THE RICHMAN

The Richman - First Night With Mr. Rich



The Richman - First Night With Mr. Rich

0Dirumah megah ini aku ditempatkan dalam sebuah kamar yang sangat besar. Kamar terbesar dan terbaik yang pernah kutempati. Richard juga mengatakan bahwa aku tidak akan mengerjakan pekerjaan rumahtangga di rumah ini. Meski aku memohon dia tetap tidak memberikanku kesempatan untuk melakukannya dengan mengatakan bahwa dia sudah membayar profesional untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah sesuai bagian masing-masing.     
0

Dan semua orang yang bekerja di rumah ini berada dibawah pengawasan Mrs. Nourah, jadi wanita setengah baya itu juga tidak dibebani dengan pekerjaan yang berat mengingat usianya sudah cukup tua.     

Aku membuka lemari pakaian dan sudah tersedia berbagai macam pakain untukku, yang pas sesuai dengan ukuranku dan kesemuanya baru, termasuk sepatu dan tas.     

"Pelacur elite." Aku bergumam untuk diriku sendiri. "Kau tidak akan lebih dari seekor burung dalam sangkar emas, kau akan diberikan makan dan perawatan terbaik, dan akan beradu disaat yang dibutuhkan untuk memberikan kepuasan pada sang pemilik." Aku mengatakan semua itu pada diriku sendiri.     

***     

Aku baru saja selesai mengganti pakaianku saat seseorang mengetuk pintuku.     

"Ya . . ." Aku bergegas berjalan ke arah pintu dan ternyata itu Mrs. Nourah, dia berdiri dengan secangkir kopi dengan aroma kental yang menyeruak menusuk hidungku, tentu saja kopi itu masih mengeluarkan kepulan uap yang pekat.     

"Terimakasih, tapi saya tidak minum kopi . . ."     

"Aku tidak membuatkannya untukmu nona, tapi untuk Mr. Richard."     

"Tapi anda membawanya padaku."     

"Karena ini akan menjadi tugasmu."     

"Oh . . ." Aku mengambil alih nampan kopi itu dari tangan Mrs. Nourah.     

"Antarkan kopi ini ke ruang kerja Mr. Richard."     

"Baik." Aku pergi dari hadapan Mrs. Nourah dan kudengar dia juga meninggalkan depan pintu kamarku entah menuju kemana. Aku berjalan mengikuti lorong menuju ujung lorong dimana terdapat ruang kerja Mr. Richard dengan pintu tertutup. Entah mengapa darahku berdesir ketika aku berhenti di depan pintu itu. Secara teknis aku tidak lagi berhadapan dengannya secara langsung begitu aku tiba di rumah ini. Dia terlalu sibuk untuk terlihat di rumah, dan meskipun dia ada di rumah ini, tapi dia tidak pernah terlihat di ruangan lain selain di kamarnya atau di ruang kerjanya. Beberapa kali dia makan di ruang makan tapi itu juga hanya bisa kulihat dari jarak jauh saat aku melintas atau saat aku berada di dapur.     

Tok Tok, meski tanganku gemetar, tapi aku tetap mengetuk. Kopi ini tidak bisa menunggu terlalu lama untuk menemukan pemiliknya, karena jika aku memakan waktu lebih lama, kenikmatannya akan berkurang.     

"Masuklah." Kudengar suara itu dan aku menarik gagang pintu itu hingga pintu setengah terbuka dan kulihat dia sedang sibuk dengan tumpukan kertas dan pulpen di tangannya, tapi dia tampak masih membaca isi kertas itu, sebelum menyadari bahwa yang berdiri di ambang pintu adalah aku dan bukan Mrs. Nourah.     

Dia tampak bergegas meletakkan pulpen dan kertasnya kemudian berdiri memutari meja dan berjalan ke arahku yang baru saja menutup pintu dibelakangku.     

"Kopi anda." Kataku, aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap terlihat santai, meski seluruh diriku bergejolak dengan ide gila di dalam kepalaku yang mendadak muncul saat aku melihat pria itu dalam balutan piyama tidur yang terikat di pinggang rampingnya tapi tetap masih menghadapi setumpuk pekerjaan di atas mejanya.     

"Kemana Mrs. Nourah?" Tanyanya saat mengambil cangkir kopi itu dan mendekatkannya ke wajahnya. Kurasa dia senang menikmati mencium aroma kopi yang masih panas.     

"Dia memintaku membawakannya ke ruang kerja anda Sir."     

"Oh . . . lain kali akan kuminta dia membawakannya sendiri, tidak perlu memintamu."     

"Tidak, aku justru sangat senang jika bisa melakukan sesuatu untuk anda." Kataku gugup.     

"Thank you." Richard mengangkat cangkir itu kemudian menyesap isinya.     

"My pleasure Sir." Jawabku.     

