THE RICHMAN

The Richman - Emergency Unit



The Richman - Emergency Unit

0Christabell sudah tampak bangun sejak pagi hari dan mengurus bayinya juga mengurus suaminya yang hendak berangkat untuk bekerja. Dia bahkan sudah duduk di meja makan untuk menikmati sarapan pagi bersama Rich suaminya.     
0

"Dimana mommy?" Tanya Rich.     

Christabell yang sedang mengoleskan selai pada roti mendadak terdiam. "Aku belum melihat ke kamarnya sejak pagi. Biar kuperiksa." Ujarnya. Setelah menyelesaikan mengoles roti dan meletakkan di piring kecil kemudian menyodorkannya pada sang suami. Christabell berjalan menuju kamar ibunya. Tidak biasanya Layla bangun sesiang ini.     

"Mom…" Christabell masuk ke kama dan melihat Layla masih berbaring di balik selimut dengan mata terpejam.     

Bell tak lantas mendekatinya, dia berjalan ke arah jendela dan menyibakkan tirai untuk membiarkan sinar matahari masuk.     

"Mom…ini sudah pagi. Mommy ingin aku bawakan sarapan ke kamar?" Tanya bel sembari berjalan mendekati ibunya. Layla masih tidak merespon hingga Christabell duduk di ranjang dan menyentuhnya lembut untuk membangunkannya, namun tetap tidak ada respon. Hal itu kontan membuat Bell panic dan berteriak meminta pertolongan. Bahkan saat Bell mengguncang-guncangkan tubuh ibunya, wanita setengah baya itu tetap tidak bereaksi.     

Mendengar teriakan histeris dari isterinya, Richard berlari ke kamar ibu mertuanya itu disusul beberapa orang yang ada di dalam rumah.     

"Kita bawa ke rumahsakit." Ujar Rich. Seperti sudah paham apa yang harus dilakukan. Richard segera membopong ibu mertuanya sementara sang supir berlari untuk menyiapkan kendaraan. Mereka bergegas membawa Layla ke rumahsakit secepatnya untuk mendapatkan pertolongan.     

Setelah menempuh perjalanan beberapa waktu mereka tiba di rumahsakit dan segera mendapatkan pertolongan melalui emergency unit. Kepanikan jelas menyeruak dan menyerang keluarga kecil itu. Christabell terlihat berderai air mata, wajahnya pucat sementara Richard memeluknya mencoba memberikan dukungan.     

Richard sempat menghubungi kediamannya untuk bicara pada Zoey soal Adrianna. Apapun kondisi yang tengah dihadapinya, Adrianna juga prioritas utama yang tidak bisa dia tinggalkan.     

"Zoey, mungkin kami akan berada di rumahsakit cukup lama, tolong jaga Adrianna sampai salah satu dari kami pulang." Ujar Rich dan tampaknya Zoey memahami kondisi yang terjadi saat ini. Lagipula selama bekerja, Zoey tampak cukup cekatan dan telaten dalam mengurus bayi jadi Richard bisa mempercayakan Adrianna padanya.     

Bibir christabell komat-kamit seolah tengah merapalkan doa-doa untuk keselamatan ibunya sementara Rich tak henti-hentinya mengusap-usap punggung isterinya itu untuk memberikan dukungan. Sementara mereka menunggu di luar ruangan emergency unit, didalam sana petugas medis tengah melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan nyawa Layla. Wanita tua yang malang itu juga tampaknya tengah berjuang untuk tetap bertahan hidup.     

Mendadak pintu terbuka dan seorang dengan pakaian dokter berjalan deras ke arah Rich dan Bell. Tanpa berbasa-basi dokter menghampiri Rich dan Bell kemudian menyampaikan kondisi Layla "Kami perlu melakukan tindakan pembedahan, ada penyumbatan yang membuat pasien mengalami stroke."     

"Lakukan apa saja untuk menyelamatkannya Dok." Jawab Richard.     

"Tandatangani dokumen untuk tindakan pemhedahannya."     

Setelah itu dokter masuk lagi kedalam ruangan dan dalam hitungan tak sampai satu menit tubuh lemas Layla yang terbaring di ranjang pasien di dorong keluar ruangan dengan sangat cepat. Beberapa perawat bahkan setengah berlari, karena setiap detik yang terbuang begitu berarti untuk keselamatan nyawa Layla.     

***     

Suasana di ruang tunggu operasi tampak hening. Hanya ada Rich dan Christabell yang duduk menanti dalam kecemasan besar. Waktu seolah berhenti berputar ketika menunggu detik-detik diantara kematian seperti ini. Dua jam terlama dalam hidup Christabell adalah saat menunggu ibunya terbaring di meja operasi dengan berbagai alat penopang kehidupan.     

Seolah Layla tengah menari di ujung kehidupannya, dan saat itu juga puterinya tidak bisa bernafas rasanya. Dokter memberikan gambaran bahwa tindakan ini memiliki resiko limapuluh persen selamat dan sisanya adalah kemungkinan terburuk. Tidak ada pilihan, dengan berharap pada limapuluh persen kemungkinan berhasil mereka mempercayakan ibu mereka di tangan para professional untuk mendapatkan pertolongan terbaik.     

