Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 62



Bab 62

0Saat itu, sebuah jaring besar mendadak jatuh dari langit, menangkap Wei Jing di dalamnya. Empat orang berbaju hitam melompat turun ke tanah, bertukar tempat sambil mengencangkan jaring. Setelah itu mereka melemparkan kait dan melompat ke atas tembok, pergi dengan mencolok.     
0

Saat peluit panjang terdengar, orang-orang berbaju hitam dipanggil mundur kembali ke markas. Walaupun mereka sedang di atas angin, mereka mundur tanpa ragu. Meninggalkan senjata mereka berserakan, dan dua orang di antaranya membawa ember kayu, menuangkan cairan di dalamnya ke lantai. Tanpa berbalik badan, mereka melemparkan korek api yang sudah dinyalakan ke tanah sambil melompat ke pinggiran kota, menghilang di antara gedung-gedung. Semua itu terjadi dalam sekejap mata.     

Seluruh operasi memakan waktu kurang dari 15 menit. Semuanya kembali seperti biasa. Di Istana Sheng Jin, musik yang memekakkan telinga terus mengalun dan mereka tenggelam dalam lagu dan tarian. Pengawal Kekaisaran yang tiba di sana, disambut oleh lautan api dan para pasukan Wei yang mengerang kesakitan. Ini adalah buntut dari serangan yang efisien dan tidak kenal belas kasihan.     

"Tuan Wei telah diculik! Cepat! Laporkan kepada Dewan Tetua Agung! Sisanya, ikuti saya, kita akan mengejar mereka!"     

Saat para Pengawal Kekaisaran memulai pengejaran mereka ke pinggiran kota, sekelompok pria berbaju hitam justru bergegas masuk ke dalam Tanah Kekaisaran tanpa keraguan. Di dalam Hutan Song Bo di sisi jalan utama, lebih dari sepuluh orang pengawal berbaju biru kehijauan mengelilingi sebuah kereta kuda dengan diam. Beberapa orang bergegas ke arah kereta kuda itu dan melemparkan Wei Jing, yang terikat di dalam jaring, ke depannya.     

"Kamu…" Saat Wei Jing mau berbicara, terdengar suara benturan. Salah satu mengawal menendang mulutnya, merontokkan giginya. Wei Jing mengerang dan tidak berbicara lagi.     

Dua orang pengawal berbaju biru kehijauan bergegas maju dan mengikatnya dengan kencang, menyumbat mulutnya dan mengamankan anggota tubuhnya. Setelah itu, mereka melemparnya ke dalam kompartemen[1] di bawah kereta kuda, yang seharusnya untuk kayu bakar. Pimpinan pasukan berbaju hitam melompat naik kereta kuda sambil melepaskan pakaian hitamnya, menampilkan jubah putih di dalamnya. Saat dia melepaskan topengnya, muncul wajah tampan dan tatapan yang tajam.     

Para pria berbaju hitam lainnya juga berganti pakaian menjadi seragam biru kehijauan para pengawal. "Pangeran," salah satu dari mereka mendekat sambil membawa penghangat di tangannya, lalu berkata dengan hormat, "Ini bisa menghangatkan anda."     

Yan Xun mengangguk dan menerima penghangat itu darinya, lalu menarik turun tirai. Dia mengambil pakaian hitam yang tadi dia pakai dan melemparkannya ke dalam kereta lalu dia melambaikan tangan kepada para pengawal. Dengan itu, rombongan mulai bergerak perlahan menuju Istana Terlarang.     

Suara kaki kuda menggemuruh tiba-tiba terdengar dari belakang mereka, dan salah satu pengawal berteriak, "Siapa di sana? Mengapa kamu memacu kencang di dalam istana pada malam hari, apa kamu sudah bosan hidup?"     

Pria itu terkejut. Setelah dia memperhatikan, dia buru-buru menjawab, "Oh, ternyata Pangeran Yan. Tuan Kedua Wei disergap di Jalan Zi Wei, saya diberi perintah untuk bergegas ke istana dan melaporkan ini kepada Yang Mulia."     

