya, saya tidak bisa menyetujui hal itu!"     

"Nona!"     

"Mengapa?"     

Mereka mulai gaduh. Dengan mengangkat telapak tangannya, Chu Qiao mengisyaratkan agar mereka diam. Setelah itu dia menyatakan, "Tetapi saya akan berjanji dengan nyawa saya kalau para prajurit Garnisun Utusan Barat Daya akan menerima perlakuan yang sesuai dengan prestasi yang telah kalian capai. Menjadi seorang prajurit berarti kepatuhan mutlak. Bahkan jika suatu hari, Yan Bei memerintahkan untuk membunuhku, kalian harus melakukan itu tanpa ampun. Hanya dengan demikian baru kalian pantas disebut seorang prajurit."     

Langit menjadi sunyi senyap saat itu juga. Cahaya redup dari bulan menyinari dari atas, menerangi pakaian gadis muda itu yang tertiup angin. Dia mengulangi pernyataannya dengan tegas, "Saya tidak akan setuju menjadi pemimpin kalian, tetapi saya ingin mengingatkan kalian akan satu hal. Yan Bei hanya memiliki satu orang pemimpin yang harus kalian patuhi. Dan orang itu adalah Yan Xun."     

Di bawah siraman cahaya bulan yang keperakan, bersama dengan pakaiannya yang berkibar, Chu Qiao tampak seperti dewi untuk sesaat. Para prajurit hanya bisa menatapnya dengan hormat, karena mereka tak bisa berkata apa-apa. Seakan-akan ucapannya mengandung sihir.     

"Nona, bagaimana dengan anda?"     

"Saya? Saya akan bertempur di sisi kalian. Saya juga memiliki impian dan ambisi sendiri."     

"Apa ambisi Nona?"     

Sudut bibir Chu Qiao terangkat sedikit, dan wajahnya yang serius berubah menjadi bahagia dan penuh harapan. "Selagi saya masih hidup, saya ingin melihat dia menguasai dunia ini."     

Seakan-akan kebetulan, di saat dia mengatakan itu, sebuah angin kencang tiba-tiba berembus, dan membawa kata-kata itu menuju Utara, bergemerisik di hutan sebelum akhirnya menghilang di kejauhan.     

"Nona!" Sebuah suara menggema dari kejauhan, dan seorang pengintai kembali dengan bahu yang berdarah. "Kami disergap di depan sana!"     

"Disergap?" He Xiao segera berdiri dan bertanya dengan keras, "Siapa mereka? Berapa banyak orang?"     

"Hanya tujuh orang, dan tidak jelas siapa mereka. Sebelum kami sempat bertanya, mereka sudah mencabut pedang mereka, siap untuk bertarung."     

Chu Qiao berdiri dan berkata dengan muram, "Ayo, bawa kami ke sana."     

Seluruh prajurit Garnisun Utusan Barat Daya ikut berdiri, dan mengikuti gadis muda di depan, bergegas maju.     

30 orang lawan tujuh, hasilnya sudah cukup jelas bahkan sebelum pertarungan dimulai. Saat Chu Qiao tiba, para pengintai itu sudah menangkap ketujuh orang penyerang. Karena belum jelas siapa yang mengirim para prajurit ini, mereka belum membunuh siapa pun, tetapi hampir semua orang terluka, dan itu kekacauan yang tidak enak dilihat.     

Dengan tatapan sekilas, Chu Qiao merasa mereka tidak asing, namun sebelum dia sempat membuka mulut, salah satu dari orang-orang itu berteriak girang, "Itu Nona Chu!"     

Chu Qiao mengerutkan dahinya, dan bertanya, "Kalian kenal saya?"     

"Saya adalah anak buah AhJing, Song Qian!"     

"Kamu dikirim oleh AhJing!" Chu Qiao langsung mengerti, dan memberitahu yang lainnya, "Mereka adalah kawan. Sepertinya ini hanya kesalahpahaman."     

He Xiao juga terkejut. Baru tiba di Yan Bei, dia sudah merasa gelisah. Namun hal pertama yang terjadi adalah pertikaian dengan pasukan setempat, bagaimana dia tidak menjadi takut? Dia segera melepaskan ikatan orang-orang itu, dan berusaha untuk berbaikan dengan mereka.     

"Apa yang sedang kalian lakukan? Memakai baju biasa seperti ini, apakah kalian sedang dalam misi?" Chu Qiao bertanya.     

Saat mendengar itu, wajah mereka menjadi pucat. Song Qian berpikir sejenak, dan menjawab dengan canggung, "Nona, kami sedang dalam misi. Tolong segera bergegas ke Xi Ma Liang. Yang Mulia masih menunggu anda, dan masih belum pergi."     

