THE RICHMAN

The Richman - The Truth



The Richman - The Truth

0Leah mendadak merasa dirinya kehilangan tenaga bahkan untuk sekedar beridri, hingga akhirnya dia memutuskan duduk sejenak di meja dapur. Pagi ini dia bangun seperti biasa dan melakukan aktifitas seperti biasanya, tapi entah mengapa terkadang dia merasa cukup pusing, keringat dingin dan menjadi lemas.     
0

"Morning honney." Ben menyapanya dan mengecup keningnya.     

"Morning." Jawab Leah dengan senyum yang dia paksakan.     

"Kau berkeringat?" Ben tampak bingung.     

"Aku baru saja selesai memasak." Itu jelas bukan alasan yang tepat. "Dan entah mengapa cuaca belakangan ini terasa begitu panas."     

"Global warming." Jawab Ben dengan senyuman, dia tampak tak menaruh kecurigaan apapaun pada kondisi isterinya itu, dia mengambil kopi dari coffee maker. Bebrapa saat kemudian Sheina muncul dengan tas sekolahnya.     

"Morning mom . . .dad." Sapanya, tapi wajahnya tak tampak ceria.     

"Morning birthday girl." Sapa Ben ceria. "Selesaikan sarapanmu, dan daddy akan mengantarmu hari ini. Spesial karena puteriku yang paling cantik sedang berulangtahun." Ben terlihat antusias tapi tidak begitu dengan Sheina.     

"Aku ingin mengatakan sesuatu."     

Leah meraih tangan puterinya itu, "Katakan sayang, apa ada masalah?" Tanya Leah, dia begitu cemas dengan kebahagiaan puterinya itu hingga hampir setiap waktu dia selalu bertanya apa yang terjadi di sekolah, bagiamana teman-temannya, bagiamana pelajarannya, apa yang sulit, bagaimana gurunya berinteraksi dengan Sheina dan lainnya.     

Sheina menghela nafas dalam. "Apakah aku anak adopsi?" Tanyanya dan itu membuat petir seolah baru saja menyambar di siang hari, baik Ben maupun Leah membeku. Mereka memang berencana memberi tahu Sheina tentang jatidirinya tapi tidak sedini ini saat emosi dan kedewasaan Sheina belum cukup mampu untuk mencerna kenyataan itu.     

"Mengapa kau berpikir seperti itu?" Tanya Leah, dia berusaha bangkit dengan sekuat tenaga dan menyeret langkahnya memutari meja untuk memeluk puterinya itu.     

"Tolong jawab dengan jujur." Pinta Sheina, dia bahkan menolak di peluk oleh Leah hingga membuat mata Leah yang tadinya berkaca kini berlinangan air mata.     

"Sweetheart . . ." Ben menatap puterinya itu. "Kami tidak ingin menyembunyikan apapun darimu, tapi kami menunggu waktu yang tepat hingga kau cupup dewasa untuk mengetahuinya."     

Shena berkaca, dan dia mulai menangis. Ben segera menyambarnya dan memeluknya erat. "Bagi daddy dan mommy, kau lebih dari segalanya, tidak peduli adopsi atau apapun istilahnya, kau adalah puteri kami." Ben yang biasanya cukup keras hati kini benar-benar bisa ikut menitikkan air mata saat menjelaskan betapa berharganya Sheina baginya dan bagi Leah.     

Perjuangan yang dilakukan oleh Ben dan Leah yang bahkan hampir bercerai karena hadirnya kembali cinta lama Ben yang sempat cukup dekat karena kerjasama bisnis antara keduanya hingga Ben dan Leah bisa melewatinya karena mempertimbangkan Sheina. Dia benar-benar menjadi pemersatu ibu dan ayahnya meski dia bukan anak kandung mereka.     

Dan kini melihat puteri semata wayang mereka terluka karena tahu siapa jati dirinya, itu juga membuat Ben dan Leah terguncang. Masalahnya sepele, Leah meminta tolong Sheina mencari dompetnya di laci kamarnya sementara dia sedang di supermarket untuk berbelanja keperluan sehari-hari dan tampaknya lupa membawa dompet. Sheina berusaha menemuakan dompet ibunya itu, tapi justru tak sengaja dia melihat dokumen adopsi dirinya yang ditandatangi oleh Ben dan Leah.     

