Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 88



Bab 88

0Chu Qiao tidak sanggup menahan air matanya lagi. Dia menutupi mulutnya dengan tangan, tak sanggup membendung tangisannya sendiri.     
0

Zhao Song, Zhao Song, Zhao Song ….     

Hujan mulai turun sekitar pukul satu pagi. Setelah Zhao Chun Er dan Zhao Song masuk kereta kuda, Chu Qiao menuju ke dataran yang luas, ditemani pasukan gagah dari Garnisun Utusan Barat Daya. Song Qian dan yang lainnya terkejut.     

"Siapa yang memotong lengan Zhao Song?"     

"Yang Mulia yang melakukannya."     

Chu Qiao mengernyit dan membentak, "Bohong!"     

"Nona, saya tidak berbohong!" Song Qian ketakutan setengah mati. Dia melanjutkan, "Memang Yang Mulia yang melakukannya. Zhao Song datang untuk membunuh Yang Mulia, dan justru lengannya terpotong. Nyonya Yu ingin membunuh mereka, tetapi dihentikan oleh Yang Mulia. Yang Mulia memerintahkan kami untuk mengawal mereka kembali ke ibu kota."     

Chu Qiao menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Mengapa Yang Mulia melepaskan mereka?"     

"Komandan Jing bilang beliau takut Anda akan marah." Saat Song Qian menyelesaikan kalimatnya, dia takut Chu Qiao akan mempermasalahkan tentang dia yang bertindak sendiri. Dia menambahkan dengan terburu-buru, "Namun, kalau kami beraksi dalam perjalanan, anda tidak akan tahu, dan anda tidak akan marah."     

Air hujan mendarat di rambut Chu Qiao. Dengan suara rendah, dia berkata, "Apakah ini juga ucapan Komandan Jing?"     

"Ini …. Iya, iya!" Song Qian berseru.     

He Xiao, melihat kalau wajah Chu Qiao tidak senang, berteriak, "Kalau kamu berani omong kosong, kubunuh kamu!"     

"Tidak perlu bilang apa-apa lagi." Chu Qiao mendongak dan berbicara dengan suara rendah, "Bawa mereka pergi dan bunuh mereka semua!"     

"Saya tidak mengatakan hal yang salah!" Song Qian berteriak, sambil menambahkan, "Nona, lihatlah kami. Siapa di antara kami yang tidak tersiksa oleh pasukan Xia? Keluarga, orang tua, pasangan, saudara dan saudari kami, siapa yang bukan mati di tangan pejabat Xia? Kalau tujuannya bukan agar kami bertindak, mengapa kami yang dikirim dari sekian banyak pasukan?"     

"Itu benar!" prajurit lain mengekor. "Apa salahnya kita memukuli dia? Memangnya kenapa kalau kita memerkosa Tuan Putri Xia? Saudariku dilecehkan oleh keluarga kekaisaran dari Xia! Orang tuaku melaporkan masalah ini kepada pihak berwenang, tetapi mereka justru dipukuli sampai mati! Apa salah saya?"     

"Itu benar! Nona, apa kesalahan kami? Mengapa anda menghukum kami?"     

"Biar kuberi tahu apa kesalahan yang sudah kalian perbuat!" Sekilat petir menyambar di langit, menerangi kaki langit. Gadis muda itu berbalik badan, menunjuk ke arah kereta kuda, dan berkata dengan perlahan, "Orang-orang yang membunuh orang tua kalian, melecehkan saudari kalian, dan menyakiti kalian semua bukan mereka berdua!"     

Teriakan kesakitan terdengar. Chu Qiao tidak berbalik badan. Dia menatap kereta kuda itu dengan diam, tidak berani mendekatinya. Langkah kakinya menjadi berat.     

"Nona!" He Xiao mengambil langkah lebar menujunya, lalu menyeka air di wajahnya. Dia berkata dengan sopan, "Kami sudah mengeksekusi binatang-binatang itu."     

"He Xiao, kalian lanjutkan ke Xi Ma Liang sendiri." Chu Qiao berkata, dengan wajah pucat. "Aku tidak bisa mengikuti kalian ke sana lagi."     

"Nona!" He Xiao terkejut dan bertanya, "Mengapa?"     

Guntur menggelegar, dan hujan deras terus turun, mendarat di wajah Chu Qiao dan menutupi air matanya. "Karena ada hal lebih penting yang harus kulakukan."     

Saat matahari terbit dan hujan berhenti, cuacanya menyegarkan. Semua dosa seakan-akan sudah dibilas bersih oleh badai.     

Di atas tebing tinggi, seorang pemuda berdiri tegak, memakai jubah putih. Wajahnya pucat dan matanya hitam pekat. Dia menatap pemandangan pegunungan di hadapannya.     

"Tuan, kita harus pergi." Wu Daoya berdiri di belakang Yan Xun dan berbisik.     

