THE RICHMAN

The Richman - She Left Me Again



The Richman - She Left Me Again

0Pria berambut putih itu meraih tangan Layla dan mengenggamnya, dia mendekatkan wajahnya dengan sangat hati-hati dan membisikan nama Layla.     
0

***     

Laya menemukan dirinya tampak begitu muda dan ranum dengan rambut berwarna coklat panjang. Dia mengenakan gaun berwarna putih dan berdiri di padang rumput hijau nan luas. Langkahnya ragu menapaki padang rumput itu tak tahu harus kemana. Tapi di sana benar-benar yang ada hanyalah keheningan. Tidak ada satupun orang yang ada di sana untuk ditanyai, dimana dia benar-benar berada? Hanya ada hembusan angin semilir yang mengibas-ngibas rambut panjangnya.     

Di kejauhan terdengar suara seseorang memanggilnya, lagi-lagi dan lagi. Hingga tiba-tiba Layla merasa dirinya diseret dengan begitu cepat dan saat dia membuka mata, benar-benar membuka matanya dia melihat seorang pria tua dengan rambut berwarna putih. Pria itu memegang tangannya dan saat Layla bisa menangkap bayangan wajahnya dengan jelas, pria itu tersenyum padanya. Matanya teduh, seperti yang pernah dia kenal puluhan tahun lalu.     

"Layla…" Bisiknya, suaranya masih sama. Sama persis seperti yang sering dia dengar beberapa tahun lalu.     

Layla menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering. "Paul Stell?" Tanyanya lirih.     

"Ya ini aku." Jawabnya lirih. Mendengar hal itu, sudut-sudut mata Layla dipenuhi oleh air mata dan mulai menetes.     

"Apa itu benar-benar dirimu?" Tanyanya memastikan sekali lagi, dan si pria tua mengangguk. Dengan gemetaran Layla mengangkat tangannya untuk mengusap wajah Paul Stell. "Kau masih setampan yang dulu." Pujinya.     

"Kau juga, tetap secantik yang dulu." Jawab Paul.     

Paul kembali membuka suara, "Aku mencarimu puluhan tahun, kemana saja kau pergi?" Tanya Paul. "Aku menghabiskan sisa hidupku dengan rasa bersalah padamu."     

"Bagaimana kabar isterimu?" Tanya Paul.     

"Kami berpisah puluhan tahun lalu." Kenang Paul.     

Layla mengkerutkan alisnya. "Mengapa?" Tanyanya lirih.     

"Rumahtangga kami sudah tidak harmonis sejak lama. Lagi pula kami tidak memiliki keturunan saat itu. Dia juga sibuk mengejar karirnya, jadi kami memutuskan untuk berpisah."     

Dalam batin Layla dia tertawa sinis, "Hidup benar-benar mempermainkanmu. Saat kau lari dari cintamu demi menjaga cintanya pada wanita lainya, ternyata hubungan yang coba kau lindungi hancur tanpa campur tanganmu."     

"Tapi aku dengar kau memiliki putera."     

"Oh, aku mengangkat seorng puteri dan membesarkannya. Sekarang aku tinggal dengannya dan suaminya."     

"Jadi selama ini kau hidup sendiri?" Tanya Layla dan Paul mengangguk. Pria itu tersenyum sambil menatap dalam pada Layla. "Saat itu aku berharap bisa menghabiskan sisa hidupku bersamamu, tapi tanpa alasan yang jelas kau meninggalkanku."     

"Maaf…" Layla meminta maaf untuk apa yang bukan menjadi kesalahannya.     

"Aku mencarimu ke semua tempat yang pernah kita kunjungi, berharap kau datang ke tempat itu dan kita bisa bertemu, tapi setelah bertahun-tahun aku melakukannya kau tak pernah datang."     

Christabell tersenyum. "Saat itu kita terlalu muda untuk mengerti apa yang diinginkan kehidupan ini."     