Leah memeluk Sheina sebelum dia berangkat ke sekolah dengan diantar oleh Ben sang ayah.     

"Kau marah pada mommy?" Tanya Leah dengan mata berkaca, Sheina menggeleng.     

"Aku tahu kau kecewa sayang, tapi itulah kenyataannya. Kami tidak ingin menyembunyikan apapun darimu." Ujar Leah dengan memegangi wajah Sheina. "Satu hal yang harus selalu kau ingat baik-baik. Bagi mommy, kau adalah anak kandung mommy. Meskipun mommy tidak melahirkanmu, tapi mommy merawat dan membesarkanmu dan demi dirimu mommy rela memberikan nyawa mommy sayang." Leah memeluk Sheina sekali lagi.     

"Jangan pernah berpikir bahwa setelah kau tahu keadaannya, semua akan menjadi berbeda." Ujar Leah. "Aku mencintaimu lebih dari nyawaku sendiri." Leah mencium pipi puterinya itu sebelum membiarkannya berangkat ke sekolah diantarkan oleh Ben.     

Sheina masuk ke dalam mobil lebih dulu sementara Ben masih sempat menghampiri Leah isterinya. "Are you ok?" Tanya Ben.     

"Yes." Angguk Leah, meski sejujurnya hatinya juga hancur berkeping-keping karena puterinya tahu tentang jati dirinya dengan cara tak sengaja seperti itu.     

"I love you." Bisik Ben. "Aku akan menghubungimu lagi nanti sayang."     

"Ya . . .aku baik-baik saja. Cepat antar Sheina atau dia akan terlambat." Leah tampak berpura-pura tegar meski Ben yakin betul bahwa isterinya itu tengah begitu remuk hatinya. Ben memberikan ciuman di kening dan juga pelukan singkat untuk Leah isterinya sebelum meninggalkan rumah.     

Setelah Ben dan Sheina pergi, Leah duduk sendiri di meja makan menghadapi secangkir teh yang masih mengepul, yang baru saja dia tuangkan di dalam cangkir. Dia teringat tentang begitu banyak peristiwa di masa lalunya, mulai dari bagaimana kehidupan di masa kecilnya yang bisa di bilang tak cukup menyenangkan. Bagiamana dia tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tua yang utuh, hingga bagaimana dia bertemu Ben, khayalannya yang menjadi kenyataan. Pria tampan kaya raya yang menikahinya pada akhirnya.     

Dia juga mengingat bagaimana pertama kali dia begitu berharap untuk bisa hamil dari rahimnya sendiri sampai bagaimana pertama kali dia melihat bayi Sheina. Tangisan setiap malam yang menghiasi malam-malamnya sampai Sheina berusia lima tahun. Bagaimana dia pertama kali mengatakan kata "mommy" dan "daddy", moment ketika bayi mungil itu mulai bisa merangkak, berdiri dan berjalan hingga dia mulai bisa berhitung dan mengeja.     

Kini Sheina tumuh menjadi gadis remaja awal, tapi tetap saja bayang-bayang adopsi itu tidak akan lekang dimakan waktu. Suatu saat ketika rahasia yang mereka simpan itu terbongkar akan ada perubahan yang besar dalam kehidupan berkeluarga mereka, dan benar, hari buruk itu terjadi hari ini.     

Leah meremas wajahnya, andai dia punya ibu yang bisa diandalkan tentu dia akan datang pada ibunya itu dan menangis di pelukan sang ibu untuk membuat bebannya lebih ringan. Sayangnya dia tak lagi memiliki ayah dan ibunya entah kemana tak pernah berkabar hingga kini. Leah bahkan tak tahu lagi apakah ibunya itu masih hidup atau sudah meninggal.     

Satu-satunya yang dia miliki adalah Adrianna, kakak iparnya yang begitu baik meski terkadang gaya hidup mereka cukup berbeda tapi Adrianna bisa menjadi tempat pelarian ketika masalah-masalah berat dia alami dalam rumahtangganya bersana Ben.     

Seperti saat Ben semapt hampir tertarik dengan cinta lamanya dan hubungan rumahtangga mereka kala itu seolah di ujung tanduk, Adrianna datang dan menenengahi hingga akhirnya Ben dan Leah kembali rujuk. Dia benar-benar bisa di andalkan dalam situasi apapun.     