"Kau bisa meninggalkan tempat ini, beristirahatlah."     

"Tidak!" Jawabku spontan, dan Richard tampak mengerutkan alisnya.     

"Tidak?" Dia mempertanyakan jawabanku.     

"Em . . . ada yang ingin kukatakan." Jawabku gugup, dan Richard tersenyum sekilas, dia berjalan ke arah sofa, kemudian meletakkan kopinya di atas meja dan duduk dengan kaki tersilang.     

"Kemarilah." Perintahnya lembut. Meski agak ragu untuk mendekat, apalagi sedekat itu, tapi ini harus kulakukan, setidaknya setelah ini aku akan merasa jauh lebih lega.     

"Kenapa kau berdiri di sana, duduklah." Katanya lagi dan aku duduk dengan nampan diatas pengkuanku.     

"Berikan nampan itu." Richard mengulurkan tangannya dan aku menyodorkan nampan itu, jadi sekarang tidak ada yang bisa kumainkan lagi di atas pangkuanku untuk menghilangkan rasa gugupku.     

"Sekarang katakan padaku apa yang ingin kau katakan."     

"Em . . ." Aku meremas tanganku, berusaha menemukan kekuatan untuk mengatakan hal gila yang ada di dalam kepalaku.     

"Aku ingin membalas jasa anda." Kataku dengan nafas hampir putus rasanya.     

"Jasa?" Alisnya bertaut.     

"Soal biaya perawatanku selama di rumah sakit." Jelasku berputar-putar.     

"Aku yang menabrakmu, jadi itu tanggungjawabku."     

"Tapi . . ." Aku masih belum menemukan kata-kata yang tepat untuk mengatakannya dengan jelas.     

"Tapi . . .?" Dia mempertanyakan kalimatku yang terpotong.     

"Tapi aku . . . . ingin membalas budi anda."     

"Ok, aku tidak merasa bahwa kau berhutang budi padaku, jadi tidak ada yang perlu di balas. Kau bisa meninggalkanku sekarang, dan tidurlah dengan nyenyak."     

"Aku ingin menepati janjiku."     

Richard mengerucutkan bibirnya sekilas, seolah berpikir atau mengingat janji apa yang kumiliki padanya.     

"Ok, janji apa lagi kali ini?"     

"Aku . . . akan memberikan milikku padamu." Aku menggigit bibirku dan hanya mampu memandangnya dari balik bulumataku. Aku jelas tidak berani menatap dirinya setelah apa yang kukatakan padanya barusan.     

"Cristabell." Dia mengucapkan namaku dan aku dengan ragu mendongak menatapnya.     

"Ya." Jawabku lirih.     

"Kemari." Dia menepuk pahanya dan aku menelan ludah, apakah ini benar-benar akan kulakukan atau hanya bualan tidak masuk akal yang mendadak muncul di kepalaku dan sebenarnya tidak perlu ditanggapi berlebihan olehnya.     

Shit . . . dimana keberanianku, mengapa menguap begitu saja. Aku menelan ludah sekali lagi sebelum beringsut untuk bangkit dan berjalan dua langkah hingga berdiri di hadapannya. Dia mendongak menatapku dan menepuk pahanya sekali lagi.     

"Come." Katanya dan aku memberanikan diri untuk duduk tepat ditempat dia meletakkan tangannya.     

Seluruh diriku merasakan betapa berada di tempat ini seperti baru saja tersengat aliran listrik dalam tegangan sangat tinggi.     

"Kau seperti sebongkah kayu yang baru saja diletakan di atas pahaku."     

"Maaf . . ." Aku segera bangkit, tapi sebelum benar-benar menarik diri, dia menahanku agar tetap duduk di tempat itu, di atas pahanya.     

"Bagaimana perasaanmu?" Tanyanya.     

Aku menghela nafas dalam, "Gugup." Jawabku terbata.     

"Jadi kau bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika aku melakukan lebih dari ini padamu?"     

"Tapi aku tetap ingin melakukannya." Kataku setengah memaksa.     

Kulihat dia tersenyum menatapku, "Kau gadis yang keras kepala rupanya."     

"Aku tidak ingin mengingkari janjiku." Ucapku tegas.     

"Jika aku menganggap janji itu tidak berlaku lagi, dan kau bisa hidup tenang tanpa harus menepati apapun padaku bagaimana?" Tanyanya dan entah mengapa seluruh diriku remuk redam dengan perkatannya itu. Apa ini berarti dia menolakku?     

"Aku mengerti." Aku mengangkat diriku dari tempatku duduk dan dia tetap mempertahankanku.     

"Hei . . . lihat aku." Katanya dan aku kembali duduk, dan menatapnya ragu-ragu dari balik bulu mataku.     

"Tatap aku." Perintahnya dan aku mengangkat daguku, hingga mata kami sejajar, dan aku bisa melihat mata coklatnya menatapku dalam.     