Setelah dua jam yang menegangkan akhirnya Layla di dorong keluar dari ruang operasi masih dalam keadaan tidak sadarkan diri dan akan dipindahkan ke ruang intensive care unit untuk dilakukan observasi pasca tindakan.     

***     

Menjelang pukul lima sore dokter datang kembali untuk memeriksa keadaan Layla dan saat dia keluar, dokter Joseph menghampiri Christabell dan Richard.     

"Dia mulai siuman." Ujar sang dokter setelah memeriksa kondisi Layla.     

"Apa aku bisa menemuinya?" Tanya Christabell.     

"Untuk sementara waktu belum." Geleng sang dokter. "Kami butuh beberapa waktu untuk memastikan kondisi pasien benar-benar stabil dan siap dijenguk." Ujarnya.     

"Baik dok."     

Sang dokter undur diri dari hadapan mereka dan menyisakan Christabell yang mulai bekaca-kaca, kali ini bukan tangisan kesedihan melainkan tangisan penuh syukur karena ibunya bisa melewati masa kritis. Rich menggulung isterinnya itu dalam pelukannya.     

"Kau bisa pulang, Adrianna membutuhkanmu. Selain itu kau juga butuh istirahat." Ujarnya.     

Awalnya Christabell tampak tidak ingin pulang, tapi saat Rich mengatakan ini soal puterinya Adrianna, tentu Bell tak bisa mengabaikan malaikat mungil itu juga.     

Untuk saat ini mereka berdua bisa bernafas lega sambil memantau perkembangan kondisi Layla kedepan dan berharap semakin membaik.     

"Aku akan meminta supir mengantarmu." Ujar Rich.     

"Tidak, aku akan naik taksi saja." Jawab Bell.     

"Take care baby." Ujar Rich sembari mengecup kening isterinya itu.     

Bell mengangguk, meski air matanya kembali berjatuhan. "Aku titip ibuku." Katanya.     

"She will be ok." Jawab Rich.     

Meski rasanya begitu berat untuk meninggalkan ibunya dalam kondisi seperti ini, tapi Christabell tak memiliki pilihan lainnya. Dengan berat hati Bell menyeret langkahnya menjauhi ruang perawatan ibunya dan menyusuri lorong rumahsakit untuk pulang.     

Dalam perjalanannya dari rumahsakit menuju rumahnya, air mata Christabell tak kunjung surut. Dia terus saja mengasihani ibunya itu. Tiba-tiba terbersit dalam benaknya soal pria bernama Paul Stell. Hal yang mereka bahas kemarin soal kemungkinan menemui Paul Stell yang merupakan keinginan terakhir yang ditulis oleh Layla. Mendadak Bell merasa harus segera mewujudkannya, jangan sampai dia menyesal tidak bisa mewujudkan satu-satunya keinginan ibunya semasa hidup.     

"Bisakah bawa aku ke alamat ini?" Tanya Bell pada sang supir taksi sambil menyodorkan selembar kertas kecil yang berisi alamat rumah Paul Stell. Bell mencatat alamat itu dalam selembar kertas kecil dan memasukkannya kedalam dompet. Ternyata itu berguna, berkat catatan itu akhirnya Bell bisa menemukan rumah cinta pertama ibunya yang juga ayah biologisnya.     

Taksi berhenti di sebuah apartment di Brooklyn, dan Chrstabell segera mengetuk pintu.     

"Hi…" Seorang pria yang sudah pernah di lihat wajahnya oleh Christabell di sosial media muncul dari balik pintu.     

"Hi…" Christabell tersenyum lebar. "I'm Christabell." Ujar wanita itu memperkenalkan diri.     

"Oh ya… silahkan masuk." Pria itu terlihat ramah. "Ini Ammy isteriku, dia puteri kandung Paul Stell. Dan aku adalah menantunya." Ujarnya saat seorang wanita melintas di ruang tamu mereka.     

"Hi…" Sapa Christabell dan di balas dengan senyuman ramah dan pelukan oleh Ammy, wanita berkulit pucat dengan rambut hitam dan bola mata coklat yang begitu cantik. Senyuman Ammy bahkan begitu manis karena dia memiliki lesung pipi dalam di pipi kanannya.     

Bell tampaknya di sambut baik oleh keluarga ini, tapi dia tidak bisa berbasa-basi lagi. Dia datang untuk satu tujuan yang jelas. "Aku mintamaaf datang pada kalian dalam keadaan seperti ini, dan tidak membuat janji sebelummya.��� Ujarnya sungkan.     

"It's ok." Ammy tersenyum lebar. "Kami senang akhirnya kau berkunjung ke rumah kami. Hanya saja kami berharap kau bisa datang bersama keluarga besarmu."     

"Situasinya cukup sulit" Christabell menelan ludah, dia berusaha menata kalimatnya, bagaimana harus menyampaikan maksud hatinya. "Em… ibuku jatuh sakit dan saat ini dia tengah dirawat di rumahsakit."     

