Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 61



Bab 61

0Sepanjang jalan, bendera berkibar di udara sementara genderang bergema di angkasa. Orang-orang bergegas ke sisi luar kota dan disambut dengan pemandangan ini. Pasukan militer berbaju besi mengawal iring-iringan itu dari samping. Kemegahannya setara dengan saat seorang Kaisar keluar bertamasya.     
0

Di wilayah yang sudah dicapai kereta kuda Kekaisaran Tang, salah satu tirai terbuka, menampilkan Pangeran Tang di baliknya. Dia memakai jubah kuning cerah dengan mantel bulu kuning yang disampirkan di bahunya. Dia melangkah turun dari keretanya dan melangkah maju, mengangkat tinggi kepalanya. Jika bukan karena wajahnya yang memar, dia akan terlihat sempurna.     

Wajah semua orang, termasuk Zhao Che dan Chu Qiao, meringis saat melihat sang Pangeran. Pemandangan ini juga membuat para utusan dari Kekaisaran Tang ikut sedih. Tidak ada yang menyangka sang Pangeran akan hadir di depan umum dalam keadaan seperti itu!     

Zhao Qi yang malang beserta para pejabat dari Kekaisaran Xia, semua orang tidak siap untuk ini. Mereka semua tertegun dan bingung, tidak yakin apa yang harus dilakukan. Namun, untungnya bagi mereka, para tetua dari istana juga hadir dan bisa mengatasi keadaan ini. Tetua dari keluarga Wei, Wei Guang, membungkuk dalam sambil berkata, "Kami sudah mendengar kalau Pangeran Li Ce sangat berbakat dan berkepribadian romantis serta berpenampilan tampan. Sekarang akhirnya saya mendapat kehormatan untuk melihat sang Pangeran, anda memang benar bersinar, lebih terang dari bulan dan bintang."     

Begitu Wei Guang menyelesaikan kalimatnya, semua orang terburu-buru bersujud, dan para pejabat sipil membuat syair untuk sang Pangeran, memujinya seakan dia yang terbaik di dunia, pria paling tampan yang pernah berjalan di atas Bumi. Namun, para pejabat militer tidak sepandai itu dengan kata-kata mereka; mereka hanya memberinya acungan jempol sambil memujinya dengan kata-kata mereka yang terbatas: Ganteng, tampan, indah.     

Li Ce tertawa bahagia tetapi mulai teriak kesakitan karena luka di sudut mulutnya sakit. Dia melambai kepada para pejabat dan berkata, "Terima kasih, terima kasih." Dia menerima pujian itu dengan sepenuh hati. Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan Kaisar dan Permaisuri dari Kekaisaran Tang bila mereka ada di sini.     

Setelah menggunakan berbagai cara untuk memaksa anak kesayangan Kaisar Tang itu kembali ke dalam kereta, akhirnya mereka melanjutkan perjalanan. Terompet dimainkan sepanjang jalan saat mereka berbaris dengan megah menuju Kota Zhen Huang. Siapa yang menyangka, baru berjalan beberapa langkah, Pangeran Li Ce berkomentar, "Mengapa irama ini terdengar seperti aku sedang pergi berperang?"     

Zhao Qi tertegun dan diam-diam dia lega bahwa dia tidak perlu menemui Pangeran Tang ini lagi. Lagu terompet ini dibuat khusus untuk acara semacam ini, ada lagu yang digunakan saat pergi berperang, ada yang untuk menunjukkan penaklukan yang berhasil, dan lagu yang hanya digunakan saat sang Kaisar pergi. Untuk menyambut tamu kehormatan, ada lagu-lagu yang dimainkan sesuai dengan pangkat mereka. Semua hal sudah sesuai aturan, mengapa Kekaisaran Tang masih tidak senang?     

Setelah setengah jam bernegosiasi, Kekaisaran Xia tidak memiliki pilihan selain mengalah. Beberapa saat kemudian, musik yang ramai mulai dimainkan. Tenggelam dalam alunan nada yang dimainkan para wanita muda dalam pakaian berwarna cerah, pasukan akhirnya mulai bergerak lagi. Li Ce tampaknya tidak peduli mengenai luka di mukanya, karena dia berulang kali membuka tirai keretanya, melambai ke warga sambil tersenyum, tampak ramah dan mudah didekati.     

