Limited Time : Kapan Mimpi Ini Akan Berakhir (Complete)

Kepercayaan



Kepercayaan

0Hari Sabtu,     
0

Pagi itu, Joy sudah berdandan rapi, siap untuk berangkat ke acara ulang tahun temannya dengan tangan kosong.     

Dia khawatir dia akan menjadi bahan ejekan teman-temannya karena tidak membawa hadiah. Tapi rasa khawatirnya tidak sebanding dengan tujuannya untuk mengubah masa depannya.     

Semenjak malam itu, pikirannya penuh dengan kenyataan keluarganya yang baru diketahuinya.     

Tampaknya terjadi banyak kesalahpahaman antara mereka bertiga. Ayahnya yang tidak pernah memberitahu ibunya yang sebenarnya, dan ibunya yang tidak mau mendengar ucapan ayahnya, dan dirinya yang hanya mempercayai omong kosong dari tante beserta omnya.     

Jika seandainya mereka bertiga bisa duduk tenang dan saling mengungkapkan isi hati mereka, apakah salah paham mereka akan berakhir?     

Tidak. Kesalahpahaman mereka tidak akan berakhir. Yang ada malah mereka akan saling menyalahkan dan menganggap dirinyalah yang benar. Tidak akan ada dari mereka yang ingin disalahkan ataupun mau mengakui kesalahan. Suasana diantara mereka akan semakin memanas dan emosi menguasai mereka.     

Joy sendiripun, meskipun dia mau mengakui kesalahannya dan rela kedua orangtuanya menyalahkannya hingga mereka puas; tidak yakin apakah dia bisa bertahan.     

Terkadang dalam lubuk hatinya, dia ingin sekali mengatakan pada kedua orang tuanya dengan lantang. Bahwa mereka berdua sama-sama salah. Dia ingin bilang dia sudah tahu apa yang akan terjadi bila mereka bercerai. Dia ingin bilang, dia memiliki ingatan masa depan dan ingin merubah masa depannya yang buruk.     

Dari dulu dia ingin mengucapkannya dan memberi tahu kedua orangtuanya bahwa dirinyalah yang benar. Tapi, bukankah itu semua hanya menunjukkan sikap arogannya?     

Dia hanya akan dipandang sebagai anak yang durhaka tidak hanya dimata kedua orangtuanya, namun juga dipandangan kaum keluarga ayah ibunya.     

Tidak hanya itu, nama kedua orangtuanya juga akan menjadi jelek karena gagal mendidik putri mereka.     

Jika seperti itu, lalu apa gunanya dia diberikan kesempatan kedua ini? Apa gunanya dia merasa menyesal jika dia semakin arogan dan memberontak? Apa gunanya dia memikirkan cara agar hubungan kedua orangtuanya membaik jika dia terus menyalahkan mereka?     

Tidak. Dia tidak akan mengatakan yang sebenarnya pada kedua orangtuanya. Mungkin memang terdengar lebih mudah jika dia memberitahu mereka bahwa dia sudah melihat masa depan.     

Tapi dia tahu, hal ini tidak akan semudah kelihatannya. Pertama, mereka belum tentu percaya padanya. Kedua, meskipun mereka percaya, mereka tidak akan bisa saling menerima kembali dalam waktu singkat.     

Butuh waktu untuk menjalin kasih yang sudah lama terputus. Itulah yang dipikirnya pada awalnya.     

Namun setelah menghabiskan waktu bersama ayahnya beberapa hari ini, dia merasa yakin bahwa ayahnya masih menyayanginya dan ibunya.     

Dia tidak tahu bagaimana dengan ibunya, tapi dia tidak ingin menghakimi ibunya. Dulu dia membuat kesalahan yang fatal. Dia hanya mendengar ibunya menjelek-jelekkan ayahnya dan mempercayai beliau begitu saja. Akibatnya, dia ikut memandang rendah ayahnya dan tidak sudi berbicara dengan beliau walau hanya lima menit saja.     

Sekarang dia tidak ingin mengulangi hal yang sama. Dia merasa jauh lebih dekat dengan ayahnya daripada dulu, sekarang saatnya mendekati ibunya dan mencari tahu isi hatinya.     

Tentu saja seperti yang diduganya. Menemui ibunya sama sekali tidak mudah seperti menemui ayahnya. Dia merasa untuk bertemu dengan ibunya sama seperti saat dia ingin bertemu dengan kepala sekolahnya.     

Jika dia ingin menemui kepala sekolah dia harus membuat janji terlebih dahulu dan baru bisa masuk ke ruangan kepala sekolah untuk menemui beliau. Padahal hampir setiap hari dia melihat wajah beliau disaat jam istirahat.     

Sama seperti ibunya. Mereka tinggal satu atap, tapi jarang sekali bertatap muka. Kalaupun ketemu, itu hanya waktu sarapan yang sangat singkat.     

Bagaimana caranya agar dia bisa mengobrol dengan ibunya secara leluasa tanpa dikekang oleh waktu?     

