Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 166



Bab 166

0Saat ini, tepat delapan tahun dari Pertempuran Dataran Huo Lei. Disaksikan oleh seluruh Yan Bei, Kekaisaran Xia akhirnya membayar harga yang mahal untuk tindakan mereka di masa lalu. Pada malam di hari yang sama, pangeran keempat belas, Zhao Yang, bergegas menuju Bei Shuo. Setelah menggabungkan sisa Pasukan Barat Daya dengan pasukannya, dia mengirimkan setengah juta prajurit untuk mengepung kota Bei Shuo lagi.     
0

Sementara itu, di Provinsi Meng Lai, jauh di dalam wilayah Xia, Yan Xun akhirnya menerima elang pembawa pesan dari Nyonya Yu. Setelah membaca surat itu, dia menatap ke ibu kota kuno Zhen Huang, yang sudah tidak jauh lagi. Dia berdiri sendiri untuk waktu yang cukup lama. Akhirnya, dia kembali ke tenda utama dan mengeluarkan perintah yang mengejutkan semua orang, "Kita akan pulang malam ini untuk membantu Bei Shuo!"     

Saat kembali ke dalam Kota Bei Shuo, Chu Qiao diperlakukan seperti seorang pahlawan. Kecuali yang sedang giliran berjaga, semua tentara dan warga sipil di dalam Kota Bei Shuo berkumpul di gerbang kota. Untuk sesaat, kerumunan yang ramai itu bersorak gembira seakan-akan pertempuran Bei Shuo sudah mereka menangkan. Ketika Chu Qiao memasuki gerbang kota bersama Garnisun Utusan Barat Daya, kerumunan yang menyambut mereka hampir menginjak-injak pasukan. Lu Zhi, wakil komandan dari Pasukan Kedua, telah meninggal, jadi wakil komandan yang baru saja ditunjuk, Yin Liang Yu, memimpin pasukan dan berusaha untuk menertibkan mereka. Walaupun dia berusaha keras, pasukannya dengan cepat diterobos oleh kerumunan yang bersemangat.     

Chu Qiao melihat sekeliling dengan tenang. Walaupun para prajurit dari Pasukan Kedua sudah diatur kembali, sangat jelas kalau pasukan itu sudah kelelahan. Para prajurit yang tersisa sudah terluka, pakaian mereka compang-camping, dan mereka sudah berlumuran darah dan lumpur. Rasa takut, kekhawatiran, kebingungan, ketidakpastian, dan berbagai macam perasaan tidak nyaman melintas di mata mereka. Tanah dan wajah muram menutupi wajah pucat mereka, dan banyak di antara mereka yang sudah kehilangan sarung pedang mereka. Mereka hanya memasang senjata mereka di pinggang seadanya. Karena alasan itulah, bisa terdengar suara nyaring pedang-pedang berbenturan saat mereka berjalan. Bisa terlihat jelas kalau mereka sudah tidak memiliki semangat tempur lagi.     

Dibandingkan dengan prajurit dari Pasukan Kedua yang terlihat seperti kelinci ketakutan, para petugas dan prajurit dari Garnisun Utusan Barat Daya berbeda sangat jauh. Walaupun mereka juga kotor dan berdarah, mereka terlihat percaya diri, tenang, dan tetap mempertahankan formasi yang rapi. Mereka sangat tegas dan disiplin, menunggang mengikuti Chu Qiao dengan rapi. Mereka mengikuti Chu Qiao dan dengan cepat melewati jalanan yang panjang itu. Angin meniup jubah mereka, membawa aroma darah yang sudah menempel di mantel mereka ke kerumunan di sekeliling. Bahkan ketika pasukan satu juta orang dikalahkan, bahkan ketika para pejabat Yan Bei melarikan diri, hanya mereka yang terjun ke medan perang, dan dengan tegas mengemban tanggung jawab untuk melindungi negara ini.     

Yin Liang Yu bergegas ke depan. Kerumunan yang kacau balau itu bahkan membuat helmnya miring. Tanpa sempat membenarkan posisi helmnya, petugas muda itu segera menyambut, "Nona Chu, kedatangan anda di saat ini sudah menyelamatkan Bei Shuo dari kehancuran. Seluruh Pasukan Kedua akan selamanya berutang budi kepada anda!"     