Chu Qiao mendesah diam-diam sambil menunggangi kudanya, mengikuti batalion Pasukan Kavaleri Pemberani saat mereka mengantar Pangeran Li Ce sampai ke Istana Sheng Jin.     

Zhao Che dan Wakil Komandan Cheng mengikuti sang Pangeran ke dalam istana sementara Chu Qiao dan pasukan kembali ke markas. Saat mereka mencapai gerbang, mereka melihat elang hitam terbang tinggi di atas mereka. Salah satu pemanah melihatnya sambil mengeluarkan busurnya dan berusaha menembak jatuh burung itu. Namun, sebuah panah lain ditembakkan ke arah panah tadi, menangkis panah dari elang itu.     

Melihat itu, si elang mulai menjadi sombong dan memekik kencang, memutari mereka beberapa kali sebelum akhirnya terbang pergi.     

"Pelatih Chu! Mengapa anda menangkis panah saya?"     

Chu Qiao menatap dingin ke arah prajurit itu sambil mencibir ke arahnya, lalu menunggang kudanya masuk kamp.     

Setelah bekerja keras beberapa hari, akhirnya tiba waktu untuk beristirahat. Ketika semua orang kembali ke kamp, selain penjaga di pos jaga, mereka semua tertidur pulas. Dengan memakai pakaian biasa, Chu Qiao menyelinap keluar melalui gerbang samping.     

Cuaca sudah mulai hangat dan Danau Chu Shui sudah mencair. Melihat dari kejauhan, seorang pria yang tinggi dan anggun, memakai jubah putih, sedang berdiri di tepi danau, ia tampak berwibawa saat angin bertiup melewatinya.     

Chu Qiao maju dan tersenyum, "Untuk siapa kamu bergaya?"     

Yan Xun membalik badan dan tersenyum lembut, melihat Chu Qiao dari atas sampai ke bawah, lalu ia berkata, "Apakah kamu takut?"     

"Tidak." Gadis itu tersenyum dengan licik.     

"Keras kepala." Yan Xun tertawa dan melanjutkan, "Seluruh ibu kota sudah tahu mengenai itu, kamu sudah menjadi orang terkenal sekarang."     

Chu Qiao terkejut, "Semua orang di ibu kota tahu? Tidak ada yang melaporkannya?"     

"Zhao Che bilang dia tidak melihatmu memukul siapapun dan seluruh pasukan kavaleri mendukung cerita itu. Bahkan Pangeran Tang tidak mengakui kalau kamu memukulnya, bersikeras kalau dia jatuh sendiri. Bahkan korbannya pun tidak mempermasalahkan, apa yang bisa dilakukan sang Kaisar?"     

Chu Qiao menutupi tawanya dan berkata, "Kalau tahu akan begini, seharusnya aku memukulinya lebih keras lagi."     

"AhChu, apakah kamu terbiasa dengan kehidupan tentara?"     

"Tidak masalah," kata Chu Qiao sambil mengangguk. "Zhao Che masih belum memercayai aku. Aku sudah mengujinya beberapa kali, tetapi tidak terlalu parah. Semuanya masih terkendali."     

Yan Xun mengangguk pelan dan mengatakan, "Baik. Kamu harus berhati-hati. Kalau ada hal yang memang tidak dimaksudkan untuk terjadi, jangan memaksakannya."     

"Aku tahu. Jangan khawatir."     

"Kalau begitu aku tidak akan mengganggumu lebih lama lagi. Token[1] ini untuk membuat orang dari serikat Da Tong bekerja untukmu. Mungkin kamu memerlukannya saat kamu di luar."     

Chu Qiao memegang potongan kayu bergaya kuno. Di atasnya, ada ukiran elang besar, dengan kata "Tong" terukir di baliknya.     

"Aku pergi dahulu."     

"Yan Xun!" Pria itu berbalik dan melihatnya dengan tatapan bingung. Chu Qiao sendiri juga terkejut karena dia lepas kendali. Dia tersenyum malu-malu dan berkata, "Berhati-hatilah di jalan."     

