THE RICHMAN

The Richman - Take a First Step



The Richman - Take a First Step

0Pagi ini Leah lebih bersemangat dibandingkan hari- hari kemarin karena rekonsiliasi yang terjadi antara dirinya dan suami. Selama seminggu terakhir dia bahkan sudah browsing banyak hal tentang ibu surogasi, dan agen resmi yang menyediakan jasa bagi para wanita yang bersedia menyewakan rahimnya dengan perjanjian, ada juga cara lainnya yaitu memilih orang yang benar-benar tepat, sehat fisik dan juga mental untuk melahirkan bayi mereka dengan melakukan seleksi langsung.     
0

Opsi yang dilarang justru jika surrogasi dilakukan oleh keluarga dekat dari orang tua bayi, hal itu dikarenakan kemungkinan kelainan gen seperti pada perkawinan sedarah. Dan opsi yang disepakati oleh Ben dan Leah adalah surrogasi gestasional dan bukannya surrogasi tradisional. Surrogasi gestasional dipilih karena prosesnya adalah seperti bayi tabung yang kemudian di tanam di rahim sang ibu surrogasi. Berbeda dengan surrogasi tradisional dimana sperma disuntikkan dan pembuahan terjadi antara sperma ayah dan telur dari sang ibu surogasi yang dianggap sebagai ibu kandungnya. Sementara surogasi gestasional prosesnya adalah mempertemukan sel telur dari sang ibu kemudian mempertemukannya dengan sperma terbaik dari sang ayah dan dilakukan pembuahan diluar rahim hingga terbentuk embrio, setelah itu barulah embrio itu ditanamkan di rahim ibu surrogasi sehingga tidak ada keterlibatan gen dari ibu surrogasi tersebut. Orang tua kandung dari bayi yang lahir itu adalah orang tua yang sesungguhnya.     

Meskipun baya yang dibutuhkan untukproses ini tidaklah murah, selain biaya proses bayi tabung, Ben dan Leah juga harus membayar asuransi kesehatan untuk ibu surrogasi itu juga diluar biaya kesehatan, biaya hidup sehari-hari dari ibu surrogasi yang menganggung bayi mereka. Kompensasi sesuai nilai yang disepakati pada saat ibu surrogasi sudah melahirkan bayi mereka.     

"Morning . . ." Sapa Leah dengan senyum sumpringah pagi ini saat dia tengah membuat panekuk untuk sarapan dan Ben turun untuk meminum kopinya pagi ini. Hari ini hari minggu dan tampak seperti hari bermalas-malasan bagi Ben dan Leah. Mereka bahkan masih mengenakan piyama masing-masing.     

Ben duduk di meja bar dan melihat isterinya itu memasak. "Kau tampak bersemangat hari ini." Ujar Ben setelah mendapatkan secangkir espresso dari coffee maker yang dituang oleh isterinya untuk dirinya. Leah juga menata dua buah panekuk yang di siram dengan sirup maple untuknya dan menyiapkan omelete dengan potongan daging, alpukan dan bacon untuk suaminya itu.     

"Hari ini aku akan menemui seseorang." Ujar Leah.     

"Siapa?" Tanya Ben.     

"Kau ingat tentang aplikasi yang kita tulis saat kita datang ke agency Parents Care?" Tanya Leah.     

"Ya itu baru terjadi dua hari lalu, dan aku masih ingat." Jawab Ben sembari memakan sarapan paginya.     

"Hari ini seseorang akan datang, dia dikirim agency untuk bertemu dengan kita." Ujar Leah.     

"Apa kita perlu memberitahu Daddy atau Adrianna untuk datang?" Tanya Ben panik, dia jelas tidak siap dengan prosedur ini meskipun dia menyetujui prosedur surogasi demi isterinya itu.     

"Tidak sayang, ini masih tahap sangat awal." Leah tersenyum. "Semalam aku mendapatkan email dari agency, dia menyodorkan beberapa nama." Leah mengeluarkan ponselnya dan menujukan email dari Agency pada Ben.     

"Mereka mengirim empat nama, Loura McGael, Emily Suzan, Patricia Bean, dan Shanon Clark." Leah menyodorkan ponsel itu pada Ben.     

"Klik lampirannya dan kau bisa melihat biodata mereka masing-masing."     

"Siapa pilianmu?" Ben meletakkan ponsel isterinya itu di atas meja, tampak sekali jika Ben tak begitu peduli dengan calon ibu surrogasinya nanti.     