Chu Qiao melompat turun dari kudanya dan tersenyum. Dia menjawab, "Jenderal Yin, kata-kata anda terlalu baik. Pasukan Kedua dan Garnisun Utusan Barat Daya menghadapi hal ini bersama-sama, karena kita semua melayani Yan Bei." Lalu, gadis muda itu membuka kerudungnya. Walaupun dia telah melalui pertempuran yang sengit, dia masih tetap bersih dan rapi. Memakai seragam militer, tubuhnya tegak, dan memancarkan kecantikan yang memesona. Dia bukan saja seorang prajurit yang pemberani, namun daya tariknya sebagai seorang wanita juga sangat memukau, dengan wajahnya yang cantik, kulitnya yang putih, dan matanya yang jernih dan juga semakin diperkuat oleh kepercayaan diri dan kebaikannya.     

Terdengar banyak seruan tidak percaya dari kerumunan orang-orang. Para prajurit dan warga sipil, mereka yang tidak pernah melihatnya mulai berkomentar dan pujian mulai mengalir dari orang-orang itu. Sejak pemberontakan di Zhen Huang hingga pertempuran di Barat Laut, sejak kehebohan di Kekaisaran Tang hingga pertempuran Chi Du, dia sudah menorehkan begitu banyak kemenangan gemilang hingga orang-orang sudah melupakan umur dan penampilannya.     

Namun di saat ini, di dalam medan perang yang porak poranda ini, kecantikan gadis muda ini berkilau bagaikan sinar terang di atas kepala orang-orang. Semua orang tidak bisa menahan diri dan berseru, "Jadi ini Nona Chu? Dia masih begitu muda?"     

"Betul! Ini sulit dipercaya! Dia sangat cantik!"     

Walaupun dia telah mengalahkan pasukan yang dipimpin oleh Zhao Qi, Chu Qiao mengerti kalau pertempuran kali ini hampir tidak memengaruhi apa pun. Satu-satunya alasan mengapa pasukan Xia bisa mereka halau adalah karena Zhao Qi telah mengirimkan semua pasukan cadangan ke barisan depan demi mempercepat penyerbuan. Memang, itu adalah strategi yang masuk akal, karena Pasukan Xia telah mengepung musuh mereka, dan mereka ingin menyelesaikan pertempuran di malam itu juga. Karena barisan belakang kosong, hanya ada pasukan pembawa pasokan. Bahkan kavaleri yang terdekat dari Zhao Qi, masih terhalang oleh dua formasi pasukan pembawa pasokan. Garnisun Utusan Barat Daya seluruhnya adalah kavaleri, jadi pergerakan mereka sangat cepat. Seperti macan tutul yang menyerbu dari belakang kawanan domba, ditambah lagi dengan kematian Zhao Qi yang mendadak, pasukan Xia tidak lagi memiliki pimpinan, dan seluruh pasukan itu menjadi kumpulan prajurit yang berantakan. Karena itulah, Chu Qiao berhasil menang dengan mudah. Walau demikian, ratusan ribu prajurit bukanlah sesuatu yang akan hilang begitu saja. Saat Zhao Yang tiba malam itu, Chu Qiao semakin khawatir dengan keadaan perang ini. Dia menyembunyikan kekhawatirannya, dan hanya bertanya kepada Yin Liang Yu, "Di mana Jenderal Cao? Ada informasi militer penting yang harus saya sampaikan kepadanya."     

Yin Liang Yu menjawab dengan muram, "Sang jenderal sedang di dalam ruang pertemuan. Nona, silakan ikuti saya."     

Ruangan sang jenderal terlihat sama seperti biasa, dengan ubin obsidian[1] hitam pekat yang disusun dalam barisan rapi. Obor-obor menyala terang dan terdengar langkah kaki yang berat di lorong yang kosong.     

Akhirnya tiba di depan ruang pertemuan, dua orang penjaga yang masih muda memberi hormat kepada Yin Liang Yu lalu menyapanya, "Jenderal Yin!"     

Yin Liang Yu mengangguk, lalu dia berbalik ke belakang dan memperkenalkan Chu Qiao, "Ini adalah Nona Chu dari Kantor Staf Militer."     