"Disergap?" Tirai kereta kuda ditarik menyamping dan Yan Xun mengerutkan keningnya. "Apakah kalian sudah menangkap pelakunya? Di mana Tuan Kedua Wei? Apakah dia terluka?"     

"Pangeran Yan, pelakunya masih dalam pelarian. Mereka kabur ke arah pinggiran kota, Jenderal Lu saat ini sedang mengejar mereka. Tuan Kedua Wei sudah diculik. Tidak ada yang tahu apakah dia masih hidup atau sudah meninggal."     

Yan Xun mengangguk dan berkata, "Cepat laporkan ini."     

"Betul."     

Kuda itu berpacu menjauh dan Yan Xun kembali ke dalam keretanya dan berkata, "Lanjutkan ke Istana Lu Hua."     

Saat dia turun dari kereta kudanya, dia melihat Wei Guang memimpin keluarga Wei dan beberapa pejabat lainnya bergegas keluar dari Istana Lu Hua. Mereka melompat ke atas tunggangan masing-masing dan memacu cepat keluar dari istana.     

Memakai mantel bulu putih, Yan Xun terlihat sangat tampan. Dia baru memasuki Istana itu setelah keluarga Wei dan rombongannya pergi.     

Kaisar Xia sudah meninggalkan Istana, menyisakan Zhao Qi yang panik untuk mengendalikan seluruh keadaan. Pelayan istana yang berpakaian cerah sedang menghidangkan makanan untuk mereka sementara para pemusik kekaisaran memainkan musik yang merdu dan menenangkan dari sudut istana.     

Pangeran Li Ce memakai jubah ungu tua dengan sulaman naga. Dia sedang mengobrol dengan bahagia dengan orang-orang di sekelilingnya, bersulang dengan siapapun yang mengangkat gelas mereka untuknya, terlihat tidak mabuk sama sekali. Kalau bukan karena wajahnya yang memar, ini akan menjadi pemandangan yang menakjubkan. Suasana di dalam pesta sangat hangat dan para pejabat sudah minum cukup banyak. Mereka sangat gembira dan bersulang dengan semua orang.     

Yan Xun berjalan menuju mejanya dengan diam. Sambil menyeringai, dia perlahan menengadah ke arah wajah Pangeran Li Ce yang memar dan lebam. Mengangkat cangkirnya, dia menggeleng dan tertawa kecil.     

"Kenapa kamu lama sekali?" Zhao Chun Er sedang memakai baju merah muda dengan sulaman kupu-kupu serta gaun panjang berwarna ungu keemasan. Dia memakai aksesori mutiara dan giok di seluruh tubuh, sungguh menawan.     

Yan Xun mendongak saat dia melihat gadis itu berjalan menujunya. Dia tersenyum dan berkata santai, "Tadi saya tidur siang sebentar."     

"Kukira kamu tidak akan datang!" Tatapan Zhao Chun Er bagai air saat dia melotot ke arah Pangeran Li Ce yang duduk di seberangnya. Dia merengut dan berkata, "Orang itu tadi menanyakan nama gadisku. Tidak sopan sekali!"     

Yan Xun tersenyum lembut sambil meminum secangkir arak lagi. Dia tidak berkata apapun.     

Zhao Chun Er terlihat seperti terpesona oleh Yan Xun, mengabaikan kenyataan bahwa Yan Xun bersikap sangat dingin terhadapnya. Setelah sejenak, mendadak dia menyadari kebodohannya. Wajahnya merona dan dia menarik-narik pakaiannya sendiri. Dia bertanya, "Lihat, ini adalah upeti baru dari Wilayah Baru. Cantik bukan?"     

Yan Xun tertegun dan teringat kejadian di danau Chi Shui. Tatapan Chu Qiao yang ceria saat terburu-buru memanggil nama Yan Xun. Dengan malu-malu, ia berkata, "berhati-hatilah di jalan." Wajah Yan Xun seketika itu melembut dan dia berkata dengan tulus, "Sangat cantik."     

Zhao Chun Er langsung merasa senang karena ia mengira Yan Xun sedang membicarakan dirinya. Dengan bahagia dia duduk di samping Yan Xun, menuangkan arak dan mengambilkan makanan untuknya.     