"Ya…" Angguk Paul. "Aku tidak mengatakan padamu bahwa aku memiliki isteri, karena aku tidak ingin kau berpikir bahwa aku mempermainkanmu."     

"Apa maksudmu?"     

"Kami sudah bercerai, tapi dia masih memintaku datang di acara ulangtahunnya setiap kali dia mengadakan perayaan untuk memberitahu orang-orang bahwa dia adalah wanita sempurnya yang bisa menjaga keluarganya sementara dia juga menikmati puncak karirnya."     

Layla teringat pada malam itu disaat dia melihat Paul mencium isterinya. "Aku memiliki masalah ingatan, tapi aku masih ingat betul rasanya. Malam itu aku melihatmu mencium isterimu dengan begitu mesra."     

"Itu bagian dari kesepakatan kami setelah berpisah."     

Layla tersenyum kecut. "Aku lari darimu karena melihat itu."     

"Mengapa kau tidak menuntut penjelasan dariku?" Tanya Paul.     

Layla menghela nafas dalam. "Andai saja aku tidak berpikir sedangkal itu, mungkin semua tidak akan menjadi rumit."     

Paul tersenyum. "Jangan sesali apa yang sudah terjadi. Kita sudah menjalani hidup ini dengan baik, menjalankan apa yang menjadi bagian kita. Aku juga melihatmu memiliki puteri yang cantik."     

"Ya…" Jawabnya singkat.     

"Kau menikah dengan seseorang pada akhirnya?" Tanya Paul, dan Layla memilih untuk tidak menjawab.     

"Aku bersyukur kita masih bisa bertemu untuk saling memberikan penjelasan, dan mungkins saling memaafkan." Ujar Paul.     

Layla menghela nafas dalam. "Jika aku harus mati sekarang, rasanya tidak masalah."     

"Mengapa kau selalu ingin pergi dariku?" Tanya Paul.     

"Apa maksudmu?" Layla bertanya lirih.     

Paul mengusap tangannya. "Selama puluhan tahun aku hidup dengan harapan bisa bertemu denganmu lagi. Dan keinginanku selama puluhan tahun itu akhirnya terwujud hari ini hingga aku bisa mengenggam tanganmu. Tapi baru beberapa menit aku melakukannya, kau berpikir bahwa kau akan segera meninggalkan dunia ini."     

Layla berkaca. "Ada satu hal yang ingin ku katakana padamu."     

"Katakan." Paul memberikan kesempatan pada Layla untuk mengatakannya.     

"Christabell, itu nama puteriku." Jawab Layla ditutup dengan senyum lebar.     

"Nama yang cantik, puterimu juga secantik dirimu." Puji Paul.     

Tangan Layla yang gemetaran meraih wajah Paul, dan membuat pria itu merundukkan wajahnya agar bisa di jangkau oleh Layla. "Dia puterimu." Bisik wanita itu, seketika Paul membeku untuk beberapa saat. Dua kalimat yang membuat Paul kehilangan kata-kata.     

Mata pria tua itu berkaca-kaca, tangannya yang sedari tandi mengenggam tangan Layla mulai bergetar. "Apa kau sungguh-sungguh?" Tanyanya.     

"Ya." Angguk Layla.     

Pria itu mengecup tangan Layla berkali-kali dan terakhir dia medekatkan wajahnya dan mengecup kening wanita tua itu.     

"Mengapa kau menyembunyikannya dariku sekian lama?" Tanya Paul dengan air mata berderai. Pertemuan itu juga menjadi sangat dramatis. Saat kedua insan yang saling jatuh cinta namun tak pernah bersama, dan setelah sekian puluh tahun mereka bertemu kembali dan tetap saling jatuh cinta.     

"Aku tidak ingin merusak rumahtanggamu, saat itu yang kupikirkan adalah kebahagiaanmu." Sesal Layla.     

