THE RICHMAN

The Richman - Campus



The Richman - Campus

0Ellyn masuk kedalam kelas dan mengacuhkan Goerge, ini terjadi sejak beberapa hari lalu. Gadis itu datang, duduk, kemudian mengikuti perkuliahan tanpa mengacuhkan George sama sekali.     
0

Perkuliahan berakhir dan Ellyn berniat untuk segera meninggalkan kelas.     

"Ellyn." George memanggilnya dan gadis itu menghentikan langkahnya.     

George bangkit dan berjalan ke arahnya. "Kau sedang menghindariku?" Tanya George.     

"Tidak." Geleng Ellyn santai.     

"Tapi engah mengapa aku merasa kau sedang berusaha menghindariku." Ujar pria muda itu.     

Ellyn mengerucutkan bibirnya sekilas, "Jika kau merasa begitu, berarti itu masalahmu." Jawabnya singkat, Ellyn benar-benar berusaha mati-matian untuk mengacuhkan George setelah dia tahu bahwa dia tidak akan mendapatkan perhatian George bagaimanapun juga.     

"Kau marah padaku soal Ella?" Tanya George.     

"Nope." Ellyn melempar tatapan jauh kedepan, seolah menghindari tatapan George padanya.     

"Aku merasa kau sedang menghindariku dan itu karena Ella."     

"George, aku tidak ingin membicarakan ini denganmu. Dan jika kau merasa seperti itu, itu urusanmu." Ellyn berniat pergi dan George segera menarik tangannya.     

"Kau cemburu pada Ella?" Tanyanya lagi dan itu membuat Ellyn tersenyum pada George. "Lepaskan aku atau pengawalku akan menembak kepalamu." Bisik Ellyn dan Goerge melihat sang pengawal sudah menatap tajam pada dirinya. George melepaskan Ellyn dan membiarkan gadis itu pergi.     

Entahlah, baik itu hubungannya dengan Ella maupun Elleonore tidak ada satupun yang berjalan, semuanya rusak dan George tidak tahu harus berbuat apa. Mendadak panggilan masuk dari ibunya.     

"George." sapa sang ibu dengan suara sedih.     

"Mom . . . apa yang terjadi?" Tanya George.     

Suara sang ibu sempat tak terdengar beberapa saat hingga George harus mengulang memanggil ibunya itu, "Mom, are you ok?" Tanya George sekali lagi.     

"Ini tentang bibimu Leah." Ujar sang ibu ditengah isakan.     

"What happend?" Tanya George.     

"Dia meninggal dunia." Adrianna tampak tak bisa menahan tangisnya. Setelah berjuang melewati pendarahan hebat selama tiga hari terakhir akhirnya Leah menyerah dengan kehidupannya. Bayi yang dikandungnya juga tidak terselamatkan begitu juga dengan Leah.     

George terduduk lemas di lantai ruang kelasnya. "Bagaimana dengan Sheina?" Tanyanya.     

"Dia sangat sedih." Jawab Adrianna.     

"Mom, aku akan pulang hari ini juga." Ujar George.     

"No . . . tidak perlu sayang. Leah sudah dimakamkan, aku hanya mengabarimu saja, sebaiknya kau telepon Sheina dan memberikan support untuknya." Ujar sang ibu dan George tampak berkaca-kaca. Bagaimanapun juga Leah adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan George. Masa kecilnya dihabiskan bersama dengan bibi terbaik di seluruh dunia, saat ibu dan ayahnya bermaslaah, Leah selalu datang sebagai penyelamat baginya, menjaga, merawat dan mencintainya seperti ibunya sendiri.     

"Ok." Angguk George, air matanya menetes pada akhirnya. "Aku akan menelepon Sheina." Ujar George.     

"Take care son." Adrianna tampak sedih saat harus mengakhiri panggilannya dengan putera kesayangannya itu.     

"You too mom, sampaikan salamku pada semuanya, daddy dan Grandpa, juga uncle Ben dan Sheina."     

"Ya." Adrianna mengakhiri panggilannya dan untuk beberapa saat Ben duduk dalam kesedihannya.     

***     

George baru saja menghubungi Sheina dan Ben untuk menyampaikan dukacitanya dan mereka terdengar sangat sedih tapi Ben berusaha tegar demi puterinya itu. Semangat hidup George di negeri orang merosot ke titik nol, dan entah mengapa saat pria itu tengah menatap kosong ke gelas berisi jus jeruk di hadapannya yang bahkan belum di sentuhnya sama sekali itu, Ella melintas dan melihatnya terpuruk. Gadis itu tergugah hatinya dan menyambangi George.     