"Kau tidak tahu apa yang kumaksudkan jika kau pergi dariku dengan wajah seperti itu." Katanya, dan aku merasa, apakah ekspresi kekecewaanku terlihat jelas olehnya.     

"Maaf jika anda tidak berkenan." Aku kembali tertunduk, entahlah, semua menjadi serba salah rasanya.     

"Lihat aku, apa kau merasa aku baru sjaa menolakmu?"     

"Kurasa begitu." Jawabku lirih dan entah mengapa kulihat dia tersenyum menatapku.     

"Aku tidak ingin menyentuhmu seperti aku pernah menyentuh banyak wanita sebelumnya." Katanya dan entah mengapa mulut lancangku segera menimpali.     

"Itu karena aku tidak semenarik mereka."     

"No!" Jawabnya cepat. "Kau terlalu muda untuk mengerti maksudku."     

"Atau terlalu bodoh."     

Dia menghela nafas dalam. "Aku akan menciummu, tapi tidak lebih dari itu." Katanya sambil menatapku dalam, dan darahku berdesir cepat hanya dengan mendengar kalimat itu.     

Tangannya menyusup di balik tengkukku dan mendorongku maju untuk menemukan bibirnya. Saat bibir kami bertemu aku merasakan miliknya yang lembut, hangat dengan sedikit sensasi dari kumis dan jambang yang menyeruak menyentuh kulitku saat dia menciumku. Jantungku rasanya melambat, dan seisi semesta ikut melambat, hingga aku bisa merasakan bahwa sedetik menjadi begitu lambat. Apalagi saat tangan kokohny amelilit pinggangku dan membawanya mendekat ketubuhnya hingga dadaku rasanya begitu dekat dengan dadanya dan jantung kami saling bersahutan berdetak ditengah sepinya malam ini.     

Aku merasa Richard sangat berhasrat karena kudengar nafasnya kasar setiap kali dia menghirup dalam ciuman yang dialakukan padaku.     

"Kau sangat memabukkan." Bisiknya ditengah ciuman kami, dan dia melanjutkan aksinya. Aku menikmati selurunya, bahkan saat dia mulai menyentuh payudaraku dan meremasnya sekali, membuatku menahan nafas dan menghembuskannya dalam bentuk desahan lirih. Aku bahkan terlalu malu untuk mengakui betapa memabukkannya sentuhan yang dia berikan padaku.     

Richard menghirup udara begitu dalam sebelum akhirnya melepaskanku.     

"Aku tidak bisa melakukan yang lebih dari ini." Katanya dengna tatapan dalam, dan aku merasa bahwa penolakan itu tetap begitu nyata bagiku, dan seperti yang pernah dikatakan Amellia tentang Gabrielle Zein yang harus mengakhiri hubungannya dengan Richard atau Richman karena dia menginginkan lebih. Dan kini aku mengerti mengapa Gabrielle menginginkan lebih, karena akupun begitu ketika berada dekat dengan pria ini.     

Meski seluruh sel dalam tubuhku bertanya-tanya mengapa Richard tidak bisa berhubungan denganku, dan berhenti setelah menciumku, apakah selama ini dia juga tidka pernah bercinta dengan semua wanita yang dia kencani?     

"Aku permisi." Kataku segera mengambil nampan di atas meja dan bergegas keluar dari ruang kerjanya. Aku bergegas menuruni tangga untuk mengembalikan nampan itu di dapur, dan sebelum Mrs. Nourah banyak bertanya aku segera naik ke kamarku dan mengunci pintunya dari dalam begitu aku masuk.     

Aku merosot di balik pintu, memeluk diriku sendiri. Pria bernama Richard Anthony begitu nyata tapi tak tersentuh olehku. Bahkan meski hingga kini ciumannya masih terasa dan bibirku masih berdenyut-denyut karena ciumannya itu, tapi aku tidak bisa membalasnya sama sekali. Tangan dan seluruh sel dalam tubuhku seolah lumpuh hingga tidak memiliki daya untuk membalas apa yang dia lakukan padaku. Bahkan untuk menyentuhnya, rasanya tanganku tak kuasa.     

"Kubur mimpi bodohmu itu dalam-dalam." Aku mengumpat pada diriku sendiri.     

Dan sepertinya satu-satunya pengobat malu yang bisa menyelamatkan kondisi kejiwaanku pasca ciuman insidental itu adalah tidur. Lebih cepat aku tidur akan lebih baik. Dan itu yang kulakukan, aku merangkak ke atas ranjang dan segera menarik selimutku menutupi seluruh tubuhku, hingga ke atas kepalaku. Kurasa tidur dalam keadaan gelap akan lebih baik, itu akan membantuku cepat tertidur.     

