Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 89



Bab 89

0"Chun Er," pangeran itu berbisik. Dia sudah bukan pangeran yang tampan dan ceria dari masa lalu, namun lebih terlihat seperti orang tua sekarang. Dia menggenggam lengan adiknya dengan erat, dan melanjutkan, "Kakak sudah mengecewakanmu."     
0

Zhao Chun Er tetap diam, menggeleng dengan keras. Air mata yang ia tahan selama perjalanan akhirnya tumpah, menetes ke kanan dan kiri saat dia menggeleng.     

Chu Qiao perlahan berdiri, tidak ada yang menyadari ataupun melihat ke arahnya. Di dalam keadaan ini, bayangannya terasa semakin tidak berarti. Tak bisa disangkal dia bertanggung jawab atas keadaan hari ini, karena dia yang mengatur hukuman mati untuk kesepuluh pria itu. Gadis muda ini berbalik badan dan mengambil pedangnya dari atas tanah. Dia mengambil sepotong tikar yang sobek dan berjalan keluar dari pintu.     

Pintu depan tertutup dengan berderit. Hujan tumpah dengan deras. Ditambah lagi dengan angin yang dingin, cuaca sangat keras dan tidak bersahabat.     

Dengan menggunakan tikar itu sebagai payung, dia berlari cepat ke kandang kuda. Saat melihatnya, kuda perang hitam itu meringkik senang, menggerakkan kepalanya maju mundur. Chu Qiao mengibaskan air hujan di tubuhnya. Dia tertawa dan berjalan ke arah kuda itu, menepuk-nepuk lehernya dan berkata, "Kamu masih tetap mau menerimaku, betul?"     

Kuda itu tidak mengerti kata-katanya. Namun, karena pemiliknya terlihat bersahabat, ia menggeleng bahagia.     

"Aku hanya bisa mengandalkanmu malam ini." Chu Qiao tersenyum dan bersandar pada kuda itu, lalu duduk. Kuda itu menempel padanya, menggunakan lehernya untuk mengelus lengan Chu Qiao.     

Di saat itu, sesuatu terjatuh keluar dari kantong di punggung kuda, membuat suara berdentum kecil. Chu Qiao mengambilnya dan mengamatinya, lalu sadar bahwa ternyata itu sebuah botol kecil arak. Dia sudah bertahun-tahun tidak minum. Namun, saat dia berpisah dengan pasukan Garnisun Utusan Barat Daya, secara tidak sadar dia mengambil satu botol arak dari He Xiao.     

Badai di luar terus mengamuk, semakin deras. Langit berubah menjadi semakin kelabu, menghalangi matahari yang terbit. Di dalam rumah itu terasa hangat, dengan perapian yang menyala. Api itu memancarkan bayangan kedua kakak beradik itu di jendela.     

Gadis muda itu duduk di kandang kuda. Dia menjulurkan sebelah kaki dan bersandar pada kudanya. Ia memegang pedangnya di satu tangan, dan botol arak di tangan satunya. Dia mengangkat kepalanya dan menenggak arak itu. Saat arak itu mengalir turun di tenggorokannya, ia merasa terbakar. Tiba-tiba ia terbatuk parah, seperti akan memuntahkan paru-parunya. Kuda perang itu terkejut dan melihat ke arahnya. Sambil terus terbatuk, Chu Qiao menepuk-nepuk leher kuda itu, dan berkata, "Aku tidak apa-apa …. Aku tidak apa …." Dan ia tertawa, air mata mengalir turun di sudut matanya. Bagaikan sungai, air mata mengalir turun di wajahnya, jalurnya berubah-ubah karena pergerakannya saat terbatuk parah. Hujan deras tidak terlihat akan berhenti. Bayangan gadis muda itu terlihat mungil dan ramping, dan sangat kesepian.     

Saat subuh merekah, hujan deras itu akhirnya berhenti. Matahari terbit di balik lapisan kabut, sebelum akhirnya menghilang dari pandangan lagi. Chu Qiao memberi makan kuda-kuda dan berjalan ke pintu. Dia mengetuk perlahan, dan dengan suara serak, ia berkata, "Apakah kalian berdua sudah bangun? Kita harus melanjutkan perjalanan kita."     

Terdengar suara dari dalam rumah. Chu Qiao berdiri di samping, menunggu dengan sabar. Setelah sejenak, pintu kayu terbuka dengan berderit. Zhao Chun Er berdiri di samping pintu, dengan wajah dingin. Namun, kata-katanya terdengar tenang. "Kakak Ketiga Belas ingin kamu masuk."     

