THE RICHMAN

The Richman - Badly Sick



The Richman - Badly Sick

0Sepanjang sisa hari Layla tampak murung dan memilih untuk diantarkan pulang ke apartmentnya. Kebingungannya yang mendadak datang solah menandakan hal yang buruk tengah mengerogoti dirinya.     
0

"Ibu yakin akan berada di apartment sendiri?" tanya Christabell memastikan, setelah dia menuruti keinginan sang ibu untuk di antarkan pulang.     

"Ya sayang, aku akan baik-baik saja. Aku hanya ingin istirahat." Ujarnya.     

Christabell melepaskan ibunya dengan khawatir. "Cepat pulang, anakmu menunggumu di rumah." Ujar sang ibu sebelum tenggelam di balik pintu apartmentnya. Hati Christabell menjadi kecut seiring langkahnya menjauh dari unit apartment yang di tinggali ibunya itu. Bell begitu khawatir dengan kondisi ibunya tapi tak bisa berbuat banyak, Layla tampaknya tengah menyembunyikan banyak hal dari puterinya itu.     

Setibanya dirumah Christabell segera menghubungi dokter keluarga untuk menanyakan berbagai kemungkinan yang dialami ibunya itu.     

"Dokter Peter." Christabell menyapa dokter keluarganya itu melalui sambungan telepon.     

"Oh Mrs. Anthony." Balas sang dokter ramah. "Ada yang bisa kubantu nyonya?" tanya sang dokter.     

"Em, salah satu keluarga kami, tapi anda beum pernah bertemu dengannya. Mungkin akan sedikit membingungkan bagimu, tapi dia ibuku." Christabell kelabakan menjelaskan angota baru dalam keluarga Anthony kali ini.     

"Ya." Dokter Peter tampak tak menyoal siapa yang akan di konsultasikan oleh kliennya ini. Yang terpenting adalah penjelasan tentang gejala yang dialaminya, karena itu akan menentukan diagnose meskipun belum diagnosa final.     

"Dia mendadak ketakutan dan merasa tersesat, bahkan tampak kesulitan mengenali orang."     

Dokter Peter terdiam sesaat. "Apa dia mengalami stress belakangan ini?"     

Sulit untuk mengiyakan karena Christabell juga tak begitu yakin dengan kondisi ibunya sebelum bertemu dirinya. "Aku tidak yakin, tapi beberap hal mungkin membuatnya berpikir terlalu berat."     

"Stress kadang-kadang bisa menyebabkan berbagai gangguan pada diri seseorang, termasuk kecemasan. Aku tidak ingin menduga-duga, tapi aku bisa memberikan rekomendasi dokter spesialis syaraf di rumahsakit terbaik di kota ini."     

"Terimakasih dokter." Christabell cukup terpukul, meskipun dia bukan orang yang berlatar belakang pendidikan medis tapi istilah dimensia tentu saja sudah cukup familiar. Sederhananya itu adalah penyakit yang membuat seseorang kehilangan banyak ingatanya Dimensia sendiri memiliki berbagai kategori.     

Dokter Peter menghela nafas dalam. "Sebaiknya bawa ibumu ke dokter spesialis Mrs. Anthony, di usia senja orang terutama wanita lebih rentan mengalami gejala dimensia mulai dari yang ringan hingga berat." Jawab sang dokter bijaksana.     

***     

Bell mengakhiri panggilannya pada dokter Peter dan segera menghubungi suaminya. Tangannya bahkan gemetaran saat menyentuh layar ponselnya untuk mencari nomor kontak suaminya dan menghubunginya. Bell bahkan mengigit ujung-ujung kukunya sembari menunggu Rich menerima panggilannya. Dia terlihat begitu cemas, selain mengigit ujung kukunya, Bell juga tampak mondar-mandir di balkon kamarnya.     

"Halo sayang." Jawab Rich setelah Christabell menunggu cukup lama dalam kecemasan. Namun bukannya langsung menyahut, begitu mendengar suara suaminya, Christabell justru tak bisa berkata-kata. Dia membeku dalam kebingungan, harus memulainya dari mana.     

"Sayang, apakah kau baik-baik saja?" Desak Rich. Tidak biasanya Christabell menghubunginya di jam kerja seperti ini jika tidak ada masalah yang sifatnya mendesak.     

Christabell menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya. "Rich, apa kau sibuk sekarang?" Tanya Bell setelah dia bisa mengendalikan dirinya.     

"Aku baru saja menyelesaikan rapatku pagi ini." Jawab Richard, "Apa kau baik-baik saja sayang?" Tanya Richard untuk memastikan lagi.     