Joy belum sempat mencari solusinya saat ayahnya memanggilnya dari luar kamarnya. Joy membuka pintu dan melihat ayahnya memberikan sebuah bingkisan.     

"Apa ini?"     

"Hadiah ultah untuk temanmu." jawab ayahnya. "Jika dia tanya berapa harganya, jawab saja, harganya tak ternilai."     

"Huh?"     

"Tapi sepertinya dia akan tahu nilai harganya begitu melihat isinya."     

Joy sama sekali tidak mengerti maksud ucapan ayahnya, tapi dia tidak membantah dan tetap menurut. Yang penting dia tidak datang dengan tangan kosong.     

Meskipun dia tidak tahu isi bingkisan ini, dia yakin hadiah ini tidak akan mengecewakan. Dia percaya ayahnya tidak akan membuatnya malu di depan teman-temannya.     

Kalaupun seandainya pada akhirnya dia dijadikan bahan cacian karena hadiah ini, dia juga tidak akan keberatan.     

Dalam perjalanan, Joy tidak berhenti tersenyum. Dia terkejut ayahnya mau ikut mengantarnya ke tempat acara pesta, tapi dia sangat senang dengan keberadaan ayahnya disisinya.     

Dia tahu dia bukanlah anak kecil yang perlu diantar sang ayah saat pergi ke suatu tempat. Hanya saja dia tidak pernah merasakan perasaan seperti ini waktu dia semakin kecil. Baik ayah maupun ibunya tidak ada yang mengantarnya ke sekolah atau ke tempat acara ulang tahun teman-temannya.     

Selama ini dia selalu diantar oleh supir keluarga. Dia selalu merasa iri pada anak-anak yang diantar jemput oleh orangtuanya.     

Kalau seandainya mama tidak berbicara seperti itu...     

Joy langsung menyingkirkan pikiran negatif itu sejauh-jauhnya. Dia tidak ingin menyalahkan ibunya. Dia tahu, semakin dia menyalahkan ibunya, maka dia akan semakin membenci beliau.     

Tapi... dia tetap penasaran pada ayahnya. Ibunya sudah berlaku tidak adil pada ayahnya. Meskipun sikap ayahnya menunjukkan beliau masih peduli pada keluarga ini, tapi apakah beliau masih mengasihi ibunya?     

"Papa, jika seandainya waktu boleh diulang, apakah papa masih memilih mama?"     

Gardnerr sangat terkejut mendengar pertanyaan yang terlontar dari putrinya. Entah sejak kapan dia merasa putrinya yang ada dihadapannya ini bukanlah putrinya yang selama ini dia kenal.     

Hingga beberapa bulan yang lalu, putrinya selalu bersikap dingin dan menjawab seadanya saja saat dia mengajaknya bicara. Sudah sejak lama dia menyerah untuk berusaha mendekati putrinya.     

Dia bahkan sempat berpikir untuk menyetujui perceraian yang sering diajukan istrinya. Dia sudah tidak tahan dengan omelan istrinya, terlebih kata 'cerai' yang sudah sering ia dengar hingga dia bosan mendengarnya.     

Jika seandainya putrinya juga menginginkan perceraian ini, ada kemungkinan dia akan menandatangani surat perceraian yang sudah siap di kamarnya.     

Surat itu sudah tercantum tanda tangan dari istrinya. Tinggal tanda tangan darinya dan menyerahkan surat itu ke pengadilan, maka mereka akan dinyatakan bercerai secara resmi.     

Tidak. Bahkan meskipun putrinya tidak menyuruhnya cerai, dalam waktu dekat dia akan mendatanganinya. Lagipula, putrinya terlihat sudah tidak lagi menganggapnya.     

Hingga suatu hari, Joy mengajaknya bicara. Bahkan putrinya itu tampak ingin sekali menghabiskan waktunya bersamanya.     

Dia berpikir perubahan Joy hanya bertahan selama beberapa hari saja. Tapi kenyataannya berkata lain. Bahkan hingga dua bulan penuh, putrinya terus berusaha mendekatinya. Tidak hanya dirinya, anak itu juga terus mencari cara untuk mendekati ibunya.     

Dia bertanya-tanya apakah mungkin ada maksud tersembunyi dibalik perubahan sikap Joy. Ternyata dia salah. Dia malah mendapat kesan bahwa putrinya berusaha mendekatkannya kembali pada istrinya.     

Karena itu dia mengambil surat perceraian yang ada didalam laci miliknya, lalu dirobeknya sebelum dibuang ke tempat sampah.     

Selama Joy masih menginginkannya untuk menjadi ayahnya, dia tidak akan bercerai. Lagipula, selama ini dia berusaha sendirian untuk mempertahankan keutuhan keluarga ini. Jika Joy juga memiliki hasrat yang sama dengan dirinya, maka dia juga tidak akan mundur.     

