Sistem Teknologi Gelap

Persoalan Angka Imajiner



Persoalan Angka Imajiner

0Sebenarnya "Washington Times" bukanlah koran mainstream, namun berita itu sudah menjadi populer.     
0

Tidak ada topik yang bisa menjadi lebih populer ketimbang soal rasisme.     

Para petinggi Korea pemilik koran telah menyatakan perang, dan diskusi tentang kejadian ini terjadi dimana-mana, mulai dari Twitter hingga Facebook.     

Tentu saja, para mahasiswa dari China dan warga negara China yang tinggal di luar negeri memihak kepada Luzhou, sementara para warganet kulit hitam dan kulit putih penganut kiri merasa marah.     

Namun, Luzhou tidak terlalu peduli.     

Ia sendiri jarang menggunakan Twitter dan Facebook, sehingga ia tidak merasa sebal. Ditambah lagi, ia masih banyak pekerjaan, ia tidak punya waktu untuk terlalu memedulikan ocehan warganet asing.     

Namun, di sisi lain, pihak media telah menyatakan perang, dan mau tidak mau, ia harus merespon.     

Waktu berlalu dengan cepat, dan hari konferensi pun tiba.     

Konferensi baru akan dimulai beberapa jam lagi, dan Luzhou pergi ke Bundaran Palmer untuk membeli makanan.     

Jika ia pergi ke Ivy Club, ia akan terlambat, karena tempat itu berada sekitar setengah mil dari Hotel Princeton.     

Luzhou menemukan sebuah restoran Texas Burger di dekat Bundaran Palmer. Saat ia membuka pintu, ia mendengar suara keributan.     

Seorang pria kulit hitam berdiri di depan meja kasir dan berkata.     

"Burger ayam harganya 6 dolar, daging panggang Texas harganya 7 dolar, dan set makanan harganya 3.5 dan 4 dolar. Selain itu, coca-cola harganya 1 dolar."     

"Jadi, dapat disimpulkan bahwa daging panggang Texas harganya 1.5 atau 2 dolar. Jelaskan mengapa ini berbeda? Apa kamu memakai angka imajiner?"     

Pria Texas yang berdiri di belakang meja kasir menghela nafas, "Memangnya kenapa sih?"     

"Tidak, hanya aneh saja." Profesor Enoch berkata dengan penuh percaya diri, "Di Nigeria, perhitungan seperti ini adalah materi SMP. Kamu berjualan burger di Princeton, tapi-"     

Penjaga meja kasir itu tidak ingin beradu argumen dan berusaha mengusirnya, "Itu bukan urusanku. Kalau kamu mau beli, bayarlah. Jika tidak mau, pergilah."     

Walaupun ia mau menggunakan kata 'enyahlah', ia harus menahan emosi karena ini urusan bisnis.     

Mata Enoch tampak berbinar-binar, senang dengan hasil kelakuannya.     

Seperti bagaimana ia dapat membuat anak-anak kulit hitam memandangnya seperti dewa yang maha tahu, ia merasa senang saat dapat menghina orang-orang yang ada di bawahnya.     

Sebuah racun jiwa.     

Namun, sepertinya Profesor Enoch tidak tahu bahwa situasi di sini berbeda dengan di Nigeria.     

Sosok penjaga kasir itu bukanlah anak kulit hitam yang ingin belajar, mengubah takdir, dan pergi dari Afrika. Ia sama sekali tidak tertarik dengan pertunjukan Profesor Enoch.     

Saat penjaga kasir itu hendak meminta bantuan para pelayan restoran, terdengar suara yang tidak keras namun cukup jelas.     

"Sistem persamaan, ya? Apakah Anda mau memamerkan hal dasar yang diajarkan di China? Sudahlah… Pak, aku ingin pesan sandwich bacon dan kopi, kalau bisa cepat karena aku ada sesi briefing sebentar lagi." Luzhou lalu meletakkan beberapa lembar uang di atas meja.     

Penjaga kasir itu pun tersenyum.     

"Baiklah, segera diantar."     

Mendengar kata briefing, Profesor Enoch menjadi tertarik.     

Ia pun mendekat dan bertanya.     

"Kalau begitu, bagaimana kamu akan menjelaskan harga aneh itu?"     

"Sederhana saja, dengan persamaan. Tetapi, untuk kasus ini, Anda harus menambahkan koefisien. Koefisien yang dalam dunia ekonomi dikenal sebagai 'margin preferensial'." Luzhou lalu mengedikkan bahunya, "Tentu saja, kalau tidak ada koefisien ini Anda pasti akan mendapatkan harga yang salah, karena Anda menghitungnya dengan persamaan biasa tanpa pengaturan untuk menyetarakan persamaan itu dengan kondisi di dunia nyata. Bagaimana nasib murid Anda jika diajari oleh profesor yang tidak tahu definisi angka imajiner seperti ini?"     