***     

Aku terbangun dan mendengar suara pintuku diketuk. Saat pintu itu diketuk untuk kedua kalinya aku turun dari ranjangku dan perlahan berjalan menuju pintu, kemudian perlahan membukanya.     

Jantungku rasanya berhenti berdetak saat melihat pria yang berdiri di ambang pintu. Richard Anthony. Sedang apa dia berdiri di depan pintuku tengah malam seperti ini, masih dengan piyama yang dia kenakan saat dia menciumku di ruang kerjanya tadi.     

"Mr. Anthony." Aku mengeja namanya pelan.     

"Apa kau sudah tidur?" Tanyanya dan aku menggaruk tengkukku, karena entah mengapa rasanya menjadi tidak karuhan.     

"Kurasa tadi aku sempat tertidur."     

"Baiklah, sebaiknya kau kembali tidur." Dia tersenyum dan berbalik, tapi sebelum dia melangkah pergi aku menarik tangannya.     

"Jangan pergi." Kataku cepat, membuat dia menghentikan langkahnya lalu berbalik menatapku.     

"Apa yang kau inginkan?" Tanyanya dan tanpa banyak bicara aku berjinjit dan meraih bibirnya dengan bibirku, dan mengalungkan kedua lenganku di lehernya agar dia tidak bisa bergerak kemanapun. Aku menciumnya dengan sangat kasar, sebisaku, semampuku, tanpa bekal teori yang cukup, kurasa aku mungkin menyakiti bibirnya, karena dia menarik dirinya dan menatapku dengan dalam saat wajahku berada diantara kedua telapak tangannya.     

"Biar ku tunjukkan caranya." Dia menarikku hingga aku berada dalam posisi menempel padanya seperti sedang digendong, menghadapnya, dengan tanganku terkalung di lehernya sementara dia terus menciumku dan membawaku masuk ke dalam kamar, kemudian dengan kakinya yang ditendangkan ke belakang dia menutup pintu dibelakang kami. Langkahnya perlahan tapi pasti membawaku ke atas ranjang, kemudian menjatuhkanku lembut, hingga aku tidak bisa bergerak kemana-mana lagi karena dia segera merangkak di atasku dengan terus menciumku.     

Ditengah ciumannya dia menarik tali piyamanya hingga piyama itu terlepas dan menyisakan celana dengan bahan sutera tipis yang membuatku bisa melihat ada sesuatu dibalik celana itu yang mulai mengeras hendak menerjang tipisnya sutera berwarna abu-abu itu.     

"Apa kau benar-benar menginginkannya?" Bisiknya dan aku mengangguk. Dia menarik tali piyamaku dan membuat dua sisi piyama kimono yang membungkus tubuhku tersibak ke masing-masing sisinya. Menyisakan pakaian dalam warna merah berani yang kukenakan.     

Telunjuk Richard menyusup dibelahan dadaku kemudian menyibakan penutup payudara ke kedua sisi, hingga payudaraku benar-benar telihat penuh, menyembul dan dia tidak membuang-buang waktu. Dengan bibrinya yang nakal Richard menyentuh ujung payudara kiriku, sementara tangannya memainkan sisi satunya, membuatku menggeliat tak menentu dalam sensasi kenikmatan yang selalu terngiang di kepalaku.     

Richard benar-benar tahu bagaimana membuatku tidak berdaya dalam kenikmatan. Apalagi saat dia menuruni jalur dari belahan payudara hingga ke pusar dan ke bagian pangkal pahaku. Dia bermain-main dengan lidahnya dibawah sana hingga aku tak kuasa menahan jeritan-jeritan kecil syarat kenikmatan itu. Aku bahkan mulai terengah dan tidak bisa lagi bernafas dengan normal. Dan saat itu Richard menarik turun celananya sebatas paha kemudian menghujam kedalam diriku, membuatku hampir berteriak karena semua terasa begitu mendadak, tiba-tiba dan aku merasa sangat penuh seketika.     

Aku baru merasakan dimana letak kenikmatannya saat Richard mulai bergerak dengan irama yang semaki cepat. Aku terengah, melenguh, mengerang panjang pendek tak menentu, dan saat tanganku mencengkeram punggung Richard karena aku tak kuasa menahan kenikmatan yang dia berikan, Richard justru menjadi seperti seekor kuda yang baru saja dipecut untuk bergerak lebih cepat. Semakin cepat, semakin cepat, semakin cepat dan aku berteriak keras karena tidak kuasa lagi menahan kenikmatan itu. Aku seperti baru saja terlempar ke ruang hampa udara, dimana semua gelap, tapi sungguh nikmat.     

"AH . . . . .!!!!" Aku terhenyak saat membuka mata, dan aku tidak melihat Richard dalam pelukanku.     

"Shit . . .!!!" Aku mengumpat pada diriku sendiri, karena ternyata aku bermpimpi. Tapi mengapa begitu nyata?! Sial!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.