Yan Xun tertawa, senyumnya selembut semilir angin musim semi. Dia memacu kudanya pergi dengan jubahnya berkibar di tengah angin.     

Chu Qiao berdiri diam untuk sejenak sambil mengawasinya menghilang di kaki langit. Lalu ia melangkah perlahan kembali ke perkemahan.     

Yan Xun menghentikan kudanya dan melompat turun. Lalu berkata dengan nada mendalam kepada orang yang mendekat, "Apa yang terjadi?"     

AhJing buru-buru menjawab, "Wei Jing semalam mengirim orangnya untuk mencari informasi mengenai Nona yang memukuli Pangeran Tang. Mereka juga menyogok dua orang prajurit dari pasukan kavaleri untuk menjadi saksi. Sekarang mereka sedang bergegas menuju Istana Sheng Jin."     

"Wei Jing?" Kata Yan Xun sambil berhenti. Pandangannya berubah dingin dan dia berkata, "Kabari Kelompok Malam, biar mereka yang mengurus ini."     

AhJing terkejut dan bergumam, "Pangeran, apa maksud anda?"     

"Bunuh Wei Jing." Pandangan pria itu dalam sekejap berubah menjadi ganas. Bagaikan serigala. Tidak ada setetes pun kelembutan yang tersisa saat dia berkata dengan nada bengis, "Dia sudah hidup cukup lama."     

Sudah larut malam tetapi Istana Sheng Jin masih dipenuhi suara musik. Bulan yang dingin menggantung tinggi di langit, memancarkan cahaya yang menyedihkan. Walaupun Kota Zhen Huang tidak ada aturan jam malam, namun setelah melewati Lapangan Zi Wei, sudah termasuk wilayah istana yang dijaga ketat. Di sana sunyi senyap, terutama pada waktu selarut ini, hampir tidak ada orang yang berjalan di sini. Sedangkan orang-orang yang masih bisa berjalan di daerah ini, tentunya bukan orang sembarangan.     

Lebih dari 100 pasukan kavaleri berkumpul dan membentuk formasi segitiga, di mana lebih banyak pasukan di sisi depan dan semakin sempit di belakang. Jalanan yang panjang itu sangat sunyi dan hanya terdengar suara kaki kuda. Dalam kesunyian tersebut, suara ini terdengar nyaring dan jernih. Baju besi para prajurit semakin lama semakin dingin saat mereka melangkah perlahan menyusuri tembok kota. Lebih dari 15 menit berlalu, mereka bahkan belum sampai jalan utama yang menuju ke istana.     

Sebagian besar pasukan kavaleri berkumpul di tengah formasi dengan pengawal di bagian belakang mengangkat tinggi perisai mereka. Ada dua lentera di sisi depan dan belakang formasi. Sedangkan di tengah formasi, gelap total. Tidak ada yang bisa melihat apa yang sedang terjadi, namun mereka bisa tahu bahwa formasi ini mengawal seseorang yang penting.     

Pasukan di barisan depan memegang senjata tajam seperti pedang dan tombak, bersiap untuk menyerang dan bertahan. Di sisi kanan dan kiri formasi, ada 20 orang pasukan kavaleri, membentuk tembok pertahanan, bersenjatakan pedang. Mereka memakai baju besi tebal untuk perlindungan. Baju besi mereka memantulkan kilap keperakan; dengan sekali lihat, orang akan tahu bahwa itu adalah baju besi yang dibuat di wilayah barat. Bahkan jika seorang pemanah menembak mereka dengan panah biasa dari tembok tinggi, tidak akan mengganggu mereka.     

Dengan pertahanan seketat itu, bisa dibilang air pun tidak akan bocor keluar. Sejak kematian misterius Muhe Xifeng dari klan Muhe, para bangsawan di dalam ibu kota cemas akan keselamatan mereka, mereka menjadi sangat panik. Wei Jing juga mulai menghargai nyawanya sendiri, dengan iringan berbaju besi di sisinya ke mana pun dia pergi.     

Embusan angin dingin membawa naik salju di tanah, membuat suasana menjadi semakin tegang dan dingin.     

