THE RICHMAN

The Richman - Unpleasant Surprise



The Richman - Unpleasant Surprise

0"Sheina, apa kau belum di jemput?" Tanya Bella, teman sekelasnya.     
0

"Belum." Geleng Sheina. "Mungkin ibuku sedang sibuk." Jawab Sheina, setelah tadi pagi tragedi tentang pengungkapan statusnya sebagai anak angkat baru saja menimbulkan sedikit keretakan dari hubungan keluarga terutama di hati Sheina, kini masalah terlambat menjemput seolah membenarkan asumsinya bahwa dia tak lagi dicintai seperti sediakala.     

"Kau ingin pulang bersamaku?" Tanya Bella, "Supirku akan mengantarmu dulu sebelum kami pulang." Ujar Bella menawarkan. Bella dan Sheina adalah teman akrab di kelas, sejak merka sama-sama masuk di sekolah itu, mereka sudah mulai akrab dan hingga kini mereka berteman dengan sangat baik.     

"Ayolah." Bella menarik tangan Sheina begitu melihat mobil jemputannya datang. Dengan malu-malu Sheina masuk kedalam mobil bersama dengan Bella.     

"Mr. Frost, tolong antar temanku dulu ya." Ujar Bella.     

"Ya nona." Senyum Mr. Frost terlihat dari balik spion depannya, "Kemana saya harus mengantar teman anda nona?" Tanyanya lagi. Dengan malu-malu Sheina menyebutkan alamatnya dan Mr. Frost tampaknya langsung paham. Tanpa menunggu aba-aba mobil itu melaju mulus menembus jalanan kota.     

"Kau tampak murung hari ini, apa ada masalah?" Tanya Bella.     

"Tidak." Bohong Sheina.     

"Kau bisa mengandalkanku Sheina, aku akan menjaga rahasia ini, hanya antara kau dan aku." Bella meyakinkan.     

"Sungguh, aku hanya merasa tidak bersemangat, itu saja." Sheina adalah salah satu remaja yang begitu pandai menyembunyikan perasaannya. Rasa bahagia atau rasa sedih tidak pernah diekspresikan secara berlebihan olehnya. Dia cukup pandai berpura-pura bahagia meski sedang berduka, atau sebaliknya dan ini yang sedang coba dia lakukan di hadapan sahabatnya, Bella.     

"Ok, jika kau tidak ingin cerita sekarang. Tidak masalah." Bella menyerah pada akhrinya. Dan di sisa perjalanan mereka, Bella lebih banyak membahas teman-teman juga pelajaran, sementara Sheina mengimbangi seadanya saja, tidak merespon berlebihan tapi tak juga mengacuhkan. Hingga akhrirnya duapuluh menit kemudian mereka tiba di kediaman Sheina tapi Bella menolak untuk mampir. Dia memilih untuk hanya menurunkan Sheina dan langsung pergi dengan mobil dan supirnya.     

"Sampai jumpa besok." Bella melambai dengan ceria dan Sheina tersenyum sembari mengucapkan "Terimakasih." Sebelum mobil itu berlalu meninggalkan Sheina. Dengan gontai dia menyeret langkahnya masuk kedalam rumah, meski sejujurnya dia ingin lari ke tempat yang lainnya dan tidak bertemu lagi dengan ayah dan ibunya yang ternyata bukan orangtua kandungnya. Rasanya begitu buruk setelah merasa begitu nyaman dengan kasih sayang kedua orang tua dan tahu bahkan darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah Ben dan Leah, orang yang selalu dia anggap orang tua biologisnya.     

Sheina masuk diam-diam dan berjalan menuju kamarnya sampai dia mendengar percakapan heboh dari ruangan tengah. Tampak terdengar suara Adrianna yang begitu antusias menceritakan sesuatu, hingga Sheina memutuskan untuk bersembunyi dan menguping.     

"Kau tahu, aku bahkan hampir mati berdiri saat mendengar apa yang dikatakan dokter tadi." Ujar Adrianna, sementara Sheina tampak masih diam mendengarkan dengan saksama.     

"Dokter itu masuk dan langsung memeriksa Leah, lalu dia meminta dilakukan pemerisaan USG dan aku mendengar detak jantung itu Ben, ini gila, tapi ini keajaiban. Akhirnya kau akan memiliki anak dari darah dagingmu sendiri." Adrianna berteriak histeris penuh kebahagiaan dan itu membuat hati Sheina yang mendengarnya hancur berkeping-keping.     

"Ya, dan aku hanya bisa menangis." Leah menimpali, meski suaranya tak cukup keras, tapi Sheina bisa mendengarnya. "Setelah sekian lama." Ujarnya.     

"Hei . . .jangan menangis, ini adalah hari terbaik dalam hidupmu." Adrianna berbicara lagi, hanya terdengar seperti itu tapi sejujurnya Adrianna tengah memeluk Leah, dan suasana menjadi hening.     