Para mahasiswa lain yang duduk dan makan tidak ikut-ikutan, namun ada yang mulai tertawa.     

Sebenarnya, mereka tidak ingin tertawa, namun melihat ada yang bisa menyangkal orang sok pintar itu rasanya menyenangkan.     

Di dunia matematika, angka imajiner adalah angka yang berbentuk a + b * i, a dan b adalah angka real yang tidak boleh sama dengan 0, sementara i adalah angka minus. Tidak ada yang berani angkat bicara di sini, namun hal itu adalah hal sederhana yang diajarkan di semua sekolah menengah.     

Jika membicarakan kehidupan nyata, harus ada koefisien untuk mendefinisikan faktor 'x' tergantung pada situasi.     

Ini bukan hal yang sangat sulit, ini hal yang seharusnya diajarkan kepada semua murid.     

"Dia benar, urusan… margin preferensial atau apalah itu. Apa Anda mau beli?" Penjaga kasir itu melambaikan tangan dan memicingkan matanya, "Kalau tidak, pergi sana, masih ada pelanggan lain."     

Suasana yang tegang segera mencair.     

Wajah Enoch tampak memerah karena marah, "Memangnya kenapa? Angka imajiner tetap dapat digunakan di dunia nyata! Apa kamu tidak tahu bahwa…"     

Mendengar seruan itu, Luzhou menghela nafas, ingin bertanya apa ia tahu definisi setiap kata yang ia gunakan.     

Namun, akhirnya ia hanya menanyakan satu hal…     

"Anda masih mau tanya lagi? Koefisien itu tidak tetap dan bisa berubah-ubah!"     

...     

Drama itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan keributan yang ada di internet.     

Sebenarnya, Luzhou ingin tahu siapa dosen yang mengajari Profesor Enoch, namun suara tawa orang-orang di sana membuat wajahnya memerah hingga ia keluar dengan sebal.     

Luzhou duduk dan memakan makanannya, sebelum pergi ke Hotel Princeton di seberang Palmer Square.     

Larter berdiri di depan pintu dan menyapa setiap tamu dengan senyuman. Saat ia melihat Luzhou, ia terdiam sesaat, namun akhirnya tersenyum juga.     

Senyum yang kecut.     

"Selamat datang, matematikawan China Princeton. Saya tidak menyangka Anda akan datang."     

Luzhou memandang ruangan konferensi yang hampir penuh dan menjawab, "Saya diundang, kan?"     

"Anda masih bisa tertawa?" Larter mengernyitkan alisnya, "Saya harap Anda masih bisa seyakin sekarang satu jam lagi."     

Luzhou memutuskan untuk bertanya, "Saya ingin tahu sesuatu."     

"Ada apa?" Tanya Larter.     

Luzhou hanya tersenyum dan bertanya, "Siapa yang memberimu ide seperti ini?"     

Larter terdiam, namun perubahan ekspresinya tidak terlalu jelas, "Ide apa? Maaf, aku tidak mengerti."     

Luzhou hanya tertawa, "Lupakan saja."     

Tentu saja, Luzhou tidak berharap ia akan mendapatkan jawaban.     

Namun, Luzhou tahu, ia hanya harus meyakinkan orang-orang di sini.     

Larter langsung berbalik dan menyapa orang-orang dari berbagai organisasi, atasan-atasannya, beserta dengan para politikus.     

Kebanyakan orang di sini sama sekali tidak mengerti tentang matematika, mereka hanya ingin mendengar Luzhou mempertahankan pencapaiannya dan menyangkal hinaan mereka kepada kerja keras berbagai matematikawan.     

Tempat ini adalah tempat beradu popularitas, tempat yang hanya ada untuk menarik perhatian dan menciptakan sasaran amarah baru.     

Luzhou ada di sini hanya karena hinaan seorang 'profesor' dari Nigeria yang berusaha untuk menjatuhkan komunitas akademik China dan Amerika. Pertemuan ini hanya ada karena masalah politik.     

Kalau begitu…     

Bukankah seharusnya ia tidak ikut-ikutan?     

Komunikasi akademik tidak dapat dilakukan dengan matematika kelas SD. Lebih baik ia berdiskusi dengan sapi ketimbang dengan si 'profesor' Enoch ini.     

Namun, ada beberapa hal akademik yang dapat dijelaskan walau menggunakan bahasa sederhana.     

Luzhou lalu membetulkan dasi di lehernya.     

Ini tidak akan sulit.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.