"Hi . . ." Sapa Ella.     

"Hi." Jawab George sembari menarik bibirnya dalam satu garis, senyum singkat yang terlihat terpaksa.     

"Are you ok?" tanya Ella, dia sadar betul bahwa hubungannya dengan George Bloom belakangan ini sangat buruk hingga tak punya waktu untuk sekedar saling bicara sebagai teman.     

"Bibiku meninggal dunia, dan aku baru saja menghubungi pamanku dan anaknya." Ujar George.     

"Aku turut berduka untuk bibimu." Ella meraih tangan George dan meremasnya lembut, sementara George dengan mata berkaca menatap dalam pada gadis di hadapannya itu "Thanks." Jawabnya tulus. Entah mengapa pemandangan itu tertangkap oleh mata Ellyn yang berdiri di kejauhan, tanpa mendengar apapun yang mereka bicarakan, dia hanya melihat Ella memengang tangan George dan memilih berlalu dengan asumsi yang timbul di pikirannya sendiri.     

"Jika kau ingin bercerita padaku tentang bibimu, mungkin itu akan membuatmu sedikit lega." Ella menatap George, meyakinkan pria itu untuk membantunya meringankan kesedihannya.     

George menghela nafas dalam, "Dia selalu hadir di saat-saat sulit kehidupanku." Jawab George, dia memulai menceritakan tentang betapa baik dan berhati malaikatnya sang bibi.     

"Dia menikah dengan pamanku Ben, dan tidak memiliki anak dari rahimnya sendiri. Dia mengadobsi seorang anak perempuan bernama Sheina, saat ini usianya dua belas tahun dan bibirku entah bagaimana mendapatkan keajaiban, setelah dia divonis tidak akan bisa mengandung, beberapa bulan lalu dia akhirnya mengandung, tapi tadi ibuku memberikan kabar bahwa dia meninggal karena pendarahan hebat yang dialaminya."     

"George, . . . aku benar-benar tulus berdoa untuk bibimu semoga dia mendapatkan kedamaian."     

"Ya, dia adalah orang yang baik. Bahkan dia sebaik malaikat." Ujar George.     

Ella tersenyum getir, "Aku bisa merasakan apa yang kau rasakan, aku juga kehilangan kedua orang tuaku, dan mungkin aku bisa merasakan seperti apa perasaan sepupumu saat ini." Ella menjadi kecut hati, dan George meletakkan tangannya di atas tangan Ella yang masih memegang tangannya. George tersenyum untuk memberikan semangat pada Ella begitu juga sebaliknya.     

"Kau harus kuat juga Ella."     

"Ya, you too." jawab Ella.     

***     

Ellyn menyelonong masuk ke ruangan kerja sang kakak, Prince Robert dengan marah tepat saat Robert tengah menerima telepon. Robert terpaksa mengakhiri panggilan pentingnya dan mengurusi adik manjanya lebih dulu.     

Ellyn melempar tasnya ke sofa dengan kasar dan terlihat membanting tubuh kurusnya di atas sofa kemudian mengangkat kakinya di atas meja.     

"Wow . . . wow . . ." Robert berdiri dan memutari mejanya kemudian berjalan ke arah sofa. "Turunkan kakimu." Robert menarik kaki adiknya hingga turun dari atas meja.     

"Apa yang terjadi anak manja?" Tanya Robert dan Ellyn mendengus kesal.     

"Aku ingin pindah kampus." Ujarnya.     

"Pindah kampus?" Alis Robert berkerut, "Kau sekarang sendang kuliah di kampus terbaik di negeri ini, dan kau ingin pindah?" Robert mempertanyakan alasan adik manjanya itu mengapa tiba-tiba dia ingin pindah tempat kuliah.     

"Berikan aku penjelasan yang masuk akal, mungkin aku bisa mempertimangkannya." Ujar Robert.     

"Aku tidak suka kuliah di tempat itu."     

"Apa karena mata kuliah, dosen, atau temanmu?" Robert menyipitkan matanya pada sang adik dan Ellyn memilih membuang pandangan sementara dia melipat tangannya di dada seolah tak ingin dicampuri urusannya.     

"Apakah ini tentang pria yang kau sukai di kampusmu?" Robert menelisik lebih jauh.     

"Robert!" Ellyn mendesis.     

"Oh really, kau ingin pindah tempat kuliah hanya karena seorang pria, Princess Eleonore?" Goda Robert. "Permintaanmu ditolak, sekarang keluar dari ruangan kerjaku, aku masih banyak urusan."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.