"Loura McGael." Jawab Leah, "Usianya dua puluh sembilan tahun, jika kita setuju maka ini akan menjadi surrogasi kedua baginya. Sebelumnya dia sudah pernah melakukan surrogasi untuk keluarga Mc. Larrent." Terang Leah, seolah semua tentang diri mereka sudah dikuasai betul oleh Leah.     

Ben mengambil ponsel itu lagi dan melihat-lihat biodata mereka. "Mengapa tak memilih Shanon?" Tanya Ben.     

"Shanon?" Alis Leah berkerut. "Mengapa kau berpikir kita harus memilih Shanon?" Tanya Leah pada suaminya itu.     

"Simple, aku hanya melihat dari usia mereka. Dari kesemuanya, usia Shanon paling muda, duapuluh lima tahun. Mungkin secara fisik itu akan lebih baik saat proses kehamilan." Ujar Ben.     

Leah terdiam beberapa saat, "Ya, aku bahkan tak mempertimbangkannya." Ujar Leah. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Shanon, semua yang dipilih dari agency adalah yang memiliki kemungkinan untuk proses surrogasi yang mudah dan baik, tapi setelah melihat profil Shanon, dia lulus dari universitas, masih muda dan sangat cantik, jelas saja ego Leah yang adalah gadis dari keluarga biasa dengan pendidikan standard dan kecantikan yang menurutnya juga tak luar biasa menjadi terancam dengan kehadiran wanita lain yang selama sembilan bulan mungkin akan jadi pusat perhatian dalam keluarga dan dia tidak ingin Shanon menjadi wanita itu dengan alasan kecantikan fisiknya.     

"Jika kau bingung kau bisa memanggil semuanya sayang, terkadang orang perlu bertemu untuk mendapatkan koneksi diantara mereka, bukan hanya membaca bio data." Ben mengusulkan dan Leah mengangguk setuju.     

"Aku akan menghubungi mereka semua kalau begitu." Pada akhirnya Leah setuju dengan ide suaminya itu dengan mengingat hal penting yang mereka bahas semalam, tidak ada keraguan lagi di hati mereka apalagi meragukan masing-masing pasangan jika ingin memulai prosedur surrogasi, apalagi melibatkan wanita lain di dalam rumahtangga memang bukan hal yang mudah untuk ditangani.     

"Aku akan menunda jadwalnya besok, . . . atau em, mungkin sebaiknya lebih cepat lebih baik." Leah sendiri terlihat gusar saat ini.     

Ben meletakkan alat makannya, "Hei . . . easy, jangan terburu-buru. Kita tidak sedang dikejar sesuatu sayang. Aku tidak ingin kau melewati semua proses ini dengan tidak nyaman. Ingat, kau yang menginginkannya, jangan sampai kau berubah pikiran ditengah jalan. Jadi sebelum memulai semuanya, aku berharap kau sudah memikirkan semuanya dengan sangat matang." Ben meremas tangan Leah dengan lembut dan Leah bergidik sekilas.     

"Ini semua membuatku gugup." Jujurnya.     

"Kita masih belum memulai proses apapun, kita masih bisa mundur sekarang ini." Ujar Ben meyakinkan sang isteri bahwa keputusan yang diambil belum menimbulkan efek samping apapun jadi mudah saja bagi mereka untuk mundur.     

Leah menarik tangannya dan dia tampak menutupi wajahnya dengan frustasi dia menutup wajahnya dan mulai menangis.     

"Hei . . . mengapa kau menanggis?" Ben bangkit dari tempat duduknya dan memutar meja untuk memeluk isterinya itu.     

"Take your time, jangan terlalu terburu-buru." Ujar Ben sembari mengusap punggung isterinya itu.     

Leah mengangguk, dalam hatinya dia berpikir mungkin dia akan datang ke sebuah group surrogasi yang sempat dia temukan saat mereka mulai browsing. Di gorup itu antara orang tua dan juga ibu surrogasi bisa berada bersama-sama untuk saling share dan saling mendukung hingga masing-masing dari mereka bisa memegang komitment masing-masing demi bayi yang sama-sama mereka harapkan lahir dengan selamat itu.     

"Aku berniat untuk datang ke agency dan melihat group mereka untuk mengetahui seperti apa surrogasi sebenarnya, I have no idea right now."     

"Kau ingin aku menemanimu?" Tanya Ben, dia benar-benar ingin menunjukkan bentuk perhatian dan dukungan penuhnya pada sang isteri.     

"Ok." Angguk Leah, setelah menyeka jejak air mata di wajahnya. "Pukul sepuluh pagi ini." Ujar Leah.     