Yan Xun tetap diam, menatap ke kejauhan. Saat angin bertiup, dia mulai terbatuk-batuk parah, dan terlihat rapuh. Suaranya berat, dan aroma darah tercium di udara.     

"Tuan?"     

"Mmm." Yan Xun melambaikan tangannya dan berbalik. Dia menolak niat Wu Daoya untuk membantunya, berjalan menuruni bukit sambil terbatuk-batuk.     

Pegunungan ini bervariasi tingginya, membentuk banyak jalan naik turun. Di atas jembatan di belakang mereka, di luar pandangan mereka, sebuah kereta kuda berwarna hijau menyusuri jalan dengan perlahan. Di langit di atas mereka, seekor elang putih berputar-putar, mengikuti kereta kuda itu keluar dari langit Yan Bei.     

Dataran yang luas ini sangat terpencil. Tidak ada tanda-tanda keberadaan manusia dalam jarak seratus kilometer. Karena konflik dan pembantaian selama bertahun-tahun, tempat ini sudah menjadi tanah tandus. Setiap kali ada pasukan yang menyeberangi perbatasan, para warga sipil meninggalkan rumah mereka dan mencari tempat yang lebih aman. Namun, di tengah dunia yang kacau ini, tempat apa yang bisa dianggap aman?     

Angin dan hujan terus menerpa selama tiga hari. Kereta kuda itu melewati sebuah desa bobrok, yang dikotori oleh tumpukan puing-puing hitam di mana-mana. Chu Qiao menemukan sebuah rumah yang masih utuh, dan membawa Zhao Song yang tak sadarkan diri ke dalam rumah itu. Dia membersihkan rumah itu, menemukan jerami yang bersih dan kering, dan menyalakan api. Dalam satu jam, rumah itu menjadi hangat.     

Tempat ini adalah tanah tak bertuan yang dikenal sebagai Wilayah Chuanzhong. Chu Qiao sebelumnya memimpin Garnisun Utusan Barat Daya melewati tempat ini, dan sempat bertempur dengan pasukan Zhao Yang tidak jauh dari sini. Bisa terlihat kalau para warga sipil yang tinggal di sini, ketakutan dan lari pada saat pertempuran itu. Karena terburu-buru, mereka meninggalkan semuanya kecuali makanan dan pakaian. Perlengkapan dapur masih dalam kondisi bagus, dan masih ada air bersih di atas kayu bakar di ruangan kayu bakar.     

Chu Qiao membawa semangkuk air hangat dan berjalan ke arah Zhao Chun Er, yang sedang duduk sendirian di salah satu sudut rumah. Dia berjongkok dan memberikan air itu kepada Chun Er. Tuan Putri yang di masa lalu sangat dihormati itu tidak melihat ke atas, ataupun mengeluhkan keadaannya. Dia menerima air itu dan mulai minum.     

Selama perjalanan kemari, Zhao Chun Er bersikap seperti ini. Cukup mengejutkan, dia tidak bersikap bermusuhan terhadap Chu Qiao, ataupun membantah arahan darinya. Dia penurut dan diam, memakan dan meminum apapun yang diberikan padanya. Saat jalanan berbahaya, dia akan turun dan membantu Chu Qiao mendorong keretanya. Saat mereka kehabisan kayu bakar, dia akan memakan ransum yang dingin dan kering bersama Chu Qiao. Ketika melewati sungai dangkal, dia akan melintasi air bersama Chu Qiao. Ketika mereka bertemu warga yang mengganggu, dia akan mengikuti pose Chu Qiao yang galak, membawa pisau untuk menakuti mereka. Namun, dia jarang berbicara. Selain Zhao Song, dia tidak tertarik dengan hal lainnya.     

Chu Qiao tahu bahwa Zhao Chun Er tidak menganggap dirinya sebagai penolong, dan bahwa dia bersikap seperti ini karena takut. Setelah cobaan yang dia lalui, gadis muda ini menjadi dewasa dengan kecepatan yang menakutkan. Dia berubah menjadi orang yang berbeda dalam satu malam. Chu Qiao khawatir ia akan memikirkan bunuh diri.     

Chu Qiao menghaluskan ransum dan menuangkan air panas, lalu membawanya ke sisi Zhao Song. Dia menyelipkan dua jari untuk membuka mulut pemuda itu, dan menyuapinya. Pria itu merengut. Dia sudah mulai tumbuh janggut. Berbeda dengan Yan Xun dan Zhuge Yue, Zhao Song memiliki mata yang jernih, alis yang tebal, dan tampak menggemaskan seperti singa kecil saat dia marah. Hanya dalam beberapa hari, dia yang sebelumnya berseri-seri kini berubah menjadi terlantar. Dia kurus dan rapuh, dan wajahnya sepucat kertas. Melihat ke lengan kanan bajunya yang kosong dan pakaiannya yang bernoda darah, Chu Qiao dengan cepat memalingkan wajahnya, tidak sanggup melihat lebih lama.     