Para prajurit dari Garnisun Utusan Barat Daya semuanya menghela napas lega saat mendengar itu. Pangeran Yan mengambil risiko sebesar ini untuk menunggu mereka. Apakah benar, dia tidak berencana meninggalkan mereka di ibu kota, dan Nona Chu mengatakan yang sebenarnya selama ini?     

Chu Qiao tidak menunjukkan tanda bahagia, dan justru mengernyit. Dia bertanya, "Kalian dalam misi apa?"     

"Nona, ini misi rahasia." Song Qian berusaha menutupinya. "Kami bahkan tidak berani memakai seragam kami. Sulit mengatakannya dengan begitu banyak orang di sini."     

"Apa yang tidak bisa dikatakan?" Gadis muda ini semakin merengut, dan memperingatkan mereka dengan tegas, "Ketika sang Pangeran melakukan sesuatu, dia tidak akan pernah berbohong padaku. Saat ini, kita sedang memulai perang dengan ibu kota kekaisaran, dan saya justru melihat kalian secara sembunyi-sembunyi menuju ke arah musuh. Apa misimu sebenarnya?"     

Kemarahannya membuat orang-orang ini terkejut. Song Qian gemetaran saat dia berusaha mencari alasan, namun tidak bisa mengucapkan apapun.     

"Mengakulah! Apakah kalian mata-mata dari Kekaisaran?"     

"Kami bukan!"     

Dengan sekelebat, Chu Qiao mencabut pedangnya, dan matanya menjadi dingin dan tiada ampun. "Katakan, apakah kalian mata-mata atau bukan?"     

Song Qian sudah ketakutan. Dia langsung bersujud dan mengaku, "Nona, kami bukan mata-mata. Kami hanya mematuhi perintah untuk mengawal Pangeran Ketiga Belas kembali ke ibu kota!"     

"Pangeran Ketiga Belas?" Pandangan Chu Qiao berubah. "Apa katamu? Di mana dia?"     

"Dia … dia …."     

"Di mana?" Pedang baja yang dingin itu menekan leher Song Qian. Wajah gadis muda itu sudah tidak ada belas kasihan sama sekali, siap membunuh kapan saja.     

"Dia … ada di sana!"     

Wajah Chu Qiao tetap dingin saat dia berjalan ke arah yang ditunjuk Song Qian, dengan langkah lebar. Setelah mendorong ke samping lapisan rumput tebal, terlihat sebuah gua besar. Dengan membawa obor, sisi dalam gua itu seterang siang hari. Saat melihatnya, semua orang menjadi pucat.     

Chu Qiao berdiri di depan gua, dan tangannya menggenggam erat pedangnya. Alisnya menempel erat, dan dadanya kembang kempis, berusaha menahan nafsu membunuh yang menggebu-gebu.     

Tiga orang prajurit Yan Bei yang telanjang dengan panik melihat Chu Qiao dan terus gemetaran. Di belakang mereka ada seorang wanita, pakaiannya sudah disobek sampai menyerpih, tubuhnya diikat dan wajahnya membengkak. Darah kering bisa terlihat di sudut mulutnya, dan rambutnya kusut bagaikan sarang burung. Seluruh tubuhnya dipenuhi bekas siksaan, dan bagian bawah tubuhnya sangat berantakan. Dia tergeletak di sana tak bergerak, dan kalau bukan karena erangan putus asa yang sesekali terdengar dari tenggorokannya, orang akan mengira kalau dia sudah tewas. Air matanya sudah mengering dan menjadi dua garis di pipinya.     

Di ujung gua, seorang pria yang hanya memiliki satu lengan, tak sadar di salah satu sudut. Tali yang mengikatnya sudah menggesek habis selapis kulit, dan seluruh tubuhnya berdarah-darah. Cukup melihat sekilas, orang bisa tahu betapa dia berusaha melawan. Saat ini, bahkan dalam keadaan pingsan, bisa terlihat wajahnya meringis dengan penuh amarah!     

"Kalian bertiga, keluar." Suara Chu Qiao serak, bagai suling rusak. Prajurit di sekitarnya terkejut oleh nada suaranya, dan menoleh ke arahnya.     

Gadis muda itu dengan tenang mengulang lagi sambil menunjuk ketiga orang di dalam gua. Dia berkata, "Ya, kalian bertiga."     

Ketiga pria itu berlari keluar sambil memegang pakaian mereka. Para prajurit dari Garnisun Utusan Barat Daya menghindari mereka seakan-akan mereka wabah.     

Dengan tebasan cepat, sebuah kepala melayang di udara. Darah dari leher pria itu menyembur ke atas bagaikan air mancur. Kedua prajurit lain menjadi pucat, dan bersiap untuk melawan dengan senjata mereka. Melihat itu, He Xiao langsung mencabut pedangnya juga, dan berjalan maju.     

