THE RICHMAN

The Richman - Car Accident



The Richman - Car Accident

0George baru bangun dan dengan bantuan kursi roda didorong oleh Aldric menuju meja makan. Disana sudah ada Adrianna duduk menghadapi tiga porsi sarapan yang sudah dibuat untuknya, anaknya dan suaminya. Mata sembabnya jelas tak bisa di sembunyikan oleh Adrianna.     
0

"Mom . . ."George tersenyum menatap Adrianna dan dibalas oleh ibunya itu.     

"Nikmati sarapanmu jagoan." Ujar Adrianna.     

George melihat dua koper besar ada di dekat tempat duduk Adrianna. "Mommy mau pergi?" Tanya George, dan Aldric diam saja, seolah menganggap Adrianna tak ada di tempat itu.     

"Ya, mommy akan menemani Grandpa untuk beberapa saat. Grandpa sedang tidak terlalu sehat sayang." Bohong Adrianna.     

"Mengapa Grandpa tidak tinggal di rumah kita saja?" George bukan anak kecil yang bisa dengan mudah dibohongi. Logikanya sudah berjalan dengan baik dan jelas menjadi perkara yang sulit bagi Adrianna untuk menjelaskan situasinya saat ini.     

"Entahlah, Grandpa ingin tinggal di rumahnya sendiri, jadi harus ada yang mengurusnya sementara."     

"Mengapa bukan aunty Leah yang mengurus Grandpa?" Tanya George lebih lanjut, sementara Adrianna gelagapan menjawabnya.     

"Sayang, makan makananmu. Ada daddy yang akan mengurusmu sementara mommy tidak ada." Aldric menyodorkan piring berisi sarapan milik George dan juga segelas susu hangat untuk dia minum. "Biarkan mommy pergi sekarang, Grandpa menungunya." Aldric mencoba membujuk George tapi rasanya lebih seperti dia sedang berusaha mengusir Adrianna dari rumah ini.     

"Ya." Angguk Adrianna. Dia segera memeluk George.     

"Aku akan segera menemuimu sayang, begitu kondisi Grandpa membaik." Bohongnya, yang coba dia lakukan adalah melindungi puteranya dari citra buruk perkelahian atau pertengkaran orang tua di hadapan anak yang mungkin justru akan menimbulkan luka yang jauh lebih serius di benekanya.     

Dalam hati Adrianna, dia merasa jika Aldric memang menginginkannya pergi, maka dia juga akan pergi. Baik Aldric maupun Adrianna sama-sama butuh waktu untuk menenangkan diri agar bisa melihat masalah ini dengan lebih jernih saat mereka berjauhan. Emosi mereka akan lebih netral sebelum mereka menentukan pilihan selanjutnya yang ingin mereka ambil.     

Adrianna berhenti melangkah, dengan masih memegangi kopernya dia berbalik ke arah puteranya karena suara George tiba-tiba membuat langkahnya semakin berat.     

"Daddy belum mencium mommy." Ujarnya.     

Adrianna tersenyum getir ke arah puterainya itu, air matanya hampir tumpah saat itu juga, karena kebiasaan di keluarga mereka memang seperti itu. Selalu ada ciuman dan pelukan sebelum salah satu anggota keluarga meninggalkan rumah.     

Aldric terihat kikuk, tapi toh dia tetap berdiri dari kursinya dan menghampir Adrianna sambil berujar "Oh, daddy hampir lupa."     

Hati Adrianna semakin kecut saat mengenang beberapa waktu lalu saat usianya masih tiga tahun George pernah bertanya mengapa mereka harus saling mencium atau memeluk satu sama lain sebelum berpisah? Dan Aldric menjawab, bahwa banyak sekali kemungkinan di dunia ini yang bisa terjadi kapan saja. Perpisahan itu sesuatu yang tidak mengenakkan, dan untuk memberikan kesan baik sebelum berpisah kita memberikan pelukan atau ciuman untuk memberikan kesan baik dan dukungan pada orang yang kita sayangi untuk cepat kembali.     

Dan entah mengapa dalam pelukan singkat itu, Adrianna masih menaruh keyakinan dalam hatinya bahwa Aldric masih mengharapkannya cepat kembali.     

"You don't kiss her?" Protes George lagi dan Aldric mencium pipi Adrianna sekilas. "I miss you so much." Gumam Adrianna dalam hati, tampaknya dia benar-benar ingin meneriakkan kata-kata itu tapi tidak bisa. Wanita malang itu memilih untuk menelan kembali kalimatnya dan tersenyum palsu untuk mencitrakan kepergiannya bukanlah hal yang buruk sama sekali bagi sang putera.     