"Tadi ibuku mendadak bertingkah aneh." Jujur Christabell.     

"Bisa kau jelaskan lebih detail." Pinta Rich.     

Christabell menghela nafas dalam. "Tadi dia menghilang saat sedang menggendong Adrianna. Kami mencarinya dan saat ditemukan dia terlihat kebingunan. Tatapannya kosong dan sempat tidak mengenaliku untuk sesaat."     

"Kau yakin?" Richard terdengar khawatir.     

Christabell menjawab. "Aku sudah mengkonsultasikannya pada dokter Peter dan dia memintaku membawa ibu untuk berkonsultasi ke spesialis syaraf. Jika bukan gangguan kecemasan biasa, mungkin itu gejala awal dimensia."     

Richard berpikir cepat. "Bawa kerumahsakit sekarang juga."     

"Aku baru saja ingin meminta pendapatmu."     

"Tidak perlu ditunda. Serahkan Adrianna pada Zoey, aku akan segera pulang jika memang kau ingin aku pulang."     

"Tidak. Zoey dan Adrianna akan ikut denganku." Jawab Bell.     

"Sebaiknya kalian diantarkan oleh supir."     

"Ok."     

Panggilan mereka berakhir. Christabell bergegas membawa serta bayinya juga Zoey sang pengasuh bayi untuk menjemput paksa ibunya dan membawanya kerumahsakit. Namun setelah tiba di apartment ibunya, hal yang lebih buruk terjadi.     

Layla berdiri di ambang pintu dan menatap Christabell dalam kebingungan.     

"Mom…" Christabell menyebut Layla dengan panggilan itu tapi sang ibu tak merespon.     

Dia tampak kebingungan. "Who are you?" Tanyanya, sontak membuat Christabell membeku, matanya yang semula hanya berkaca kini air mata itu mulai berjatuhan.     

"Ibu tidak mengenaliku?" Bibir Christabell bergetar menanyakan hal itu.     

Layla mengusap lehernya, pertanda ketidaknyamanan. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"     

"Satu jam yang lalu kita bertemu."     

Layla masih belum bisa mengenali Christabell dengan baik, hingga Christabell harus mengambil ponselnya dan menunjukkan fotonya yang diambil tanpa sepengetahuannya oleh Christabell.     

Christabell menghubungi nomer ponsel ibunya dan menunjukan layarnya pada Layla, di layar itu tertulis "Calling My Mom." dan hanya dalam hitungan detik ponsel Layla yang berada di saku celananya bergetar.     

"My Little Angel." Layla membeku menatap layar ponselnya, tapi tidak ada reaksi lainnya selain kebingungan.     

"Ikutlah aku, kumohon." Christabell mengakhiri panggilannya dan memasukkan kembali ponselnya kedalam tas selempang yang dia bawa. Meski belum bisa mengenali Bell dengan baik tapi Layla mengalah dengan masuk kedalam apartment kemudian mengambil jaket rajut miliknya dan berjalan mengikuti Christabell.     

"Kita akan mencari pertolongan pada ahli, jadi percayalah padaku." Christabell membisikan kata-kata itu sembari meremas tangan ibunya. Sebenarnya selain memberikan support pada ibunya, Bell juga tengah berusaha menyemangati dirinya sendiri. Begitu berat baginya melihat kondisi ibunya seperti ini.     

***     

Christabell sudah membuat janji dengan dokter dan sang dokter justru di buat terkejut, karena pasien yang datang adalah pasien yang tempo hari sudah berkonsultasi dengan dirinya.     

"Mrs. Stone." Sang dokter justru sudah mengenali Layla sebelum wanita itu mengingat siapa pria tua berkacamata yang duduk di hadapannya.     

"Anda mengenal ibuku?" Tanya Christabell bingung saat mereka berdua duduk berhadapan dengan dokter.     

"Mrs. Stone datang padaku minggu lalu dengan keluhan mudah lupa, sering cemas dan mendadak bingung. Dia juga merasa terkadang kesulitan mengenali tempat, atau mengingat wajah orang beserta namanya." Terang sang dokter.     

"Aku sudah memintanya melakukan pemeriksaan lanjutan, dan hasilnya kebetulan baru keluar hari ini. Kami harusnya bertemu janji besok, tapi karena kalian sudah datang, sebaiknya aku jelaskan hasil labnya sekarang. "     

Christabell meraih tangan ibunya itu dan mengenggamnya erat. Yang justru sangat menyedihkan adalah ketika Layla tak berekspresi bahkan ketika mendengar semua yang dikatakan dokter. Itu pertanda dia benar-benar lupa dengan semua kejadian yang terjadi padanya, tadi, kemarin bahkan hari-hari sebelumnya.     