Kedua penjaga ini jelas pernah bertemu dengan gadis itu sebelumnya, dan mereka menyapa, "Apa kabar, Nona Chu."     

Chu Qiao mengangguk, "Kerja yang bagus."     

"Apakah Jenderal ada di dalam?" Jenderal Yin bertanya.     

"Beliau ada di dalam. Sang jenderal telah menunggu anda berdua cukup lama."     

Yin Liang Yu mengangguk dan meminta, "Tolong sampaikan padanya kalau kami sudah datang."     

Salah satu penjaga menurut dan mengetuk pintu dengan perlahan, lalu memanggil, "Lapor! Jenderal, Jenderal Yin dan Nona Chu ingin bertemu dengan anda!"     

Angin bertiup perlahan di lorong itu, lalu hening. Karena tidak ada lagi yang berbicara, satu-satunya suara yang bisa terdengar adalah gema dari penjaga itu.     

Yin Liang Yu merengut. Dia maju dan berkata dengan lantang, "Jenderal Cao, Nona Chu dari Kantor Staf Militer ingin bertemu dengan anda!"     

Masih tidak ada jawaban. Yin Liang Yu semakin merengut dan dia bertanya lagi, "Jenderal, apakah anda di dalam?"     

Chu Qiao mengangkat alisnya dan berkata, "Ada yang salah." Setelah itu, dia mendorong pintu ruang pertemuan sampai terbuka.     

Dengan berderak, pintu itu perlahan terbuka. Angin kencang dari dalam ruangan menyambut mereka, dan kertas beterbangan di tengah angin seperti kupu-kupu. Ruang pertemuan itu kosong, dan kursi-kursi tersusun rapi di tempatnya semula. Dengan membelakangi pintu, Cao Meng Tong duduk diam di kursinya, seperti sedang mengamati peta besar di hadapannya.     

Yin Liang Yu menghela napas lega dan melangkah maju, dan melapor dengan hormat, "Jenderal, Nona Chu ada di sini. Dia berkata ada masalah penting yang ingin dibahas dengan anda."     

Cao Meng Tong sepertinya tidak mendengar apa pun, dan bahkan tidak bergerak sama sekali. Chu Qiao mengernyit dan melangkah maju. Salah satu penjaga mengejarnya, dan memanggilnya dengan gelisah, "Nona Chu …." Tetapi sebelum dia selesai berbicara, suaranya berhenti dengan tiba-tiba. Matanya membelalak ketakutan, dan walaupun mulutnya terbuka lebar, tidak ada kata-kata yang keluar.     

Dengan memakai seragam baru, lengan baju Cao Meng Tong sedikit digulung ke atas, menampilkan sebagian dari lengan bawahnya. Di lengan sebelah kiri, ada sebuah bekas luka yang sudah lama; bekas luka itu sudah mulai memudar. Pakaiannya rapi tanpa sedikit pun kerutan. Sebuah saputangan putih yang terlipat rapi menonjol keluar dari kantung sebelah kiri, dan di samping seragamnya ada sulaman besar berbentuk seekor elang perang keemasan yang menunjukkan pangkatnya sebagai komando tertinggi dari pasukan besar ini. Dia sudah tidak muda lagi, kerutan menghiasi seluruh wajahnya. Dengan otot yang sudah mengendur seiring usia, sudut mata dan mulutnya mulai menggantung. Rambutnya sudah beruban semua, dan walaupun tersisir rapi, tetap tidak bisa menutupi usianya.     

Sebuah belati menancap di dadanya. Darah yang mengalir sudah mengeras. Ruangan itu sangat dingin dan karena itu darah merah tersebut sudah membeku menjadi potongan es. Dia sudah tidak bernyawa cukup lama, dan hanya meninggalkan sosok kesepian yang terlihat begitu tua dan rapuh di bawah sinar bulan.     