Pasukan masuk ke dalam aula itu dari samping dan mengabari Zhao Qi perkembangan terakhir. Wajahnya berubah suram. Pejabat di dalam aula menyadari perubahan ini. Hanya saja Li Ce yang sudah mabuk terus menerus menarik lengan baju Zhao Qi sambil mengayunkan cangkir di tangannya, menumpahkan arak itu di tubuh Zhao Qi.     

Sampai pukul dua dini hari baru pesta itu berakhir. Saat itu, Li Ce sudah sangat mabuk, tertidur di atas meja dengan makanan di seluruh tubuhnya. Zhao Qi tidak kembali ke Istana Terlarang. Dia berjalan menuju kudanya dan langsung memacu ke luar dari kota. Yan Xun berdiri di lapangan yang gelap sambil memandangi sosok Zhao Qi menghilang ke dalam malam. Dia mulai menyeringai kepada dirinya sendiri.     

"Kakak Xun," Zhao Chun Er menarik lengan baju Yan Xun sambil berbisik, "Di sini dingin, bisakah kamu mengantarkan aku kembali ke istanaku?"     

Dengan hormat, Yan Xun melangkah mundur sambil membungkuk dan berkata, "Yan Xun sudah sedikit mabuk. Saya tidak berani mengganggu Tuan Putri. Sebaiknya Tuan Putri berjalan pulang sendiri," Setelah itu dia masuk ke dalam kereta kudanya.     

Saat kereta kuda menjauh, Zhao Chun Er berdiri diam di tempat semula. Pelayan istana segera mendekat dan memakaikan mantel bulu yang besar padanya. Mantel bulu merah tua itu tak sengaja jatuh ke lantai. Di atas tanah bersalju, terlihat sangat mencolok, bagaikan kolam darah.     

Zhao Chun Er menggigit bibirnya dan air mata mulai menggenang di matanya, ia berusaha keras menahan mereka agar tidak jatuh.     

"Tuan Putri?" Nenek Yu menghela napas sambil memegangi tangan sang Tuan Putri, dia melanjutkan, "Mari pergi."     

Zhao Chun Er mengangguk dengan patuh dan mengikuti Nenek Yu ke dalam kereta kudanya. Angin dingin berembus, membuat tetesan air mata mengalir turun dari pipinya menuju tanah pucat yang bersalju.     

Di dalam ruangan rahasia Lapangan Ying Ge, AhJing melepaskan penutup mata pria itu. Alis Wei Jing berkerut saat dia menyesuaikan diri dengan cahaya. Saat dia mendongak, mendadak dia melihat wajah pria yang tersenyum acuh tak acuh.     

"Yan Xun?" Mata Wei Jing membelalak saat dia berteriak tidak percaya. "Beraninya kamu!" Wei Jing mengamuk dan membentak.     

"Aku selalu berani sejak dahulu. Tuan Kedua Wei seharusnya tahu ini dengan baik."     

"Yan Xun, keluarga Wei tidak akan membiarkanmu lepas. Kamu akan mati tanpa kuburan!"     

Yan Xun tertawa seakan dia baru mendengar sebuah lelucon. Dia berkata dengan perlahan, "Aku tidak tahu apakah kelak aku akan mati tanpa kuburan, tetapi aku yakin kalau kamu akan mengalami itu."     

"Apakah kamu masih ingat?" Yan Xun memiringkan tubuhnya sedikit sambil tersenyum licik di wajahnya. Dengan nada yang menenangkan, dai berkata, "Aku sudah pernah bilang sebelumnya, kalau kamu tidak membunuhku di hari itu, suatu hari kamu akan mati di bawah pedangku. Kamu bisa memotong jariku dan aku akan memotong kepalamu."     

"Ah!" teriakan yang memekakkan telinga mendadak terdengar saat pedang tajam diayunkan. Tangan yang terputus jatuh ke tanah dalam kubangan darah. Beberapa tetes darah menciprati pergelangan tangan Yan Xun dan ia sedikit cemberut. Merasa terganggu, dia mengeluarkan saputangan putih dan mulai menggosok dengan kasar sambil memerintahkan anak buahnya dengan dingin, "Seret dia keluar dan penggal kepalanya."     