Kala itu Adrianna menggunakan rumahtangganya bersama Aldric sebagai contoh saat kehadiran Javier mendadak membuat semuanya menjadi rumit dan kemudian kecelakaan itu menimpa dirinya. Tak banyak yang dikatakan oleh Adrianna pada Ben kala itu, dia hanya mengatakan sebuah kalimat. "Jangan sampai kau kehabisan waktu dan seumur hidupmu berakhir dengan penyesalan Ben." Ujarnya, dan malam itu Ben mendatangi Leah untuk berdamai dengan isterinya itu.     

***     

Ben mengantar Sheina setelah melewati tragedi pagi ini.     

"Kau marah pada daddy?" Tanya Ben, tapi Sheina tak menjawab.     

Ben menghelan nafas dalam. "Daddy ingin bercerita padamu tentang orangtua daddy, isteri dari Grandpa. Namanya adalah Christabell, kau bisa memanggilnya Grandma." Ben mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto Christabell.     

"Dia tumbuh dipanti asuhan hingga usianya lebih dari sembilan belas tahun. Karena setelah tujuh belas tahun dia membantu ibu panti asuhan itu mengurus adik-adiknya. Adik yang bahkan tak memiliki hubungan darah dengannya tapi grandma saat itu menganggap adik-adiknya sebagai adik-adik kandungnya." Ujar Ben dan Sheina menoleh ke arah ayahnya itu. Matanya berkaca.     

"Nenekmu mengatakan bahwa hidup tanpa orang tua itu tidak mudah. Keras dan pahit, jadi dia ingin saat kami tumbuh dewasa kami bisa memakai apa yang kami miliki untuk berbagi dengan anak-anak yang kurang beruntung yang tinggal di panti asuhan." Ujar Ben. "Tapi bukan itu alasan mengapa daddy dan mommy akhirnya mengambilmu dan mengasuhmu dengan sepenuh jiwa kami sebagai orangtuamu sayang." Ujar Ben.     

Dia menghela nafas dalam, "Ibumu tidak beruntung seperti banyak ibu-ibu lainnya yang bisa memiliki bayi dari rahimnya sendiri. Dokter mengatakan dia tidak bisa hamil karena alasan kesehatannya." Ujar Ben, dengan ibu jarinya dia menyeka air mata Sheina yang mulai berjatuhan.     

"Kami berkeliling untuk berdonasi ke panti-panti asuhan yang ada di kota ini sampai suatu hari kami melihat bayi mungkil dengan mata jernih yang begitu tenang dan tak banyak menangis." Ujar Ben. "Dan itu kau, mommy dan daddy jatuh hati padamu saat pertama kali melihatmu." Imbuhnya.     

Ben menghela nafas sekali lagi, "Sejujurnya tidak mudah bagi mommy untuk menerima kekurangannya. Berkali-kali dia menyalahkan dirinya sendiri dan begitu terpuruk, tapi setelah melihatmu mommy seolah menemukan kembali semangat hidupnya. Dia menemukan kembali semangat hidupnya dan kau benar-benar mengubah dunia mommy dan daddy." Ben meraih tangan Sheina dan menggenggamnya dengan lembut.     

"Kau akan tetap jadi anak kami, kesayangan kami, no matter what." Ben meyakinkan puterinya itu. Dan tanpa sadar mereka sudah tiba di gerbang sekolah. Ben mematikan mesin mobilnya dan turun dari mobil, memutari mobil berniat untuk membukakan pintu untuk puterinya itu tapi Sheina sudah membuka pintu itu dan turun dari mobil. Dia bahkan langsung berjalan menuju gerbang, tapi Ben tetap beridri menatap bayang-bayangnya semakin jauh.     

Tepat sebelum Sheina masuk, dia menoleh ke arah Ben dan Ben tersenyum menatap puterinya itu. Dengan berderai-derai air mata Sheina berlari kembali ke arah ayahnya dan memeluknya erat.     

"I love you dad." Bisik Sheina di tengah isakannya.     

"I love you too my baby girl." Ben tampak begitu terharu.     

Setelah beberapa saat Sheina melepaskan pelukannya dan Ben memegang wajah puterinya itu. "Ingat, apapun yang terjadi cinta mommy dan daddy tidak pernah berubah. Family is not only about the blood." Bisik Ben dan Sekali lagi dia memeluk puterinya itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.