Chu Qiao mengangguk dan mengikuti di belakang Zhao Chun Er memasuki rumah itu. Zhao Song sedang duduk di antara tumpukan jerami. Rambutnya sudah disisir rapi oleh Zhao Chun Er. Dia sudah bercukur bersih dan terlihat jauh lebih segar. Kalau bukan karena lengan baju kosong yang menggantung di udara, Chu Qiao akan mengira semua itu hanya mimpi buruk.     

"Silakan pergi." Zhao Song menatap dingin ke arahnya. Kata-katanya terdengar tenang, namun memancarkan aura yang memusuhi. "Aku tidak ingin melihatmu lagi."     

Chu Qiao sudah menduga hal ini akan terjadi, dan tidak terkejut. Mengimbangi nada tenang pria itu, ia menjawab, "Aku akan membawa kalian berdua pulang. Perjalanan pulang ke Zhen Huang sangat jauh, aku tidak tenang kalau meninggalkan kalian sendirian."     

Zhao Song mengangkat alisnya dan melihat ke Chu Qiao. "Kami hidup atau mati, apa urusannya denganmu?"     

Chu Qiao tiba-tiba merasakan gelombang kesedihan yang menyakitkan. Menarik napas dalam, dia melanjutkan, "Tempat ini sudah hancur karena perang. Ada bandit di mana-mana. Berbagai tuan tanah sedang mengawasi keadaan, dan memperkuat kekuatan militer mereka. Saat ini, kekuatan keluarga kekaisaran sudah tidak bisa menekan mereka lagi. Sebelum kalian berdua tiba di Zhen Huang, kalian tidak boleh mengungkapkan identitas kalian. Ke arah barat, para bandit berkumpul dekat tepi sungai. Kamu …."     

"Cukup," Zhao Song memotongnya dengan tidak sabar. "Kubilang, hidup matinya kami apa urusannya denganmu?"     

Hati Chu Qiao terasa berat. Dia menarik napas dalam lagi, dan hanya bisa berbisik setelah cukup lama, "Zhao Song, aku tahu kamu membenciku. Aku tahu bahwa walau melakukan ini, aku tidak akan bisa memperbaiki apapun. Namun, aku tidak bisa membiarkan kalian mati begitu saja."     

Zhao Song tersenyum dingin, mengangkat alisnya dan melihat ke Chu Qiao. "AhChu, tahukah kamu, apa yang paling aku suka darimu di masa lalu?"     

Chu Qiao tertegun. Dia mendongak, dan mendengar Zhao Song mengoceh perlahan, dengan jelas. "Aku suka kamu seperti sekarang. Kamu selalu begitu percaya diri, tidak peduli status, identitas ataupun kesulitanmu. Kamu tidak akan merendahkan dirimu, ataupun mengasihani dirimu sendiri. Kamu tidak pernah kehilangan harapan, selalu mempertahankan keyakinan itu, selalu percaya kemampuanmu sendiri. Namun," Pandangan Zhao Song menjadi hitam, dan melanjutkan lagi, "Aku sangat membenci dirimu yang sekarang—sombong dan egois, selalu mengaku kamu sedang menyelamatkan orang-orang. Kamu pikir kamu siapa? Berbuat baik? Memperbaiki kesalahan? Atau mau berbuat sedikit kebajikan sebelum kamu pulang ke binatang itu dengan tenang, dan melanjutkan hidupmu?"     

Chu Qiao menggeleng dan menggigit bibir bawahnya, berusaha menjelaskan. "Zhao Song, aku …."     

"Pergi! Jangan sampai aku melihatmu lagi!" Zhao Song mengamuk. "Aku sudah bilang sebelumnya, kita sudah putus hubungan. Jika kita bertemu lagi, salah satu dari kita akan mati. Mengkhianati kekaisaran, membunuh orang tak bersalah, kamu tidak bisa memperbaikinya bahkan jika kamu mati seratus kali!"     

"Zhao Song …."     

"Pergi!" Zhao Song sangat marah.     

Chu Qiao tetap berdiri di tempat, tangan kakinya gemetaran hebat. Dia menegakkan punggungnya, lalu melanjutkan, "Zhao Song, aku akan pergi kalau kalian berdua sudah memasuki Zhen Huang. Bahkan jika kamu tidak memerlukanku, masih ada tuan putri. Perjalanan ini sangat berat. Aku yakin kamu tidak ingin hal yang sama terulang pada sang putri lagi."     

Saat mendengar kata-kata ini, tubuh Zhao Chun Er menjadi kaku. Zhao Song menoleh ke Zhao Chun Er, berkata dengan tetap keras kepala, "Aku akan melindungi adikku. Itu bukan urusanmu."     

"Kakak Ketiga Belas …."     