Sheina menyeret langkahnya yang semakin berat menuju kamarnya dan mengunci kamarnya dari dalam. Bahkan tidak ada yang menyadari apakah dia sudah pulang sekolah atau belum, siapa yang menjemputnya, apakah dia sudah makan atau belum. Semua berfokus pada detak jantung bayi baru yang akan merebut semua yang menjadi milik Sehina selama ini.     

Dalam kamarnya, Sehina menangis dalam diamnya. Di usianya yang sedang beranjak remaja dia harus menerima berbagai kenyataan yang membingungkan tanpa petunjuk harus berbuat apa atau bersikap seperti apa. Semua yang dia dengar soal calon bayi baru itu seperti rencana kedatangan seorang monster menyeramkan yang akan datang padanya dan mengatakan padanya, "Menyingkirlah, aku adalah anak kandung ayah dan ibuku, dan kau bukan siapa-siapa." Gadis itu meringkuk memeluk gulingnya.     

***     

Beberapa waktu setelah Ben, Adrianna dan Leah selesai berbincang-bincang soal keajaiban hari ini yang terjadi pada pemeriksaan yang dilakukan Leah dengan ditemani Adrianna, wanita itu pamit pulang dan menyisakan Ben dan juga Leah saja.     

"Bagaimana perasaanmu?" Tanya Ben.     

"Bingung." Jawab Leah.     

"Why?" Alis Ben bertaut.     

"Aku tidak muda lagi Ben, dan kehamilan ini beresiko. Lagipula aku bingung bagaimana harus mengatakannya pada Sheina." Leah terlihat murung. Saat menyebut nama puterinya itu Leah terlonjak "OH GOD!" Dia baru sadar bahwa hari ini jadwal Sheina pulang lebih awal karena ada satu kelas yang diliburkan dan dia melewatkan jam menjemput Sheina.     

"Ini belum waktunya dia pulang sayang." Ujar Ben santai.     

"Tidak, dua hari lalu dia mengatakan kalau hari ini salah satu kelasnya diliburkan dan dia akan pulang lebih awal, tapi aku lupa." Sesal Leah.     

"Aku akan meminta Ryan untu menjemputnya." Ben berjalan untuk menemui supirnya dan memintanya menjemput Sheina.     

"Duduklah, jangan panik." Ben meminta Leah duduk, tapi wanita itu terus mencoba menghubungi ponsel Sheina dan tidak aktif.     

"Ponselnya tidak aktif." jawab Leah frustasi.     

"Tenanglah, kita akan menunggunya di rumah."     

Leah menghela nafas dalam. "Bagaimana harus memberitahunya setelah semua kekacauan hari ini?" Leah terlihat muram, sebenarnya kejutan ini bukanlah kejutan yang sepenuhnya membahagiakan, setelah menunggu lebih dari tiga belas tahun mengapa Tuhan baru memberikannya sekarang, saat Leah sudah begitu nyaman hanya dengan memiliki Sheina sebagai satu-satunya puterinya.     

"We'll find the way." Ben meraih tangan isterinya itu dan meremasnya. Bahkan Ben menggulung isterinya itu dalam pelukan. Mereka menghabiskan waktu duapuluh menit menunggu, Ben dengan kesabaran dan optimistisnya sementara Leah dengan kepanikan dan kekhawatirannya pada puteri yang begitu dicintainya itu.     

Dia segera meminta supirnya untuk datang ke sekolah dan menjemput Sheina tapi setelah dua puluh menit dalam perjalanan sang supir menelepon bahwa Sheina tidak berada di sekolah.     

Ben dan Leah menjadi panik seketika. Mereka sibuk menghubungi teman-teman Sheina untuk menemukan gadis itu, tapi tidak satupun mengatakan bahwa mereka melihat Sheina pulang. Beberapa mengatakan Sheina masih menunggu di jemput saat mereka meninggalkan seolah. Dan satu-satunya yang terakhir belum bisa di hubungi adalah Angelica, ibu dari Bella, hingga akhirnya Ben memutuskan untuk menyusul ke sekolah dan menemui gurunya.     

Dia bahkan harus melihat ke CCTV kapan dan jam berapa Sheina meninggalkan sekolah, atau siapa yang menjemputnya atau memberinya tumpangan. Hampir tiga jam semua kepanikan itu membuat mereka semua tak bisa berpikir jernih.     

"Halo sayang." Ben menghubungi Leah yang berada di rumah.     

"Bagaimana, apakah ada titik terang?" Leah terlihat panik saat menjawab pesan suaminya itu.     

"Dia pulang bersama Bella, kami melihatnya di CCTV sekolah." Ujar Ben. Dan Bella segera menghubungi orang tua Bella untuk mencari tahu dimana keberadaan puteri mereka.     

"Aku akan menelepon orang tua Bella." Leah mengakhiri panggilannya pada sang suami dan dia segera menghubungi orang tua Bella untuk menemukan keberadaan Sheina, mungkin saja karena kejadian pagi tadi Sheina menjadi enggan pulang kerumah dan memilih untuk berada di rumah temannya.     

"Halo Mrs. Hudson." Leah membuka pembicaraan dengan sopan.     