Semenjak Joy diajarkan pelajaran sekolah hari itu, dia menjadi merasa lebih dekat dengannya. Di tengah-tengah kebersamaan mereka dia menyadari sesuatu pada Joy yang tidak dimiliki anak lain seumurannya.     

Putrinya terkadang tampak dewasa dengan sinar mata yang tajam dan tegas. Di lain waktu sinar mata putrinya akan terpancar penuh harap seperti anak kecil yang mengharapkan dibelikan sebuah mainan baru.     

Yang lebih anehnya lagi, putrinya tahu kapan harus bicara kapan harus berhenti tiap kali dia berbicara dengan istrinya.     

Dia menyadari, disaat dia mengobrol istrinya dengan santai dan nyaman, Joy akan pergi meninggalkan mereka berdua. Namun disaat obrolan mereka menyinggung soal hal yang sensitif; yang bisa menyulut emosi, Joy akan muncul dan bertanya tentang suatu yang tidak ada hubungan dengan obrolan mereka sebelumnya.     

Dia merasa Joy yang sekarang sangat berbeda dengan Joy yang dulu. Meskipun dia merasa yakin bahwa putrinya ingin memperbaiki hubungannya dengan istrinya, dia masih belum percaya. Karena itu dia mengujinya.     

Dia tahu kelemahan putrinya. Gelap. Satu-satunya yang bisa membuat putrinya berteriak histeris karena ketakutan yang besar adalah kegelapan.     

Secara kebetulan dia memiliki tempat itu; tempat dimana yang hanya bisa dimasuki dengan melalui jalan yang gelap.     

Dia memang sadar bahwa putrinya telah terbuka terhadapnya, tapi dia ingin memastikan apakah putrinya masih menganggapnya seorang 'ayah'.     

Semula dia memang kecewa saat putrinya tidak mau masuk bersamanya. Dan saat dia melihat sinar ketakutan dimatanya, dia tidak tega untuk memaksanya. Karena itu dia menghentikan 'ujian'nya.     

Ajaibnya, Joy bersedia masuk ke terowongan gelap itu. Dia bisa melihat dengan jelas tubuh putrinya yang gemetaran beserta kedua tangan yang mengepal membentuk seperti tinju. Suara putrinya yang biasanya terdengar ceria, kini terdengar serak karena rasa takutnya yang besar.     

Saat dia menggenggam tangan kecil Joy, dia merasa seperti sedang menggenggam sebuah bongkahan es yang meleleh. Meskipun begitu, dia tidak menghentikan langkahnya. Dia terus membawa Joy berjalan hingga tiba ke tempat oasisnya.     

Melihat tatapan penuh kekaguman dan senyuman lebar yang menghiasi wajah Joy, dia merasa puas.     

Putrinya memiliki cara senyum yang sama seperti ibunya; rambutnya yang terurai berkibar karena hembusan angin membuatnya seperti gadis remaja yang bahagia.     

Impiannya dari dulu adalah menjaga senyuman istri dan anak-anaknya. Setidaknya untuk saat ini dia berhasil membuat putrinya tersenyum bahagia, dia juga ingin membuat istrinya tersenyum bahagia.     

Senyuman yang sama yang dia lihat disaat pertemuan pertama mereka.     

'Jika seandainya waktu boleh diulang, apakah papa masih memilih mama?'     

Kini pertanyaan itu terlontar dari mulut putrinya. Dia tidak perlu berpikir panjang untuk menjawab pertanyaannya.     

"Iya, papa akan memilih mama."     

"Kenapa? Papa tidak menyesal?"     

"Apa yang disesalkan? Mamamu itu tiada duanya. Dia bisa membuat ekspresi yang lucu saat menggerutu; dia juga bisa tersenyum dengan sangat cantik meskipun dia sangat lelah. Tidak hanya itu, sup cumi masakan mamamu sangat enak."     

"Mama bisa masak?" sungguh sangat aneh bagi Joy mendengar ibunya bisa memasak.     

"Tentu saja. Kamu juga pernah makan masakannya waktu kecil dulu."     

"Tapi Joy kan tidak ingat."     

"Coba minta mamamu untuk masak. Mungkin dia mau melakukannya jika kau yang minta."     

"Benarkah?"     

Gardnerr tersenyum melihat sinar mata yang penuh harap pada putrinya. Dia tahu selama ini putrinya terus berusaha mendekati ibunya dengan hasil nihil.     

Tapi dengan ada alasan ingin makan masakan ibunya, istrinya pasti mau meluangkan waktunya untuk memasak khusus putri mereka.     

Dia yakin istrinya merasakan hal yang sama seperti yang ia rasakan. Ingin lebih dekat dan mengenal isi hati Joy.     

Gardnerr melirik kearah putrinya yang tampak tidak sabar untuk meminta 'sesuatu' pada ibunya. Dia tersenyum kecil.     

'Selain itu, kami bisa memilikimu sebagai putri kami." tambah Gardnerr dalam pikirannya atas pertanyaan putrinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.