"Tuan Muda Kedua," seorang pelayan mendekat di atas kudanya sambil berkata dengan nada mendalam, "kita akan tiba di sisi utara Gerbang Yuan An sebentar lagi. Kita akan menyelinap masuk diam-diam; kepala kediaman tidak akan menyadari keberadaan kita. Kasim Qin sudah menunggu kedatangan kita di depan Gerbang Istana. Asalkan laporan sudah kita serahkan ke atas, Pangeran Yan dan wanita itu tidak akan bisa melarikan diri."     

Wei Jing mengangguk dingin, pandangannya ganas dan haus darah bagai serigala. Ujung mulutnya melengkung dan membentuk seringai licik yang suram.     

Tinggi di atas langit, awan mulai berkumpul, membuatnya menjadi malam tanpa bulan atau pun bintang.     

Pria di dalam kegelapan itu memakai pakaian yang juga berwarna gelap. Matanya menyipit saat dia bertengger di atas tembok istana yang tinggi. Embusan dingin bertiup melewati tubuhnya yang ramping, membuat sosoknya terlihat sombong dan kesepian, memisahkannya dari orang-orang biasa. 30 pria berbaju hitam terlihat di kedua sisi, berjongkok atau berbaring di atas tanah sambil bersembunyi di dalam bayangan, menunggu saat mereka tiba.     

Tiba-tiba, lagu istana yang menggelegar dimainkan, dengan sesekali terdengar lonceng dan genderang. Pria itu tahu waktunya sudah tiba; para pemusik sudah mulai menutupi operasi mereka. Mereka hanya punya waktu 15 menit.     

Suara teriakan keras menembus langit, memecah keheningan malam, merusak suara kaki kuda yang seragam. Pasukan Wei terkejut, melihat bayangan di sekeliling mereka dengan panik.     

Saat ini, panah-panah melesat di udara, saat 30 busur silang dari atas tembok ditembakkan serentak. Panah-panah itu mengkilap saat mereka melesat, membidik para kuda, alih-alih para prajurit. Kuda perang meringkik kesakitan dan mengangkat tinggi kaki mereka, membuat pasukan jatuh dari kuda-kuda mereka. Teriakan kesakitan memenuhi udara. Wei Jing dilindungi dengan aman di tengah dan dia meraung dengan marah dan bingung, "Siapa kalian?"     

Pria di dalam kegelapan itu menyeringai sambil mengangkat busur silang emasnya, melepaskan sebuah panah lagi. Sebelum panah itu mencapai sasaran, dia melompat turun dari tembok dengan cepat, para rekannya mengikutinya. Lalu dia mengeluarkan kait di tangannya saat dia melayang di udara, mendarat dengan stabil di atas tanah. Dengan satu sabetan, pria itu menusukkan pedangnya ke seorang prajurit berbaju besi. Prajurit lain bergegas maju sambil mengangkat pedangnya. Baru berjalan satu langkah, panah emas tadi mencapai sasarannya, menembus tepat di tenggorokannya.     

Suara teriakan mengenaskan menggema di Jalan Zi Wei.     

Mengikuti di belakang, para dewa kematian yang bersembunyi di atas tembok melompat turun ke tanah, bergegas menuju sasaran mereka.     

Hampir setengah pasukan Wei Jing sudah tewas, dengan kuda-kuda mereka berteriak kesakitan, menghentakkan kaki mereka dalam kepanikan. Banyak yang terluka oleh panah dan terlempar ke tanah, tewas di bawah serbuan kaki-kaki kuda. Formasi sudah berantakan; iring-iringan lapis baja dari 100 pengawal tampaknya akan segera runtuh.     

"Wei pengkhianat! Kamu sudah memfitnah pejabat setia dan melindungi para pembangkang, berusaha menggulingkan tahta, sekarang Muhe Xike akan melaksanakan keinginan Tuhan untuk mencabut nyawamu! Matilah kau!"     

Dari kejauhan, suara kaki kuda terdengar; Wei Jing tahu kalau Pengawal Kekaisaran sedang bergegas kemari. Dia menenangkan diri dan membentak, "Muhe pengkhianat, kamu mencari mati, majulah kalau kau berani!"     

[1] Benda kecil yang memiliki lambang perkumpulan, klan atau keluarga, digunakan sebagai bukti jabatan atau keanggotaan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.