THE RICHMAN

The Richman - Complicated



The Richman - Complicated

0(Adrianna POV)     
0

Hampir tiga minggu lamanya pemulihan George dan waktu itu kami habiskan dirumahsakit. Hari-hari terasa begitu gelap apalagi di seminggu pertama, beberapa kali kondisi George drop hingga membuatku ingin mati saja. Berkali-kali kami menghabiskan malam-malam menunggu George pulih dari kritisnya. Bocah sekecil itu harus berjuang mempertahankan hidupnya dan aku sebagai ibu yang mengandungnya dengan mempertaruhkan nyawaku seolah tak rela puteraku dihadapkan dengan masa-masa sulit seperti itu.     

Tak hanya kondisi George yang beberapa kali mengalami perburukan, hubunganku dan Aldric benar-benar tak pernah membaik setelah kejadian penembakan itu. Kami berada bersama-sama di rumahsakit meski orang-orang silih berganti berkunjung namun tak bisa menemui George, dan yang menyiksa adalah setiap kali ada yang datang untuk membesuk George kami harus berakting seolah semuanya baik-baik saja tapi setelah itu Aldric benar-benar membeku. Dia tak ingin di sentuh apalagi diajak bicara. Ben, Leah dan Daddy juga ayah dan ibu mertuaku tahu soal itu tapi mereka tidak bisa mengatasi kemarahan Aldric.     

"Aldric masih begitu marah padamu?" Tanya daddy padaku saat kami duduk di cafetaria sore itu. Hari ini hari terakhir George berada di rumahsakit, besok pagi setelah visit dari dokter, George diperbolekan pulang dan melanjutkan perawatannya dari rumah terutama soal trauma ke sekolah. Tapi George tampak tak mengalami trauma sedalam itu, dia bahkan sangat ceria saat beberapa gurunya datang mengujunginya beberap jam lalu.     

"Ya." Anggukku.     

"Mengapa kau menemui pria itu jika kau tahu bahwa itu akan menjadi awal bencana dalam keluargamu?" Protes Daddy.     

Aku menghela nafas, "I was trapped dad." Ungkapku. "Seseorang menghubungiku dan mengatakan bahwa pemilik ponsel itu mengalami kecelakaan, sedangkan aku orang terakhir dalam daftar kontaknya." Terangku.     

"Dan kau tidak curiga?" Tanya Daddy lagi.     

"Aku sangat panik saat itu, niatku sebenarnya baik. Aku datang untuk memastikan kondisinya meski kami tak memiliki hubungan apapun, ini murni karena kemanusiaan saja." Aku berusaha membela diri, daddy paham maksudku karena dia adalah ayahku. Dia mengenalku puluhan tahun bahkan saat aku baru bisa menangis untuk mengungkapkan berbagai perasaanku saat usiaku nol sampai dengan satu tahun, dia sudah memahamiku sejak itu dan sekarangpun dia jelas bisa mengerti dan memahami situasiku. Berebeda dengan Aldric yang meski mencintaiku kami belum lama mengenal sebelum menikah, dan meski pernikahan kami sekarang sudah berjalan lebih dari tujuh tahun tapi toh hal-hal baru seolah menjadi kejutan-kejutan bagiku setiap hari. Ada saja hal-hal baru baik tentangku yang baru dia temukan atau sebaliknya. Seperti yang orang katakan, dalam pernikahan tidak ada istilah mengenal sepenuhnya, karena pengenalan akan pasangan terjadi sepanjang pernikahan.     

"Kau tidak coba menjelaskannya pada Aldric?" Tanya daddy.     

Aku tersenyum getir. "Dalam situasi seperti ini prioritasku hanyalah puteraku Dad." Jujurku. Sebenarnya situasi sempat meruncing karena Jav sempat datang membawakan bunga dan berniat untuk menjenguk puteraku, tapi hal itu justru berakhir buruk karena Aldric hampir saja memukulnya karena begitu kesal. Aku juga tak tahu apa motivasi Javier mengapa dia tiba-tiba muncul dan mengacaukan segalanya? Dia mengacaukan hidupku, lagi dan lagi.     

"Bersabarlah sayang, Aldric pasti akan melembut." Daddy meraih tanganku dan meremasnya. Kehangatan tangan keriput itu memberiku kekuatan untuk menghadapi hari-hari beratku. Aku berharap bisa memeluk mommy dan mendengar nasehatnya saat ini, tapi semua sudah berubah. Aku hanya memiliki daddy sebagai pendukungku nomor satu, bahkan saat aku dan suamiku berseteru.     