Peta Yan Bei yang besar tergantung di hadapannya. Di tengah medan yang berliku, sebuah garis tipis menghubungkan banyak nama-nama di atas peta tersebut. Mulai dari paling utara ada Jalur Mei Lin, menembus Pegunungan Hui Hui, Dataran Tinggi Shang Shen, Bukit Si Qiu Lan, Gunung Luo Ri, Kota Lan, Chi Du, Bei Shuo, dan akhirnya, dengan tinta merah, sebuah panah besar menunjuk tepat ke wilayah timur yang kaya akan sumber daya alam.     

Yin Liang Yu dan para penjaga terkejut atas kematian mendadak komandan tertinggi mereka. Mereka kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa.     

Chu Qiao melangkah maju. Dia mengulurkan tangannya, lalu menyapu mata Cao Meng Tong yang masih terbuka dan menutup kelopak matanya. Di dalam hatinya, dia hanya merasakan kemuraman. Pria ini dengan egois telah mengabaikan nyawa dari satu juta prajurit dan warga sipil. Mempekerjakan pejabat yang tidak becus dan tidak memiliki pandangan militer, dia telah bersikap ceroboh dan sombong. Karena ketidakmampuan dan kesombongan pria ini, dia telah menghancurkan keadaan yang semula menguntungkan dan mengakibatkan pasukannya yang harus membayar mahal. Kesalahannya sudah tidak mungkin dicatat semua, dan tidak ada siksaan yang cukup untuk mengampuninya. Sebelum datang kemari, Chu Qiao sudah memikirkan begitu banyak cara, dan dia harus menangkap pria ini bagaimanapun caranya, dan mendapatkan kembali komando militer Bei Shuo. Dia bahkan sudah siap berdebat dengan pria itu untuk memuaskan amarah di dalam hatinya. Tetapi saat ini, melihat pria tua yang duduk diam di tengah angin yang dingin, semua kemarahannya sirna bagai kabut.     

Perang ini sangat kejam. Semua orang harus membayar mahal. Ini berlaku baik kepada yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.     

"Jenderal, lihat ini!" Salah satu penjaga bermata jeli, dia mengambil secarik kertas dari atas meja dan menyerahkannya kepada Yin Liang Yu.     

Yin Liang Yu segera mengambil kertas tersebut. Setelah membaca sekilas, dia menengadah dan menyerahkan kertas itu kepada Chu Qiao. "Nona Chu, sekarang anda adalah pimpinan tertinggi dari Pasukan Kedua. Saya, Yin Liang Yu, siap menerima perintah!"     

Chu Qiao menerima kertas tersebut, dan melihat kalau surat tersebut tertulis dengan nada yang sangat formal. Jenderal Cao secara singkat menjelaskan struktur komando dari Pasukan Kedua, dan di ujung surat, dia menuliskan beberapa ucapan untuk menyemangati, misalnya dia berharap kalau Chu Qiao akan bertempur dengan berani dan mencapai hal-hal besar untuk Yan Bei. Ini seperti surat penyerahan jabatan yang biasa.     

Chu Qiao melepaskan pedangnya lalu mundur satu langkah. Dengan berdiri tegak, dia memberikan penghormatan yang rapi dan standar, "Jenderal Cao bertempur demi negara kita. Saat bertahan melawan pasukan Xia, beliau terus bertarung hingga akhir hidupnya. Beliau adalah teladan untuk pasukan kita. Saya tidak akan mengkhianati harapan sang Jenderal, dan akan selalu setia, pantang mundur!"     

Malam itu, catatan sejarah mencantumkan: Dalam pertempuran Bei Shuo, Jenderal Cao Meng Tong memimpin dengan menjadi contoh yang teladan, meskipun sudah tua, beliau bertarung bersama pasukan di tembok kota Bei Shuo. Dengan keras kepala mengusir pasukan Xia, beliau menerima luka parah dan meninggal di ruang pertemuan pada malam di hari ke-27 bulan kesepuluh. Sebelum beliau meninggal, beliau menyerahkan kepemimpinan kepada Nona Chu Qiao, Penasihat Militer dari Kantor Staf Militer, sekaligus pimpinan dari Garnisun Utusan Barat Daya. Jenderal Cao telah bersikap berani dan setia, dan telah mengorbankan segalanya bagi Yan Bei. Beliau adalah teladan bagi semua prajurit Yan Bei.     

[1] Batu hitam atau abu-abu yang berasal dari lahar cair yang membeku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.