"Jangan bilang kalau kamu seorang pengecut, sampai-sampai kamu perlu musuh untuk melindungimu?" Zhao Song berteriak saat Zhao Chun Er baru membuka mulut. Gadis itu melihat Chu Qiao dengan bingung, menggigit bibir bawahnya, dan tetap diam.     

Satu jam kemudian, Chu Qiao melihat kereta kuda Zhao Song dan Zhao Chun Er menghilang di kejauhan. Di saat ini, ia tiba-tiba merasa sangat letih. Malam penuh badai sudah membuatnya agak demam; dia sudah kesulitan untuk berdiri. Namun, saat matahari kembali muncul di langit, dia menggertakkan giginya dan menaiki kuda perangnya, mengejar kereta kuda itu.     

Sejak hari itu, dia mengikuti kereta kuda Zhao Song dengan hati-hati. Karena dia tidak bisa mengarahkan jalan mereka, dia hanya bisa membersihkan jalan untuk mereka di malam hari. Saat dia menemui bandit, dia akan mengusir mereka. Namun untuk bandit-bandit yang lebih berani, dia akan memancing mereka menjauh. Pada siang hari, dia akan mengikuti mereka diam-diam. Karena kudanya lincah, dia tidak ketahuan. Namun, setelah empat hari, karena terlalu lelah dan bertahan tanpa makanan, dia jatuh sakit.     

Ketika dia terbangun, di luar masih hujan. Dia terbaring di dalam gubuk reyot, dan melihat Zhao Chun Er yang memakai pakaian biasa dan memegang sebuah mangkuk dengan dua potong ransum kering.     

"Makanlah. Kalau kamu mati, siapa yang akan mengawal kami pulang?" tuan putri dari keluarga Zhao itu berkata dengan tenang, dan melihatnya dari atas. Dia meletakkan mangkuk itu di tanah dan berbalik pergi.     

Air berlumpur terpercik di wajah Chu Qiao, menyerupai bekas luka yang sudah mengering. Dia terus menatap saat bayangan Zhao Chun Er menghilang di tengah hujan. Tanpa disadari, dia merasakan kehangatan di matanya.     

Tujuh hari kemudian, Kota Zhen Huang yang megah muncul di tengah kabut pagi. Kota itu, yang terletak di sisi utara benua Meng Barat, dan sudah menghadapi 300 tahun perang dan konflik, menjulang tinggi di tengah dataran Hong Chuan. Terlihat menyerupai singa yang tertidur. Melihat kota di mana dia pernah tinggal selama delapan tahun, Chu Qiao tiba-tiba merasa lelah dan emosional.     

Saat dia memutar kudanya menuju barat laut, bersiap untuk pergi, terdengar suara kaki kuda dari belakangnya. Chu Qiao dengan tenang menatap balik orang di hadapannya, tetap diam.     

"Kamu sudah mau pergi?" Zhao Song bertanya.     

"Betul."     

"Kamu kembali ke sana untuk mencari dia?"     

"Betul."     

"Apakah kamu akan kembali kemari?"     

"Aku tidak tahu. Mungkin, mungkin juga tidak."     

"Haha," Zhao Song tiba-tiba tertawa lebar. Lengan baju yang kosong, tempat tangannya dahulu pernah ada, berkibar di tengah angin. Dia terlihat seperti layangan yang kehilangan setengah sayapnya. "Lihatlah, aku masih tetap seorang pengecut!"     

"Zhao Song," Chu Qiao berkata dengan suara rendah, "terima kasih karena sudah menemuiku untuk terakhir kalinya."     

Zhao Song tertawa getir. "Kamu bisa mengawalku menempuh perjalanan sejauh itu. Apakah aku begitu picik dan tidak mau datang dan menyampaikan salamku?" Angin menerbangkan pasir kuning di sekeliling. Zhao Song memakai pakaian coklat yang polos, namun dia masih memiliki pembawaan seorang pangeran kekaisaran. Rambut pria itu tertiup angin. Dengan nada dingin, dia berkata perlahan, "Namun, kali ini benar-benar yang terakhir kali. Jika kita bertemu lagi, tidak akan ada perasaan di antara kita. Aku tidak akan menunjukkan belas kasihan padamu."     

Chu Qiao menggeleng kepalanya perlahan, dan menjawab, "Aku tidak akan membunuhmu."     

"Itu masalahmu," Zhao Song berkata dengan dingin. "Semua orang yang mengkhianati kekaisaran sudah ditakdirkan untuk mati."     

Saat mendengar kata-kata itu, Chu Qiao mengangkat alisnya, merengut dan berkata perlahan, kata demi kata, "Zhao Song, apa sebenarnya kekaisaran itu?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.