Wei Jing memberontak dengan buas sambil mengamuk, "Anj*ng Yan Bei, baj*ngan kamu! Pamanku tidak akan membiarkanmu hidup!"     

"Wei Guang?" Yan Xun tertawa dingin, "Dia sudah terlalu tua dan otaknya tidak terlalu berguna. Hanya keluarga Wei yang memperlakukannya bak dewa. Di dalam tengkorak busuknya, dia pasti masih menebak-nebak siapa yang melakukan ini. Wei Jing, kamu adalah orang bodoh!" Yan Xun menoleh diam sambil menatap Wei Jing dengan dingin. Dengan nada kesal, dia bergumam, "Awalnya, kamu masih punya waktu untuk hidup. Tetapi sayangnya kamu memilih untuk memancing kemurkaanku. Seharusnya kamu tidak mengancamku dengan orang yang aku sayangi. Apa kamu benar-benar berpikir kamu bisa menjatuhkanku? Betapa naifnya kamu! Sejak awal, kamu bukan apa-apa selain orang bodoh yang tak berguna. Di masa lalu kamu tidak berguna. Sekarang pun kamu masih tidak berguna. Dan kamu akan tetap tidak berguna. Sayangnya kamu tidak akan memiliki kesempatan untuk terus menjadi orang tidak berguna lagi." Sambil melempar saputangannya yang bernoda darah ke lantai, Yan Xun berbalik dan melangkah ke luar dari pintu. Dia memerintahkan, "Seret dia keluar!"     

Cacian marah dan teriakan panik terdengar di ruangan itu dan Yan Xun mengabaikan semua itu, berdiri tegak dan lurus. Dia sudah memulai pembalasan dendamnya. Semua orang yang pernah menghina atau pun menyakitinya akan membayar atas tindakan mereka. Mulai sekarang, dia tidak akan membiarkan orang lain menyakiti orang yang begitu berarti untuknya. Dia tidak akan membiarkan itu terjadi lagi!     

Bulan terasa dingin bagai es dan angin malam pun sama. Malam ini adalah malam tanpa tidur lagi. Hari berikutnya, seluruh Kota Zhen Huang menjadi cemas. Putra tertua keluarga Wei, Wei Jing telah disergap di malam sebelumnya. Pasukannya sebanyak seratus orang telah tewas dan Wei Jing telah diculik. Ketika Pengawal Kekaisaran tiba di tempat kejadian, tidak ada tanda-tanda dari pelakunya. Mereka juga tidak berhasil menemukan apapun setelah mencari semalaman. Banyak yang mengkhawatirkan hal terburuk. Karena Pengawal Kekaisaran sempat samar-samar mendengar teriakan Muhe Xike dari klan Muhe, pemeriksaan besar-besaran dilakukan terhadap klan Muhe.     

Saat ini, di dalam kamar tidur utama kediaman Wei, Wei Guang menyerahkan sebuah surat kepada pelayan kepercayaannya sambil berkata, "Ini harus sampai kepada Ye Er. Masa depan keluarga Wei bergantung pada ini. Yang Mulia sudah mulai bertindak kepada garis keturunan Wei. Jika ia tidak segera kembali, keluarga Wei akan menjadi klan Muhe selanjutnya."     

Lima ekor kuda melesat keluar dari gerbang kota, memacu ke arah Utara. Ketika AhJing datang untuk mengabari Yan Xun mengenai ini, dia sedang menikmati tehnya di beranda. Yan Xun tersenyum dingin dan berkata, "Akan semakin baik bila keadaan semakin kacau."     

Dengan kata-kata ini, AhJing merasa merinding di punggungnya. Dia sudah mengikuti Yan Xun selama tiga tahun, namun dia mulai menyadari kalau dia tidak bisa tahu apa yang sedang direncanakan Tuannya.     

Di halaman sekolah kamp kavaleri, gelombang tepuk tangan riuh bisa terdengar. Seorang gadis muda dengan senyum santai berdiri di tengah halaman, menembakkan tujuh panah sekaligus, mengenai sasaran yang sejauh 30 meter dari tempatnya berdiri.     

[1] Ruangan kecil yang disekat/dipisahkan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.