"Daddy akan pulang dengan Ben, kau kembalilah ke ruang perawatan George dan temani dia." Kami berpelukan singkat dan benar saja, tak lama Ben datang menghampiri kami, hari ini dia pulang kantor lebih cepat untuk mampir ke rumahsakit dan menjemput daddy. Selama aku menjaga puteraku di rumahsakit, Ben dan Leah yang menjaga daddy di rumah mereka. Pria tua yang malang, dia bahakan harus terombang-ambing keadaan saat banyak masalah yang menimpa rumahtangga putera puterinya.     

***     

Semalaman aku meringkuk di sofa, sementara Aldric tertidur dengan posisi duduk di sebelah ranjang George. Meski aku meringkuk tapi mataku tak bisa terpejam sama sekali, yang ku harapkan adalah hari segera pagi, dokter datang dan memeriksa kondisi puteraku. Aku berharap kabar baik itu benar-benar datang hari ini, puteraku boleh pulang dan bisa beraktifitas seperti sedia kala.     

Dan benar saja, setelah terjaga semlaman, pagipun tiba. Sinar matahari pagi malu-malu mengintip dari sela-sela tirai ruang perawatan puteraku. Aku segera bengun dari tempatku berbaring dan mencuci wajahku di wastafel, setelah itu aku keluar untuk membeli dua buah sandwich dan dua buah kopi.     

Meskipun Aldric tidak pernah mengucapakan kata terimakasih, tapi kopi dan sandwich itu dia minum dan dia makan, itu saja sudah cukup bagiku. Awal-awal menjaga George, Aldric bahkan enggan menyentuh makanan yang kubawakan untuknya. Dia memilih memakan makanan yang dibawakan ibunya, Leah, Ben, atau bahakan tak jarang sekretarisnya datang untuk membawa perkerjaan dan juga makanan. Itu melukaiku tapi aku tak bisa membuka suaraku, kutelang semua kepahitan itu sendiri.     

Saat aku kembali dengan sarapan, George sudah selesai sarapan, disuapi oleh ayahnya. Selain marah padaku, Aldric juga masih enggan memberikanku kesempatan untuk merawat puteraku, bahkan sangat jarang dia membiarkan aku berada dekat puteraku.     

"Selamat pagi, sapa dokter yang merawat George." Senyumnya ramah dan dia juga tampak sangat dekat dengan anak-anak, hingga mata George berbinar menatap dokter cantik itu.     

"Aku akan memeriksa kondisimu jagoan." Ujar sang dokter. "Em . . . lukamu sembuh sempurna, mungkin masih akan ada rasa nyeri, tapi itu bukan masalah besar bagi jagoan sekuat dirimu." Ujarnya lagi membesarkan hati puteraku.     

"Ya." Binar di mata George membuatku berkaca. Setelah tiga minggu yang gelap akhinrya hari ini matahari bersinar menerangi hatiku, aku melihat puteraku tersenyum.     

"Hari ini kau boleh pulang, tapi jika kau merindukanku, kau boleh datang kapanpun." Ujar sang dokter sembari memberikan pelukan hangat untuk George. Puteraku menjadi pasien pertama yang dikunjunginya pagi ini.     

Hatiku remuk saat dia menoleh ke arahku dan berteriak girang. "Mommy . . . yey aku akan pulang."     

"Ya . . ." Aku mendekat dan memegang tangannya. "Kita akan pulang." Air mataku hampir saja tumpah, tapi aku menahannya. George benar-benar anak yang tulus hatinya. Dia tidak menaruh dendam sedikitpun padaku atau menuduhku membahayakan dirinya. Dia tidak menghakimiku seperti ayahnya yang menganggap kelalaianku menyebabkan dirinya celaka. Bahkan selama ini aku menyalahkan diriku sendiri karena terlambat menjemputnya hari itu, selain orang-orang yang tahu ceritanya setengah-setengah atau bahkan tahu cerita utuhnya juga menghaikimiku dengan sangat keji termasuk suamiku.     

"Aku permisi." Dokter muda yang cantik itu pamit undur diri dari ruangan perawatan puteraku dan George melambai padanya. Setelah dokter itu pergi george berbalik dan menatap ayahnya. "Dad . . . apa kita akan mampir membeli ice cream kesukaanku?" Tanya George dan Aldric menjawab dengan girang, "Tentu jagoan daddy." Alric membantu George untuk turun dari ranjang dan mendudukkannya di kursi roda agar luka bekas jaitannya tidak nyeri. Meski begitu tidak ada trauma sama sekali yang terlihat di mata George, seminggu terakhir kami dokter psikiater anak di rumahsakit ini memberikan trauma healing untuk George dan tampaknya itu berhasil.     

Aldric menyetir di depan sementara aku dan George duduk di bangku belakang, aku memegang tangannya "Maafkan mommy." Aku mengecup tangannya dan dia menatapku.     