"Apa yang terjadi pada ibuku?" Desak Christabell penasaran.     

"CADASIL." Jawab sang dokter singkat.     

Christabell membulatkan matanya, berusaha memahami kata itu tapi gagal karena kosa kata itu benar-benar baru di telinganya. "Celebral Autosomal Dominant Artheriopathy"     

"Tolong jelaskan dengan kalimat yang bisa kuterima dok." Pinta Christabell, darah mulai surut dari wajahnya.     

"Ini sejenis penyakit genetic yang disebabkan oleh perpindahan gen pada kromosom yang akan mempengaruhi pembuluh kecil pada otak manusia." Ujar sang dokter.     

Alis Christabell berkerut dalam. "Apa anda yakin ibuku mengalaminya?"     

Sang dokter menghela nafas dalam. " Dari semua gejala yang mungkin timbul terjadi pada pasien, didukung dengan hasil pemeriksaan."     

"Apakah itu berbahaya?"     

Dokter mengerucutkan bibirnya sekilas. "Bisa mengakibatkan stroke atau serangan jantung, itu hal terburuknya. Yang menjadi masalah adalah dia akan mengalami kemuduran ingatan hingga tingkat yang sangat parah, mungkin dia lupa berpakaian dan melakukan hal-hal dasar."     

Christabell memeluk ibunya, meski dia menangis sesenggukkan, tapi ibunya tampak tak berekspresi.     

Dokter Jhon Stell melanjutkan kalimatnya. "Selain soal kemunduran ingatan, pasien juga akan lebih sering mengalami migraine hebat."     

"Apa tidak ada terapi yang bisa menyembuhkannya?"     

"Tidak." Geleng sang dokter lemas.     

Pupus sudah harapan Christabell.     

Dokter Jhon memberikan saran "Rawat dia dengan baik, berikan obat pereda rasa nyeri saat dia membutuhkan, berikan kasih sayang yang banyak dari keluarga, karena dia membutuhkan banyak dukungan. Aku akan meresepkan obat untuknya."     

"Terimakasih Dok." Christabell menggandeng ibunya keluar dari ruang dokter. Mereka berjalan menuju mobil sementara supir mengurus obat.     

Didalam mobil, Adrianna tampak tertidur pulas setelah menyusu dari dotnya sementara Christabell duduk di sisi ibunya, terus menggenggam tangan ibunya itu.     

"Mengapa kau menangis?" Tanya sang ibu tiba-tiba.     

Christabell bergegas mengahapus jejak-jejak air matanya. "Ibu mengenaliku?" Tanya Christabell ragu.     

"Kau puteriku, bagaimana aku lupa sayang…" Seulas senyum mengembang di wajah Layla dan itu justru membuat tangis Christabell yang semula coba dia tahan kini tumpah ruah. Dia segera mendekap ibunya erat-erat.     

"Jangan pernah melupakanku lagi." Bisik Christabell, sementara Layla tak menjawab namun dalam hatinya mendadak getir melihat bagaimana puterinya menangisinya. Ini pasti terkait dengan kondisinya. Layla sendiri juga di buat kebingungan oleh keadaannya. Seolah jiwanya hilang timbul, hingga membuat raganya terkadang melupakan banyak hal.     

Sepanjang perjalanan pulang, Christabell mendekap bayinya dengan satu tangannya, sementara satu tangan yang lain menggenggam tangan ibunya. Dua perempuan yang tidak ingin dia lepaskan lagi, Layla Stone dan Adrianna Anthony.     

***     

"Maaf mom, tapi aku tidak bisa membiarkanmu tinggal diapartment itu sendiri. Tinggalah bersama kami." Christabell memohon pada ibunya, dan Layla mengangguk setuju meski dalam hatinya sebenarnya berat untuk mengabulkan permohonan itu. Penyesalan terbesar dalam hidup Layla saat ini adalah mengapa dia datang pada puterinya dengan keadaan seperti sekarang ini. Sepanjang sisa hidupnya Layla hanya akan menjadi beban bagi puterinya itu.     

"Maaf…" Kalimat Layla tertahan.     

"Untuk apa?" Tanya Bell.     

Layla berkaca, "Mungkin akan lebih baik jika aku tidak datang padamu."     

"Mom…" Christabell meremas tangan ibunya itu. "Jangan pikirkan apapun, aku dan Rich ada untuk ibu."     

Keadaan yang tidak mudah untuk diterima begitu saja, tapi Layla coba menerimanya perlahan-lahan dan mencari cara untuk sebisa mungkin tidak menyusahkan Christabell.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.