"Harusnya kau tidak pergi selama ini, harusnya kau juga tidak sembunyi selama ini dariku."     

Layla tersenyum lega. "Kala itu aku bertemu dengan Eric, rekan kerjaku. Kami berkerja diperusahaan mantan isterimu. Saat aku bertanya tentang dirimu, Eric mengatakan bahwa kau hidup bahagia dengan keluargamu, bahkan kau memiliki anak-anak."     

Paul menggeleng. "Apa maksudmu Eric Lawrence?"     

"Ya." Angguk Crhistabell.     

Paul tersenyum sekilas. "Tak ku sangka, dia masih menaruh dendam yang besar padaku." Ucapnya.     

"Dendam?" Alis Christabell bertaut.     

"Ya, kami pernah sekolah di tempat yang sama dan memperebutkan seorang wanita saat itu. Aku menang darinya meski hubunganku tak berjalan baik, lagi pula itu adalah masa-masa kami SMA. Tak ku sangka dia mengendus soal hubungan kita, jadi sedikit banyak keputusanmu dipengaruhi oleh apa yang dia katakana hah?" Tanya Paul lagi dan Layla baru menemukan benang merah diantara kesemuanya itu.     

Tak terasa pembicaraan yang terajdi di antara mereka sudah cukup lama. Lebih dari duapuluh menit dan mendadak Layla tampak semakin pucat.     

"Layla, apa kau baik-baik saja?" Tanya Paul, Layla mendengar kalimat itu tapi tak lagi bisa melihat wajah Paul dengan jelas. Semakin lama pandangannya semakin buram dan mulai menggelap. Suara yang tadinya terdengar jelas lama-kelamaan juga mulai semakin samar dan hilang. Sebelum benar-benar menjadi gelap, Layla masih melihat beberapa orang datang dan mengerumuninya, termasuk Christabell puterinya. Bibir Christabel bergerak lambat seolah meneriakan kata "Mom…." Wajahnya juga terlihat khawatir. Semuanya semakin gelap dan melambat hingga benar-benar hilang.     

"NOOOOOO!!!!" Christabell terhuyung dan jatuh memeluk ibunya yang tak lagi bernafas. "Don't leave me again mom….." Tangis Cristabell menjadi-jadi, sementara itu Paul terduduk lemas tak berdaya menyaksikan kekasih hatinya, belahan jiwanya yang sempat hilang bertahun-tahun lamanya, dan baru kembali beberapa menit yang lalu kini pergi lagi meninggalkannya, bahkan untuk selama-lamanya. Ammy mendekat ke arah ayahnya dan mengusap-usap pundak ayahnya itu. Sementara Bell terus menagisi jenasah ibunya.     

Suasana menjadi begitu menyedihkan kala itu, hingga tim medis datang dan memastikan kondisi Layla. Taka da yang bisa dilakukan oleh mereka hingga akhirnya diputuskan untuk melepaskan semua alat menopang kehidupan yang terpasang pada tubuh Layla.     

Richard yang tengah berada di ruang kerjanya menerima panggilan dari sang supir yang mengantar isterinya ke rumahsakit dan bergegas menyusul Christabell ke rumahsakit. Rich yakin betul bahwa kejadian ini akan membuat isterinya sangat terpukul. Kehilangan orang yang sama sebanyak dua kali tentu bukan hal yang mudah di terima. Saat ditinggalkan oleh ibunya di pantiasuhan, kala itu Christabell masih bayi hingga tak bisa menolaknya, dan kini saat dia sudah dewasa, dia juga tidak bisa memaksa ibunya untuk tinggal lebih lama.     

Richard sampai dirumahsakit dan Christabell segera memeluknya. Bagaikan seorang anak kecil yang ditinggalkan ibunya, tangis Christabell begitu dalam dari lubuk hatinya.     

"She left me again Rich…." Isak Bell.     