"Oh, Mrs. Anthony." Sapaaan ramahnya berbalas dengan keramahan yang sama dari Angelica, orang tua Bella. "Ada apa menghubungiku."     

"Em, sebelumnya aku ingin berterimakasih karena kebaikanmu sudah memberikan tumpangan pada puteriku saat pulang sekolah tadi. Kami benar-benar melewakan waktu menjemputnya tadi." Jujur Leah.     

"Oh ya, akupun begitu sibuk hari ini hingga supirku yang menjemput Bella." Ujar Angelica.     

"Tapi masalahnya, puteriku belum sampai di rumah, apakah dia ada di rumah anda sekarang?" Tanya Leah dengan hati-hati, karena jika tidak ini akan berubah menjadi petaka, seolah sebuah tuduhan penculikan yang baru saja dia lontarkan pada si pemberi tumpangan.     

"Bella . . ." Angelica memanggil puterinya, dan Leah bisa mendengarkan percakapan mereka karena panggilan itu masih terhubung. "Apa kau memberi tumpangan pada Sheina hari ini?" Tanya ibunya.     

"Ya." Jawab Bella.     

"Tapi Sheina tidak berada di rumah." Jawab Angelica. "Ibunya mengatakan dia belum sampai."     

"Mom, kami mengantarnya sampai di depan pintu." Jawab Bella.     

"Mrs. Anthony, puteriku mengatakan bahwa mereka mengantar Sheina sampai ke depan pintu."     

"Oh, baiklah. Terimakasih banyak. Aku akan mencarinya lagi." Jawab Leah sungkan. Dia segera mengakhiri panggilannya. "Terimakasih banyak, maaf sudah mengganggu waktumu."     

"Tidak masalah, aku harap kau bisa segera menemukan puterimu."     

"Thanks."     

Leah mematikan ponselnya dan berjalan ke arah kamar Sheina, tampaknya pintu itu terkunci, tapi Leah memiliki kunci cadangan untuk membukanya. Dan dia melihat Sheina masih mengenakan pakaian yang dia kenakan pagi tadi untuk pergi sekolah, meringkuk memeluk guling dengan jejak air mata, dan dia jatuh tertidur.     

Leah memegangi ponselnya di dada, matanya berkaca dan dia segera duduk di sisi ranjang puterinya itu, tangannya mengusap lembut helaian rambut Sheina yang menjuntai menutupi sebagian wajahnya.     

Sheina merasakan sentuhan di wajahnya dan menjadi terbangun, tapi saat melihat itu ibunya, ibu angkatnya Sheina memilih menutup wajahnya.     

"Sheina . . . look at mommy." Bisik Leah, suaranya bergetar.     

"Aku bukan anak kandung mommy." Tolak Sheina dengan suara parau, tampaknya gadis belia itu kembali menangis. "Lagipula mommy akan segera punya anak kandung, mommy tidak akan membutuhkanku lagi." Ujarnya di tengah isakan. Air mata Leah berlinangan, dia meraih tangan puterinya itu dan menciuminya.     

"Mommy tidak tahu harus bagaimana sekarang, mommy merasa begitu bersalah padamu, maafkan mommy." Leah terus menciumi tangan puterinya itu.     

"Selama dua belas tahun mommy begitu mencintaimu, tanpa syarat." Ujarnya. "Dan sekarang ketika mommy tahu bahwa ada bayi lain di dalam perut mommy, . . . " Leah terisak. "Mommy merasa menjadi ibu yang paling kejam, mommy bahkan merasa tidak pantas menjadi ibumu karena sudah membuatmu terluka sayang." Leah meringkuk memeluk puterinya itu.     

"I love you . . . i love you." Bisiknya di sela isakan, meskipun awalnya Sheina memberontak, tapi akhirnya dia berbalik dan memeluk ibunya itu.     

"Kejutan tidak menyenangkan ini juga menghancurkan hati mommy." Bisinya pada puterinya itu. "Tapi bayi kecil ini juga tidak bersalah, dia sama sepertimu sayang. Dia hanya hadir untuk dicintai, dan mommy punya begitu banyak cinta untuk dibagikan padamu dan padanya tanpa harus ada yang dikurangi." Leah meyakinkan puterinya itu.     

"Aku ibumu, dan kau puteriku, akan selalu seperti itu sampai kapanpun." Leah menciumi Sheina dan gadis itu menangis sesenggukkan di dalam pelukan ibunya. Pelukan paling hangat yang selalu dia rasakan di duabelas tahun kehidupannya, dan dia tidak akan pernah siap kehilangan itu untuk alasan apapun.     

"Tidak akan ada anak kandung atau anak angkat, bagiku kau puteriku, sampai kapanpun."     

"Jangan tinggalkan aku mom." Bisik Sheina, dia mendongak menatap ibunya itu dengan linangan air mata, seperti bocah berusia lima tahun yang benar-benar ingin dicintai.     

"Never ever, never . . ." Leah meraih wajah puterinya itu dan memeluknya sekali lagi dengan erat, sangat erat seolah tak ingin ada yang bisa memisahkan mereka lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.