Adrianna tertunduk tapi terus berusaha menyeret langkah beratnya menuju pintu keluar, dalam hatinya dia bergumam "Aku bahkan belum menyantap sarapanku sama sekali saat aku meninggalkan rumah itu, rumah yang dulu dengan bangga ku sebut sebagai rumahku, namun sekarang harus kukatakan bahwa itu rumah puteraku dan suamiku."     

Adrianna mengendarai mobilnya dan entah mengapa setelah meninggalkan pagar rumah besar bernuansa putih yang selalu mereka sebut white house itu hatinya hancur berkeping-keping, air matanya berderai hingga membuat pandangan matanya kabur. Namun seolah ingin lari dari kenyataan pahit itu, kakinya menginjak pedal gas hingga membuat lanju kendaraan yang di tumpanginya semakin cepat. Adranna bahkan menyalakan musik keras agar tidak ada yang tahu bahwa saat itu dia bahkan tengah menangis dengan suara keras di dalam mobilnya sendiri.     

Di kejauhan terdengar bunyi klakson tapi tak dihiraukannya hingga mendadak dari arah kiri mobil itu dihantam dengan keras oleh SUV berkecepatan tinggi tempat di sebuah perempatan jalan hingga mobil itu berguling dan terseret beberapa meter hingga akhirnya berhenti setelah menghantam trotoar jalan.     

Teriakan histeris dari para pengguna jalan yang tengah berjalan kaki di sekitar lokasi kejadian juga suara klakson menambah dramatis kejadian itu. Beberapa orang berlari untuk melihat keadaan wanita dalam sedan hitam mengkilap yang kini tak berbentuk lagi itu, begitu juga dengan si pengendara SUV yang akhirnya turun untuk melihat keadaan lawan tabrakannya. Tampaknya bamper SUV rusak parah namun sang pengemudi, pria berusia tiga puluh sembilan tahun bernama Thomas itu baik-baik saja.     

Thomas dan beberapa orang membantu mengeluarkan Adrianna dari dalam mobil yang mulai berasap itu. Beberapa datang dengan membawa fire gun untuk menghindari ledakan dalam mesin dan akhirnya Adrianna berhasil dikeluarkan dari dalam mobil. Sekitar sepuluh menit kemudian Ambulance datang dan segera membawa Adrianna ke rumahsakit terdekat. Saat itu Adrianna berada dalam kondisi praktis tak sadarkan diri.     

Untunglah salah satu pengguna jalan mengenalinya, karena itu kolega Aldric. Pria itu segera menghubngi Aldric.     

"Selamat pagi Mr. Bloom." Sapa pria bernama Rob itu.     

"Oh, Mr. Harrington." Aldric menjawab teleponnya dengan ramah. "Sayang daddy akan segera kembali." Ujar Aldric.     

"Apa isteri anda sedang keluar rumah pagi ini dengan sedan hitam?" Tanya Rob memastikan, karena sebagian wajah Adrianna sudah berlumuran darah, Rob tidak berani meyakinkan apakah wanita itu adalah isteri koleganya atau bukan. Tapi dia mengenal sedan itu karena baru sekitar bulan lalu Aldric membelikan sedan itu untuk isterinya.     

Aldric menautkan alisnya. "Ya." Jawabnya penasaran.     

"Sedan yang anda belikan untuk hadiah ulangtahunnya?" Rob menegaskan lagi.     

"Ya." Rahang Aldric mengeras, "Bisakah anda langsung pada intinya?" Tanya Aldric penasaran.     

"Maaf sir, tapi baru saja isteri anda mengalami kecelakaan dan sekarang sedang dibawa ke rumah sakit. Aku akan mengirimkan alamatnya pada anda." Ujar Rob. Panggilan itu berakhir dan Rob segera mengambil gambar mobil yang hancur milik Adrianna,masih di posisi yang sama dengan darah yang mengalir di sekitarnya juga alamat rumahsakit tempat Adrianna dilarikan.     

Aldric terhuyung, dia segera menghampiri puteranya itu. "Sayang, bibi Leah akan datang beberapa saat lagi. Bisakah Daddy pergi sebentar dan kau bermain bersama bibi Leah?" Tanya Aldric dan George mengangguk, si penurut itu tak pernah banyak protes.     

