THE RICHMAN

The Richman - Sheina Twelve Birthday



The Richman - Sheina Twelve Birthday

0(Anne Side)     
0

Semalam Adriann, Aldric, George, dan Richard baru saja merayakan ultang tahun Sheina yang ke dua belas tahun di rumah Ben. Gadis itu tumbuh dengan sangat cantik dan baik hatinya. Leah membesarkannya dengan sangat baik dan dia benar-benar tampak semakin mirip dengan Leah dan Ben meskipun tidak lahir dari rahim Leah.     

"Jadi kau akan pergi ke Inggis dalam waktu dekat?" Tanya Shiena.     

"Ya." Angguk George.     

"Cool." Shiena tersenyum palsu. Sebenarnya selama ini meskipun mereka sepupu dan tinggal berbeda rumah, bahkan cukup jauh, George dan Sheina cukup dekat. Bahkan Leah dan Adrianna sudah mempercayakan antar jemput Sheina ke sekolah pada George karena dia sudah mendapatkan fasilitas mobil dari ayahnya begitu dia memiliki drive lisence.     

"Kau sedih aku pergi?" Tanya George.     

"Nope." Geleng Sheina, dan itu membuat George tersenyum sekilas.     

"I bring you a gift." Ujar George saat mereka berada di ruang keluarga sementara keluarga besar tampak masih asik menikmati makan malam mereka.     

"What?" Mata Sheina berbinar melihat kado yang di bungkus dengan kertas pembungkus kado itu.     

"Just open it." George memberikan kado itu dan Sheina berterimakasih pada sepupunya, usia mereka terpaut enam tahun, jadi usia George saat ini hampir delapan belas tahun.     

"Thanks." Senyum Sheina mengiringi tangannya yang mulai membuka hadiah dari George.     

"Kalung?" Alis Sheina berkerut.     

"Ya." Angguk George. "Akan ku pakaikan." George mengambil alih kalung itu dan memakaikannya ke leher sepupunya itu.     

"Nice." Puji George.     

"Thanks Gorge."     

"You're welcome." George terdiam beberapa saat. "Bisakah kau berjanji untuk tidak melepasnya, no matter what." Tanya George dan Sheina sempat terdiam beberapa saat.     

"Em . . . why?" Tanyanya.     

"I want you to remember me whenever you see the necklace. " Ucap George.     

"Ok." Angguk Sheina.     

"Don't date anyone until you are in senior high school." George menatap dalam mata Sheina.     

"Argghhh . . ." Sheina memutar matanya. "Then what?" Tanyanya.     

"I will be really miss you lil sister." George mencubit ujung hidung Sheina dan wajah gadis belia itu merona merah.     

"Aku akan menyusul yang lain ke meja makan, aku sudah sangat lapar." Ujar George, pada akhirnya dia memilih untuk menyusul ke meja makan. Sementara Sheina tak lantas pergi ke meja makan menyusul keluarganya, dia menyempatkan diri untuk menyimpan kotak kado milik George di laci menja belajarnya dan melihat dirinya di cermin dengan kalung barunya. Sebuah kalung dengan liontin bulat kecil itu. Sheina menyelipkan kalungnya di dalam pakaiannya, wajahnya sempat bersemu mereah sebelum meninggalkan cermin di hadapannya.     

Pembicaraan dimulai di meja makan, Richard bertanya pada cucu paling tuanya, sebenarnya adalah cucu kandung satu-satunya, George.     

"Kapan kau akan berangkat ke UK?" Tanya Richard.     

"Tiga hari lagi." Ujar George.     

Adrianna menimpali, "Aku ingin dia kuliah di Amerika tapi this stubborn young man, tetap ingin berangkat ke UK." Ujar Adrianna.     

"Biarkan saja dia memilih dan melakukan apa yang dia sukai." Ujar Richard.     

Aldric mengangguk setuju. "Ya, biarkan dia melihat dunia luas."     

"But he's my only son." Adrianna terlihat masih belum bisa merelakan puteranya itu pergi.     

"By the way, ini adalah ulangtahun Sehina, bisakah kita berhenti membahasku." George sudah sering mendengar adu argument antara Adrianna ibunya dan Aldric ayahnya soal rencananya kuliah di Inggris.     

"Sorry . . ." Adrianna akhirnya bisa mengendalikan dirinya. "Sheinya, aku membawakanmu beberapa kado, kuharap kau suka." Ujar Adrianna kemudian.     

"Thank you Aunty." Jawab Sheina sopan.     

"Thanks." Leah berterimakasih pada kakak iparnya itu.     

"Oh ya Ben, bagaimana dengan rencanamu mendirikan anak perusahaan baru?" Tanya Aldric.     