"Why?" Tanyanya.     

"Mommy terlambat menjemputmu hari itu sayang."Kalimat itu sudah kutahan berminggu-minggu dan benar-benar ingin ku ucapkan padanya, baru kali ini aku memiliki kesempatan itu. Aldric tampak melirik dari kaca spion di depannya tapi saat aku melihatnya dia membuang muka.     

Hari ini Aldric benar-benar memanjakan George, dia mampir dan membelikan ice cream kesukaan puteranya itu. Selain itu dia juga membelikan banyak action figure bahkan yang limited edition untuk George yang masih dibungkus dalam bentuk kado. Tanpa sepengetahuanku Aldric bahkan mendekorasi kamar George untuk memberi sambutan kepulangan sang putera. Beberapa teman George dan orang tuanya yang tinggal di sekitar komplek rumah kami datang berkunjung dan membawakan kado. Aldric bahkan menyiapkan hapers kusus untuk mereka yang datang berkunjung untuk menjenguk puteranya itu. Dan diantara semua yang dia lakukan itu aku tidak terlibat di dalamnya. Aldric benar-benar sudah mencoretku dari daftar kehidupannya.     

Aku menunggu waktu yang tepat untuk akhirnya bisa membela diriku di hadapan Aldric setelah berminggu-minggu aku menerima penghakiman yang tidak adil darinya.     

"Aku ingin bicara." Ujarku saat dia melintas di hadapanku sementara aku duduk di meja dapur dengan secangkir kopi. Awalnya dia hanya teridam sesaat, tapi setelah tampak mempertimbangkan akhirnya dia mendekat.     

"Aku tahu aku bersalah atas semua kejadian yang menimpaku, tapi apa tidak bisa kau menganggap ini sebagai sebuah kecelakaan?" Tanyaku.     

Aldric melipat tangannya di dada. "Tanyakan pada dirimu seberapa besar rasa bersalahmu, dirimu sendiri bahkan menyalahkanmu karena kau tahu bahwa kau bersalah." Ujar Aldric.     

"Lalu bagaimana aku bisa menebusnya?" Tanyaku memohon.     

Aldric menghela nafas dalam, "Aku ingin kau meninggalkan kami." itu kalimat yang terucap dari bibir Aldric, tatapannya begitu kelam padaku, aku mengigit bibirku, berusaha menahan diriku, aku tidak ingin menangis, karena jika aku menangis pembicaraan kami tidak akan berujung pada sebuah jalan keluar.     

"Itu tidak adil." Aku berusaha mempertahankan diriku.     

Aldric menggeleng, "Kau sudah berbuat curang dibelakangku dengan menemui pria itu. Dan karena pertemuan kalian, entah apa yang kalian lakukan bersama hingga kau melalaikan kewajibanmu sebagai seorang ibu." Rahangnya tampak mengeras, "Kita bertemu di pengadilan." Ujarnya, mataku membulat menatapnya. "Kau berniat menceraikanku?" Bisikku tak berdaya, seolah seluruh akalku lumpuh mendadak.     

"You left me first, I have no choice. You've made yours." Ujarnya.     

" Aku bisa menjelaskan semuanya."     

Aldric menghela nafas dalam, "Jangan membuang waktuku, semua yang terjadi kulihat dengan mata kepalaku sendiri dan aku tidak perlu penjelasan dari siapapun untuk apa yang kusaksikan." Ujarnya. "Kau bisa mulai berkemas, sampai jumpa di pengadilan."     

"Aku tidak akan meninggalkan puteraku." Ujarku mempertahankan egoku.     

Aldric menoleh ke arahku, setelah sempat berjalan meninggalkanku. "Kau tak pantas menyebutnya puteramu, kau hampir membunuhnya." Jawabnya dan kata-kata itu sontak menghancurkanku berkeping-keping. Tapi Aldric bergeming, tak ada rasa iba sedikitpun yang tersisa di hatinya untukku. Dia benar-benar membenciku seolah aku musuhnya selama ribuan tahun.     

Aku mengikuti langkahnya menuju kamar, tapi sebelum aku sampai Aldric sudah menutup pintu kamar kami. Awalnya aku mencoba membuka pintu kamar tapi tak bisa karena sudah jelas Aldric mengunci pintu dari dalam.     

"Bagaimana bisa kau sebenci itu padaku?" Aku bergumam lirih dengan suara bergetar, seluruh kekuatan yang ku miliki sirna hingga membuatku terhuyung lemas dan jatuh kelantai. Tangisku tumpah tanpa suara. Bagaimana mungkin aku bisa kehilangan semua ini hanya karena sebuah keteledoran kecil? Aku akan kehilangan puteraku, aku juga akan kehilangan suami dan keluargaku?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.