Aldric segera menghubungi Leah dan menjelaskan apa yang terjadi pada Adrianna secara singkat dan meminta Leah datang untuk menjaga George sementara dirinya akan pergi ke rumahsakit untuk melihat kondisi isterinya. Sementara Leah belum tiba, Aldric meminta Sarah untuk menemani puteranya itu.     

***     

Dengan gusar Aldric menyetir sendiri kendaraannya menuju rumahsakit yang dialamatkan oleh Rob Harrington koleganya dari dealer mobil. Dia tidak menyangka bahwa hadiah ulang tahun yang diberikannya untuk Adrianna akan menjadi mesin pencabut nyawa isterinya itu. Jika dia tahu bahwa semua akan berakhir seperti ini mungkin Aldric akan memikirkan ulang untuk membiarkan isterinya itu pergi.     

Kalimat yang keluar dari mulit Aldric malam itu, yang pada intinya meminta Adrianna meningglkan mereka bukan berarti seperti ini. Bukan meminta Adrianna pergi untuk selama-lamanya.     

Dalam hati Aldric jelas begitu mencintai isterinya itu, hanya saja melihat Adrianna masih menemui Javier bertepatan dengan insiden penembakan di sekolah itu membuat hati Aldric terluka dalam. Hingga kelauar kata-kata yang bernada pengusiran.     

Sejujurnya Aldric dan Adrianna adalah dua orang yang sama-sama terluka karena keadaan yang tengah berusaha mencari jalan keluar masing-masing. Sayangnya mereka tak berusaha mencari jalan keluar bersama hingga kejadian buruk berikutnya terjadi.     

Begitu turun dari mobilnya Aldric segera berlari ke arah meja resepsionis untuk menanyakan dimana isterinya. Resepsionis di rumahsakit mengatakan bahwa isterinya tengah menjalani operasi dan menunjukkan ruangannya.     

Aldric berlari dengan cepat menuju ruangan itu, sebuah ruanganan yang tertutup dimana hanya tenaga medis yang boleh mengaksesnya. Lampu tanda tengah berlangsungnya sebuah tindakan didalam ruangan menyala dan terdengar bunyi beep dari alat-alat medis di dalam ruangan.     

Lutut Aldric lemas saat membayangkan isterinya tengah menjalani tindakan untuk menyelamatkan jiwanya. Air matanya berjatuhan melihat Adrianna yang sangat dicintainya sekaligus dibencinya itu berbaring tak berdaya. Ben datang ke rumahsakit beberapa saat kemudian sementara Richard tidak diberitahu apa yang menimpa puterinya itu.     

Tak berapa lama Leah datang kerumah Aldric dan segera menemui George. Tak mudah bagi Leah setelah mendengar berita buruk tentang kakak iparnya dan masih harus berakting seolah semuanya baik-baik saja di depan keponakannya itu.     

"Hai jagoan." Sapanya dan George menyambutnya dengan girang.     

"Apa yang ingin kau lakukan hari ini?" Tanya Leah sembari membawa George menuju kamarnya dengan kursi roda.     

"Entahlah, aku tidak bersemangat sama sekali." Jawab George, itu membuat Leah berhenti mendorong dan berjongkok di hadapan keponakannya itu. "Apa yang membuatmu merasa seperti itu?" Tanyanya lembut.     

"Mommy pergi tadi pagi dengan dua koper besar, mommy mengatakan bahwa dia akan mengurus grandpa. Tapi entah mengapa aku merasa mommy tidak akan kembali ke rumah ini lagi." Tatapan nanar bocah berusia lima tahun itu menghancurkan hati Leah, dia memeluk George dan menangis dalam hatinya.     

"Mommy akan kembali ke rumah ini sayang."Leah mengusap-usap punggung anak malang itu.     

***     

Sementara Ben baru saja tiba di rumahsakit dan segera menghampiri Aldric.     

"Bagaimana keadaannya?" Tanya Ben dengan wajah pucat. Ben menepuk pundak Aldric dan turut berempati pada rumahtangga yang sedang dibangun oleh kakak dan kakak iparnya itu. Bertubi-tubi masalah datang dan menghantam rumahtangga mereka.     

"Dia sedang menjalani tindakan didalam." Jawab Aldric setelah dia menyeka jejak airmatanya. Hampir dua jam Adrianna berjuang untuk mempertahankan hidupnya di meja operasi sementara Aldric dan Ben menunggu dengan cemas di luar ruangan bedah itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.