"Sedang dalam proses." Jawab Ben. Selama dua belas tahun terakhir perkembangan usaha Ben cukup pesat. Semenjak kehadiran Sheina di dalam rumah, dia dan Leah seolah mendapatkan kejutan dengan berbagai pencapaian Ben dalam karirnya. Sementara Leah tetap bahagia mengurus puteri kecilnya dan menemani Sheina dalam setiap tahapan tumbuh kembangnya itu.     

"Ok, sekarang kita akan meniup lilin dan berdoa untukmu Sheina." Adrianna mengeluarkan kue ulangtahun yang dipesan khusus untuk keponakannya itu, begitu juga dengan Leah yang sudah membuatkan kue untuk puterinya itu. Suasana cukup meriah saat Sheina berdoa dan juga memotong kue ulangtahunnya. Namun setelah ritual itu, pembicaraan orang tua kembali mendominasi, tentang bisnis, tentang keluarga, tentang rencana-rencana yang dimiliki Adrianna untuk bisnis fashionnya dan juga rencanannya untuk membawa karya-karyanya ke New York Fashion Week.     

Sementara Sheina memilih menepi di taman bersama dengan George.     

"Kau tahu, ibuku sering merasa tidak pantas berada di keluarga ini." Ujar Sheina.     

"Ya, ibuku terlalu mendominasi. Maaf untuk itu." Sesal George.     

Sheina menghela nafas dalam, "Aku juga merasa tidak terlalu fit dengan keluarga ini." Ujar Sheina.     

"Apa maksudmu?" Tanya George.     

Sheina tertunduk. "Beberapa waktu lalu aku tidak sengaja menemukan dokumen adopsi." Ujar Sheina.     

George membeku, "Adopsi?" Alis George bertaut.     

"Aku anak adopsi George, dan tidak ada satupun yang memberitahuku soal itu." Ujarnya dengan wajah sedih. "Kau tahu soal itu bukan?" Tanya Sheina dan itu membuat George tak bisa memberikan jawaban. Meski saat itu George masih sangat kecil, tapi dia tahu bahwa bibinya Leah tidak pernah mengandung, sampai bayi Sheina dibawa pulang kerumah itu. Adrianna, ibunya sempat membicarakan soal adopsi dan itu jelas soal Sheina.     

"Aku tetap menganggapmu seperti sepupu kandungku, no one care about that."     

"I care George." Mata Sheina berkaca.     

"Hei . . . it's your birthday." George memeluk Sheina. Malam itu menjadi malam rahasia bagi George dan Sheina, mereka sama-sama tahu bahwa Sheina adalah anak adopsi tapi mereka tak berencana membicarakannya dengan para orang tua. Lagipula tradisi keluarga sedikit bergeser setelah anak-anak tumbuh dewasa, mereka lebih sibuk mengurusi bisnis dibandingkan anak-anaknya. Satu-satunya yang masih peduli pada apa yang dilakukan anaknya adalah Leah, karena dia ibu rumahtangga yang selalu ada untuk Sheina.     

***     

(Adrianna POV)     

Aku memanfaatkan saat-saat terakhirku bersama dengan puteraku sebelum dia pergi ke UK untuk melanjutkan studinya. Aku membangunkan dia, menyiapkan sarapannya dan bahkan terkadang aku ingin sekali ikut mengantarkan dia ke sekolah. Tapi karena ini masa transisi sebelum dia kuliah, jadi yang dia lakukan hanyalah bermain bersama teman-temannya. Ashok adalah salah satu teman dekatnya yang berasal dari India, dia sering sekali menginap dan menghabiskan semalaman untuk bermain game dengan George.     

Aku baru saja melihat ke kamar George dan tampak ada empat anak laki-laki di dalam sana, Ashok, George, Teddy dan Carig. Mereka seperti empat sekawan tampaknya, beberapa hari setelah kelulusan mereka habiskan dengan bermain game semalaman di rumah kami.     

Saat aku kembali ke dalam kamar, kulihat suamiku baru saja selesai mandi, seperti biasa dia adalah "morning person" yang tak pernah bermalas-malasan. "Apakah sudah tiba giliranku Mrs. Bloom?" dia tampak keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, dia hanya terlilit handuk di pinggang, satu lagi handuk di pakai untuk mengeringkan rambutnya.     

Aldric tak lagi muda, tapi semakin berumur entah mengapa aku melihat suamiku semakin sexy.     

"Kau tampak menikmati pemandangan Mrs. Bloom." Godanya.     

"Yes I do." Aku melangkah ke arahnya dan melilitkan tanganku di pinggangnya.     

