Milyaran Bintang Tak Sebanding Denganmu

Tutup Mulutmu (4)



Tutup Mulutmu (4)

0

Ji Yi menyelimuti He Jichen, kemudian duduk di lantai. Ia mengambil termometer dari dalam kotak obat dan menyelipkannya di ketiak He Jichen.

0

Jemarinya tanpa sengaja menyentuh dada He Jichen, yang masih terasa kekar seperti empat tahun yang lalu, dan masih dapat membuat Ji Yi merasa hangat di sekujur tubuhnya

Ingatan Ji Yi segera kembali ke malam itu, beberapa tahun yang lalu, dan bayangan kedua tubuh mereka yang menyatu membuat sekujur tubuh Ji Yi bergetar. Ji Yi buru-buru menarik kembali tangannya, dan mencubiti dirinya sendiri berulang kali. Ia baru berhenti setelah sakitnya mampu menyamarkan sentuhan kulit He Jichen.

Sembari memeriksa suhu tubuh He Jichen, Ji Yi mencari-cari obat penurun panas di kotak obat.

Obat-obatan itu tidak pernah terpakai. Ji Yi menyadari bahwa He Jichen pasti tidak punya cukup waktu untuk meminum obat saat mendengar bel apartemen dibunyikan tadi.

Ji Yi membaca petunjuknya dengan hati-hati. Ia lalu berdiri, pergi ke dapur, dan kembali dengan segelas air hangat.

Ia meletakkan gelas itu di lantai. Agar tidak bersentuhan dengan kulit He Jichen lagi, Ji Yi menarik termometernya dengan jauh lebih berhati-hati dari sebelumnya.

Suhu tubuh He Jichen hampir empat puluh derajat.

Ji Yi meletakkan termometer itu dan segera memberinya obat. Untungnya, meski dalam keadaan setengah sadar, pemuda itu masih bisa menelan. Meski ada beberapa tetes air yang tumpah dari sudut bibirnya, namun obat itu berhasil ia minum.

Petunjuk pemakaian obat menjelaskan bahwa jika demamnya tidak turun dalam empat jam mendatang, ia harus meminumkan He Jichen obat itu lagi.

Ji Yi sungguh tidak ingin berada dalam satu ruangan dengan He Jichen, tapi untungnya pemuda itu sedang tertidur, jadi Ji Yi merasa lebih nyaman.

Malam perlahan datang.

Ji Yi memandangi ponselnya untuk waktu yang lama; matanya mulai lelah. Ia lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela.

Lampu di ruangan itu menyala, sehingga jendela kaca yang menjulang dari lantai hingga ke langit-langit ruangan itu terlihat bagaikan cermin. Ji Yi bisa dengan jelas melihat pantulan bayangannya dan He Jichen di jendela itu.

Ji Yi menatap wajah laki-laki itu cukup lama sebelum menundukkan kepala. Raut wajah cantiknya hampir tidak berubah, namun ada sebersit kesedihan di matanya.

Ji Yi menyetel alarm untuk empat jam mendatang. Demam He Jichen belum juga turun, jadi Ji Yi tetap harus memberikannya obat lagi nanti.

Hari itu Ji Yi bangun pagi-pagi sekali. Karena ia harus pergi ke kantor Sutradara Liang, ia tidak akan punya cukup waktu untuk beristirahat pada sore harinya. Setelah jam menunjukkan pukul dua belas siang, Ji Yi mulai merasa mengantuk.

Ia memutuskan untuk menunggu hingga demam He Jichen turun sebelum pergi, namun ketika menyentuh kening pemuda itu, demamnya masih sangat tinggi menghawatirkan. Tak mampu menahan rasa kantuknya, Ji Yi akhirnya terduduk ke lantai dengan bersandarkan tembok. Di sela kantuknya, Ji Yi kembali menyentuh kening He Jichen. Sudah tidak terlalu panas. Ia menghela napas lega, sebelum akhirnya jatuh tertidur.

Ji Yi yang tertidur lambat laun terjatuh ke lantai. Namun rasa sakit yang ditunggunya tidak datang. Ia justru merasakan kehangatan yang nyaman di bawah tubuhnya. Ji Yi meringkuk ke posisi yang nyaman dan akhirnya tertidur pulas.

...

Dalam tidurnya, He Jichen merasakan ada seseorang yang meringkuk di lekukan lengannya. Aroma yang begitu akrab dari tubuh yang lembut itu menyeruak, memenuhi lubang hidungnya.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.