"He Xiao" sambil menginjak mayat itu, Chu Qiao berjalan ke arah gua setelah menyelesaikan kalimatnya, "beri dua orang ini kematian yang penuh derita."     

"Baik!"     

Suara pertarungan pun dimulai, namun Chu Qiao sudah tidak peduli lagi. Dia berusaha menutupi gua itu dari yang lain dengan menggunakan rumput-rumput tinggi, dan berjalan ke dalam gua yang penuh dengan bau nafsu. Berdiri di samping Zhao Chun Er, Chu Qiao berusaha menyatukan pakaian Chun Er yang sudah compang-camping.     

"Nona! Ampuni kami! AHH!!" Teriakan penuh derita bisa terdengar, dan sesaat kemudian kedua prajurit itu memohon ampun lagi dengan putus asa. Ancaman kematian membuat mereka kehilangan ketenangan mereka. Mereka berteriak putus asa, "Ini diperintahkan oleh Yang Mulia! Kami hanya mengikuti perintah!"     

"Nona! Maafkan kami!"     

"Nona …."     

Setetes air mata jatuh dari mata Zhao Chun Er. Mengalir sepanjang kulitnya yang putih bersih, tetesan itu jatuh ke tubuhnya dan mengalir melalui bekas-bekas vulgar itu. Bagaikan boneka rusak, air matanya mulai mengalir lagi. Saat ini, otaknya kosong sama sekali. Hari-hari polos dan lugu itu bagaikan angin di musim dingin, meninggalkan hidupnya selamanya. Kenangan hari-hari indah itu tidak pernah terlihat begitu ironis, menunjukkan padanya betapa bodohnya dia di masa lalu. Dia menggigit bibirnya sementara air mata terus mengalir, berusaha menahan agar tidak menangis.     

Tangan Chu Qiao menjadi kaku saat dia mendengarkan suara di luar. Dia menundukkan kepalanya, namun bagaimanapun ia mencoba, ia tetap tidak bisa membenahi pakaian yang sudah sobek itu. Mata Chu Qiao memerah, dan wajahnya tak pernah terlihat sepucat itu. Chu Qiao melepaskan jubah luarnya dan memakaikannya kepada Zhao Chun Er sebelum bergerak ke belakangnya, dan menyisir rambutnya.     

"Apakah kamu bisa berdiri?" Chu Qiao berdiri di depan Zhao Chun Er dan bertanya perlahan.     

Zhao Chun Er akhirnya sedikit merespons. Dia mendongak dan melihat ke Chu Qiao. Chu Qiao mengulurkan tangannya dan melanjutkan, "Aku akan membawamu keluar. Aku akan membawamu pulang."     

Tiba-tiba, sebuah kebencian yang kental melintas di mata Zhao Chun Er. Dia menangkap tangan Chu Qiao, dan membuka mulutnya. Seperti binatang buas, dia menggigit Chu Qiao!     

Darah segar mengalir turun di pergelangan tangan Chu Qiao, dan tetes demi tetes, menetes ke pakaian Zhao Chun Er. Wanita gila itu terus menggigit sekuat tenaga, dan tidak mau melepaskan. Chu Qiao mengatupkan giginya karena kesakitan, namun dia perlahan berjongkok, dan dengan tangannya yang bebas, dia memeluk Zhao Chun Er. Di saat itu, air mata juga mengalir dari matanya. Dengan suaranya yang serak, dia berkata, "Maafkan aku, maafkan aku."     

"Uu … wahh!" Mengendurkan rahangnya, Zhao Chun Er akhirnya berhenti mencoba menekan kesedihannya sendiri. Dia mulai menangis meraung-raung. Tuan Putri yang di masa lalu begitu sombong, kini terlihat begitu tidak berharga, karena tubuhnya telah sepenuhnya dirusak oleh orang-orang biadab itu. Dia memeluk wanita yang sudah ia benci selama delapan tahun penuh, dan menangis kemalangan, "Mengapa? Mengapa aku diperlakukan seperti itu? Kubunuh kalian! Kubunuh kalian!"     

Chu Qiao tak bergerak dan membiarkan dirinya dipukuli Zhao Chun Er, saat dia mengalihkan pandangannya pada pria yang pingsan di kolam darah. Melihat wajahnya yang meringis dan alisnya yang mengerut, Chu Qiao tidak bisa menghubungkan pria ini dengan pemuda dalam ingatannya. Begitu banyak potongan dan serpihan kenangan yang melintas di matanya bagaikan badai. Di dalam salah satunya, pria muda yang tampan itu berdiri di hadapannya, sambil tersenyum lebar. "AhChu, akhirnya aku cukup umur untuk membangun istanaku sendiri, dan juga menikah!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.