"Kau berencana membuatku kotor lagi?" Tanya Aldric dan aku menggeleng. "Aku tidak ingin pria sexy di hadapanku ini terlambat menghadiri rapat paginya. "Aku melepaskan pelukanku dan berjalan ke arah walking closet untuk memilihkan stelan yang akan dikenakan suamiku hari ini. Tiba-tiba dia sudah berdiri di belakangku dan memelukku dari belakang. " Bagaimana jika aku memutuskan untuk terlambat datang ke kantor pagi ini. " Bisiknya di telingaku.     

"Ini bukan waktu yang tepat Sir." Aku menoleh padanya, dan kulihat dia mengangkat alisnya.     

Aldric melepaskan pelukannya seketika "Kau terlalu sibuk dengan bisnismu belakangan ini sampai aku kewalahan membuat jaji dengan isteriku sendiri." Protesnya sambil menerima kemeja yang ku sodorkan padanya. "George akan segera kuliah di UK dan tinggal kita berdua. Jika kau begitu sibuk dengan pekerjaanmu, aku mungkin akan lebih sering menghabiskan waktu bersama ayahmu untuk bermain catur." Protesnya lagi dan aku tergelak.     

"Ayahku juga butuh teman." Ujarku.     

Aldric menghela nafas dalam. "Kau memaksaku mengganti sekretarisku karena merasa dia terlalu muda, cantik dan cerdas. Kau memilihkan sekretaris pria untukku dan aku menerimanya begitu saja, tapi tidak ada imbal balik dari itu semua. Dirumah aku juga tidak mendapatkan pelukan hangat." Imbuhnya.     

"Apa kau sedang mengomel Mr. Bloom?" Aku melipat tanganku di dada, menatapnya sibuk mengancingkan kemejanya, meski pinggangnya masih terlilit handuk.     

"Yes I mad at you Mrs. Bloom. " Dia jelas hanya menggodaku.     

"Really?" aku berjalan mendekatinya, mengambil alih kancing kemejanya, meski dia tidak menolak tapi dia membuang muka. Oh bayi besarku, kau sangat menggemaskan. Kau bahkan cemburu pada pekerjaanku sekarang. Saat kita hanya memiliki George, kau juga cemburu padanya." Aku berbisik di telinganya. "Tunggu sampai New York Fashion Week berakhir, dan aku menjadi milikmu seutuhnya." Ujarku.     

"I can't wait anylonger." Aldric meraih wajahku, lalu menciumku dengan cepat namun penuh hasrat. Sebelum akhirnya dia melucuti kembali kemejanya dan kembali menciumku.     

"I miss you so much." Bisik Aldric di telingaku sebelum akhirnya menelanjangiku dan membuatku bebaring di sofa yang ada di sudut walking closet. Kami benar-benar bercinta di tempat itu seperti saat kami masih muda. Penuh gairah dan sangat panas.     

"Thanks for the hot, quick, morning services mam." Godanya.     

"Tidak ada waktu untuk bermalas-malasan Mr. Bloom. Segera rapikan dirimu dan berangkat ke kantor." Aku merapikan kembali pakaianku sementara dia segera memakai kembali kemejanya dan berjalan keluar menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum merapikan dirinya.     

Saat kami turun untuk sarapan, masih hanya kami berdua karena George dan teman-temannya belum bangun.     

"Kemarin Leah sempat berbicara tentang dirinya yang baru saja melakukan check up." Aku membuka suara, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku.     

"Check up?" Aldric mengkerutkan alisnya. "Apa dia sakit?"     

"Sepertinya begitu, belakangan dia merasa sering kurang enak badan." Ujarku.     

"Apa hasil pemeriksaannya?" Tanya Aldric.     

"Hari ini aku akan menemaninya ke rumahsakit setleah mengantar Sheina."     

"Ok sayang, aku senang kau memberi support untuknya. Aku melihat dia sering lebih banyak diam saat kita berkumpul dengan keluarga lainnya." Ujar Aldric.     

"Ya, aku selalu berusaha mendekat padanya meski tampaknya Leah tetap memberi jarak. Entahlah, dia selalu merasa bahwa kita berbeda dengannya meski aku tidak pernah memperlakukannya dengna berbeda."     

"Aku tahu itu, memang sulit untuk menyesuaikan diri." Ujar Aldric.     

"Aku akan menghubungimu lagi nanti, selesaikan sarapanmu. Aku akan menelepon Leah." Ujarku. Bagiku, aku selalu ingin menjadi kakak ipar yang baik untuk Leah. Aku tahu latar belakang keluarga yang bebeda cukup membuatnya tidak percayadiri bahkan setelah bertahun-tahun dia tampak belum bisa menyesuaikan dirinya dengan kami. Dan untuk hasil pemeriksaannya, aku berharap tidak ada hal buruk yang menimpa Leah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.