"Kita bisa bersiap sekarang jika kau ingin." Ben mengambil cangkir kopinya dan menyesapnya, kemudian meninggalkan meja makan sementara Leah membereskan sisa sarapan mereka pagi ini. Ben kembali ke kamar dan masuk ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi dia melepaskan pakaiannya dan membasahi dirinya di bawah shower. Masalah surrogasi ini sebenarnya cukup menyita pikirannya. Antara ingin dan tak ingin, sementara Leah begitu menginginkannya.     

Di dapur Leah masih memandangi bio data dan melihat Shanon Clark itu, dari fotonya dia tampak begitu manis dengan rambut hitm yang panjang. Senyumnya juga begitu menarik dan dia benar-benar atraktif. Tak hanya itu, Shanon juga memberikan tautan sosial medianya dan Leah sempat melihat sosial media yang dimiliki gadis muda itu. Dia sering memamerkan dirinya menyanyi sambil memainkan piano, atau terkadang biola dan alat musik lainnya. Hal-hal yang tak dapat dilakukan oleh Leah sama sekali. Tak hanya itu, Shanon juga salah satu lulusan terbaik dari universitas ternama.     

"How come?" Alis Leah bertaut.     

"Sayang, kau tak ingin bersiap-siap?" Tanya Ben beberapa waktu kemudian, karena tanpa dia sadari, Leah sudah menghabiskan waktu hampir satu jam untuk stalking siapa Shanon Clark. Orang yang bahkan belum dia temui secara langsung tapi sudah begitu mengancam dirinya.     

"Oh ya." Angguk Leah, dia segera menyimpan ponselnya dan berjalan menuju kamar untuk mandi dan bersiap-siap sebelum pergi ke agency dan menemui group surrogasi yang mungkin akan mempertemukan dia dengan salah satu dari empat kandidat calon ibu surrogasi yang dipilih agency untuknya.     

Sebelum datang ke agency, seperti kebudayaan di tempat itu, mereka terbiasa membuat janji sebelum datang ke suatu tempat untuk menemui seseorang atau hadir di sebuah group.     

"Halo." Leah membuka suara.     

"Selamat pagi, ada yang bisa kami bantu?" Tanya sang resepsionis yang bertugas pagi itu melalui telepon.     

"Aku Leah Anthony, hari ini aku berencana untuk mengunjungi group surrogasi." Ujar Leah.     

"Baiklah, saya akan memasukkan anda dalam daftar list. Apakah anda ingin menemui beberapa ibu surrogasi potensial anda?" Tanya sang resepsionis. Mendadak Leah terdiam beberapa saat, dia mengigiti kuku jarinya, pertanda dia sangat cemas mendengar itu.     

"Mrs. Anthony . . ." Sang resepsionis memanggil Leah. "Apakah anda masih terhubung?" Tanyanya lagi.     

"Oh ya." Leah tersadar, namun tampaknya sang resepsionis salah paham dengan jawaban yang diberikannya.     

"Baik, kami akan mengaturnya untuk anda. Terimakasih selamat pagi." Sang resepsionis mengakhiri pembicaraan diantara mereka dan dengan limbung Leah berjalan ke kamar mandi setelah meletakkan ponselnya di atas meja. Dia menjadi sangat ketakutan jika harus bertemu dengan beberapa calon ibu surogasi potensialnya.     

Di dalam kamar mandi Leah justru menghabiskan banyak waktu untuk mengafirmasi dirinya sendiri agar tidak terlalu khawatir dengan proses yang akan dilaluinya ini. Proses ini akan membawa mereka pada sebuah kehidupan baru dimana kehadiran tangisan bayi akan membuat kebahagiaan mereka semakin bertambah. Dia juga bisa pergi ke berbagai tempat yang indah sebagai sebuah keluarga yang utuh menurut versinya, ayah, ibu dan anak.     

"Ini yang kau inginkan Leah, tinggal melangkahkan kakimu dan suamimu sangat mendukungmu. Dia juga sangat mencintaimu dan kalian sudah sepakat untuk tetap kompak dalam seluruh prosesnya, sesulit apapun itu. " Leah berbicara pada dirinya sendiri untuk membuatnya yakin bahwa ini adalah pilihannya dan dia benar-benar menginginkan bayi itu, dan satu-satunya cara adalah surrogasi. Jika dia menginginkan anak kandung, dimana anak itu adalah perpaduan dirinya dan suaminya Ben, satu-satunya cara adalah surrogasi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.