"Hmm …." Sebuah erangan kecil tiba-tiba terdengar. Zhao Chun Er, yang diam selama ini, tiba-tiba melompat bagai binatang buas dan merangkak ke arah kakaknya.     

Zhao Song merengut, dengan wajah kesakitan. Chu Qiao setengah berlutut di sisinya dan memegang tangannya dengan erat. "Zhao Song? Zhao Song?"     

"Bodoh, jangan pergi!" Pria itu bergumam pelan. Matanya masih terpejam, urat menonjol di kepalanya. Wajahnya tersiksa, bagaikan binatang yang terperangkap.     

"Kakak Ketiga Belas!" Zhao Chun Er menghempaskan dirinya ke atas tubuh Zhao Song, sambil berseru, "Kakak Ketiga Belas! Chun Er di sini! Saya tidak akan ke mana-mana!"     

Chu Qiao terdorong ke samping oleh Zhao Chun Er. Tidak mampu menahannya, dia mengingatkan, "Tuan Putri, jangan sampai kena lukanya."     

"Minggir!" Gadis muda itu menatap Chu Qiao dengan jijik.     

"Jangan … jangan ikuti dia, kamu … kamu bisa mati …."     

"Kakak Ketiga Belas," Zhao Chun Er terlihat dingin, "Chun Er mengerti, jangan khawatir."     

Wajah Zhao Song sangat merah, seakan-akan dia sedang demam. Chu Qiao berdiri di samping, tidak bisa mencari cara untuk mendekati keduanya. Dia ingin menyiapkan air, namun saat dia berbalik badan, langkahnya terhenti oleh suara yang serak.     

"Aku … aku juga … bisa melindungimu … AhChu …."     

Zhao Chun Er terperangah. Wajahnya menjadi pucat, seakan-akan dia kerasukan. Dia berbalik dan melihat ke Chu Qiao, lalu melihat kembali ke Zhao Song yang tak sadarkan diri. Tiba-tiba, dia tersenyum getir dan berjalan kembali ke sudutnya. Dia merangkul lututnya, dan menenggelamkan kepalanya di sana.     

Zhao Song bergumam meracau sepanjang malam. Dia memarahi Yan Xun karena mengkhianati kepercayaannya. Di lain waktu, dia berteriak menyuruh Chun Er melarikan diri, dan sering kali, dia memohon Chu Qiao untuk jangan pergi. Pria ini, yang begitu tegas saat memutuskan hubungan mereka di jalan panjang itu, menunjukkan sisi lemah dan lembutnya di malam berhujan ini. Setiap katanya bagaikan pisau, menusuk hati Chu Qiao dengan setiap kalimat.     

Ketika fajar menyingsing, Zhao Song terbangun. Chu Qiao menemani di sisinya sepanjang malam untuk menurunkan demamnya, memastikan dia tetap terhidrasi. Chu Qiao berseru dengan bahagia, "Kamu sudah bangun?"     

Suara itu membangunkan Zhao Chun Er, yang sedang tertidur. Gadis muda itu membuka matanya, namun tidak berjalan mendekat.     

Pandangan di mata Zhao Song sangat rumit. Untuk sejenak, dia tidak tahu sedang berada di mana. Dia melihat Chu Qiao dengan tatapan bahagia, yang perlahan berubah menjadi curiga, lalu sakit, benci, marah, dan berbagai emosi negatif lainnya. Akhirnya, pandangan di matanya menjadi dingin. Tatapan itu sangat dingin, lebih dingin dari puncak gunung yang membeku, cukup untuk membuat orang-orang merinding. Dari tatapannya, Chu Qiao teringat persahabatan mereka selama bertahun-tahun. Sejak mereka saling mengenal, masa mereka menjadi sahabat baik, dan akhirnya saat mereka mengakhiri persahabatan mereka di bawah tembok kota yang megah.     

Pada saat ini, kenyataan menyadarkan Chu Qiao. Namun, dia masih tetap mencari secercah harapan. Dia dan Zhao Song tidak akan menjadi teman lagi. Kerusakan sudah terjadi. Sama seperti lengannya yang buntung, usaha sebesar apapun tidak bisa memperbaiki hal ini.     

"Chun Er?" Zhao Song berbalik dan melihat gadis muda di sudut, memanggilnya dengan serak. Suaranya terdengar kaku. Dia menggunakan satu-satunya tangannya untuk meraih ke arah gadis itu.     

Zhao Chun Er cemberut dan merangkak mendekat. Matanya merah, dan bibirnya gemetar. Namun, dia tetap memaksa tersenyum yang lebih terlihat parah daripada wajah sedih. Dia memegang erat lengan Zhao Song.     

Hujan masih turun dengan deras di luar. Perapian menyala di dalam rumah. Kedua kakak adik itu, setelah melalui situasi hidup dan mati, tetap terdiam, bagaikan sepasang patung. Ribuan kata-kata yang tak terlukiskan, diterjemahkan menjadi dua wajah yang sedih, saling berhadapan di dalam ruangan yang sempit dan tertutup itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.