Sorot mata Ammy meredup, raut wajahnya penuh empati. "Kami turut prihatin." Sahutnya.     

"Apa yang terjadi pada ibumu?" Tanya Piterson.     

"Serangan stroke. Pagi tadi kami menemukannya tak sadarkan diri di kamarnya." Jawab Christabell, dia jelas sulit untuk mengungkapkan hal ini. "Karena itu, bolehkah aku meminta satu hal pada kalian?" Christabell bertanya ragu.     

Ammy menjawab cepat "Katakan, jika ada yang bisa kami bantu, kami akan sangat senang." Ujarnya, wanita ini benar-benar memiliki ketulusan hati yang besar.     

"Aku berharap Mr. Paul Stell bisa datang untuk menjenguknya." Christabell tampak mulai berkaca. "Aku takut waktunya tidak banyak lagi, dan itu satu-satunya harapan Ibuku, bertemu dengan kenalan lamanya.     

Ammy mendekat ke arah Christabell dan memberikannya pelukan. "Kami akan mengantar ayah menemui ibumu."     

"Thanks. It's mean so much for me."     

Kunjungan singkat itu berakhir dan Christabell melanjutkan perjalanannya kembali ke rumah. Sesampai dirumah dia bergegas untuk membersihkan diri dan mengganti pakaiannya kemudian menemui puterinya yang sudah terlihat begitu merindukan pelukan ibunya.     

Bahkan mata Adrianna berbinar saat Christabell menghampirinya, mendekapnya dan berniat memberikan asi langsung padanya.     

"I'm sorry sweetheart…" Bisiknya dengan mata berkaca, bayi mungil itu tidak tahu mengapa ibunya harus pergi meninggalkannya dan membiarkannya menunggu lama untuk menikmati dekapan dan sentuhan hangat saat menyusu seperti ini.     

Bahkant angan mungil Adrianna bermain-main dengan kulit ibunya juga rambut ibunya yang menjuntai sembari mengasihi, seolah dia tengah mengatakan sebuah kalimat "I miss you so much mommy."     

Meski bayinya itu belum paham bahasa verbal, namun Christabell mengajaknya bicara. Dia menceritakan pada puterinya itu mengapa dia harus pergi begitu lama.     

"Maafkan mommy sayang. Pagi ini grandma mendadak sakit dan mommy harus mengantar Grandma ke rumahsakit." Ujarnya sembari membelai lembut puterinya.     

"Kita harus berdoa untuk kesembuhan grandma, ok baby…." Imbuhnya. Seolah paham dengan kalimat ibunya itu, Adriana menatap ibunya dengan begitu dalam dan berhenti menyusu sejenak.     

"Mommy tahu, mommy punya kamu untuk selalu menguatkan mommy. I love you." Jawab Christabell.     

Seorang ibu akan selalu menjadi orang gila karena berbicara dengan dirinya sendiri saat bersama bayinya yang belum bisa bicara. Tapi percayalah dibalik tatapan mata bayi yang begitu murni, dia mengerti betul apa yang dirasakan oleh ibunya.     

***     

Dua hari kemudian kondisi Layla membaik. Dia mulai siuman dan bisa diajak berkomunikasi meskipun dia belum bisa bicara banyak. Yang mengejutkan adalah Layla tidak kehilangan ingatannya. Pagi ini Christabell datang tidak dengan puterinya. Richard sengaja bekerja dari rumah supaya dia bisa bekerja sembari mengawasi Zoey yang sedang menjaga Adrianna.     

Christabell terus mengusap-usap tangan ibunya itu dengan lembut sementara ibunya terpejam. Tiba-tiba seseorang membuka pintu dan masuk kedalam ruangan. Seorang pria dengan rambut putih dan tubuh tinggi yang masih tegap. Christabell membeku saat menatapnya. Meskipun dia sudah pernah melihat wajah pria itu di dalam foto, tapi saat bertemu langsung ada getaran dalam dirinya yang membuatnya sulit berkata-kata.     

"Hi…" Sapa Ammy yang tampak datang bersama dengan ayahnya itu. Dia datang dengan buket bunga dan segera mendekati Christabell. Bell melepaskan tangan ibunya perlahan lalu memberikan pelukan pada Ammy, menerima bunga itu dan memilih berdiri dari jauh menatap pria bernama Paul Stell itu duduk di sisi ranjang dan menatap Layla Stone yang terbaring di ranjang dengan mata terpejam.     

"Thanks sudah datang." Ujar Bell, dia berusaha tetap tenang dan menyembunyikan identitasnya.     

Ammy meremas tangan Christabell. "Ayahku tampak terkejut saat aku menyebut nama ibumu. Mungkin mereka memiliki hubungan pertemanan yang sangat dalam dulu."     

"Mungkin." Christabell tersenyum palsu. Dalam hatinya dia benar-benar ingin memeluk pria itu dan memanggilnya "ayah".     

"Sebaiknya kita keluar." Ammy mengajak Christabell keluar untuk memberikan moment pada mereka. Christabell menurut dan keluar dari ruangan, menyisakan Paul Steel dan Layla Stone.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.