Richard tidak bisa mengatakan apapun, dia hanya terus mendekap isterinya itu dan mengusap-usap punggungnya sembari terus menciumi ujung kepala isterinya. Melihat orang yang dia cintai sehancur itu juga membuat Richard terluka. Bahkan mungkin sama dalamnya atau jauh lebih dalam dari luka yang dialami oleh orang yang dicintainya.     

Sementara itu Paul Stell masih menunggu semua proses hingga jenasah Layla siap untuk dikebumikan.     

***     

Dipemakaman semua orang mengenakan pakaian hitam dan tampak berduka, meski kebanyakan adalah orang yang bekerja di rumah Richard, namun tampak juga beberapa kerabat dan kenalan mereka. Pak tua Paul Stell tampak hadir diantara para pelayat dengan setelan berwarna hitam dan duduk di dekat pusara. Bahkan saat semua orang sudah pergi, menyisakan Christabell dan suaminya juga Paul Stell. Ammy dan Peterson menunggu di kejauhan setelah mengucapkan dukacita mendalam pada keluarga Christabell. Mereka memberi ruang dan waktu untuk ayahnya bisa berduka untuk Layla Stone.     

Paul mendekat ke arah Christabell dan meraih tangannya. "Dia sudah tenang di sana." Ujarnya, Bell yang sebenarnya tahu siapa pria itu sejatinya cukup terkejut dengan perlakuan Paul.     

"Aku ada di sini untukmu." Ujarnya singkat, membuat Christabell membeku menatapnya. Mata wanita itu mulai berkaca, dengan ragu-ragu dia memanggil Paul sebagai ayahnya.     

"Daddy?"     

"I'm." Jawab Paul, seketika Christabell menghambur ke pelukan pria tua itu. Sosok yang selama ini ingin dia temui. Hal yang selalu dia impikan adalah bisa memeluk ayah dan ibunya. Meskipun Bell tak dapat memeluk mereka bersamaan tapi Christabell akhirnya bisa merasakan hangatnya pelukan ibunya, dan kini ayahnya.     

"Hidup adalah soal datang dan pergi sayang, kita harus terbiasa dengan semua itu." Ujar Paul. "Aku disini untukmu." Imbuhnya.     

Hati Christabell yang sempat membeku sedikit menghangat dengan pelukan dari ayah kandungnya itu. Meskipun dia sempat dititipkan di panti asuhan ternyata dia memiliki orang tua yang begitu baik dan hangat seperti ini. Memang terlalu banyak waktu terbuang di masa lalu, namun tak bisa di sesali dan tak akan terulang lagi. Yang bisa dilakukan hanya menikmati masa sekarang, masa yang nyata untuk dijalani. Persetan dengan masa yang akan datang, saat ini terlalu berharga untuk dihabiskan menyesali masa-masa yang lampau dan menghawatirkan masa-masa yang akan datang.     

"Ibumu tidak pernah benar-benar pergi meninggalkanmu. Mungkin raganya tak lagi bersama kita, tapi jiwanya akan selalu menemanimu. Dia meyayangimu nak." Paul meyakinkan puterinya itu bahwa hidup Layla Stone, wanita yang dicintainya, ibu dari puteri sematawayangnya tidak musnah, hidupnya hanya di rubah. Meski raganya tak lagi bisa dilihat, tapi jiwanya tetap ada dan akan selalu bersama-sama dengan mereka.     

Kematian memang mengerikan, tapi toh semua orang akan melewati fase itu dalam kehidupannya. Tidak ada yang benar-benar kekal, jadi sebelum kita kehilangannya, alangkah baiknya kita menjalani hari-hari kita bersama dengan orang-orang yang kita kasihi dengan sungguh-sungguh. Jika waktu sangat sempit, mengapa kita rela membuang banyak waktu untuk berseteru dan saling menyalahkan. Mulai sekarang seharusnya kita menghargai hidup dan memilih untuk menikmatinya dengan penuh cinta.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.