Milyaran Bintang Tak Sebanding Denganmu

Biarkan Dia Pergi (3)



Biarkan Dia Pergi (3)

0

Sebenarnya, Lin Ya tidak terlalu banyak berbicara, tapi He Jichen tidak punya cukup kesabaran untuk meladeni gadis itu. Ia mendongak, berharap untuk dapat menghindari Lin Ya, tapi kemudian pemuda itu melihatnya, Ji Yi yang sedang berdiri tak jauh dari pintu masuk supermarket.

0

Gadis itu sedang melihat ke arahnya dan Lin Ya. Matanya terlihat jernih—tanpa emosi sama sekali—tapi di saat itu pula jantung He Jichen seakan berhenti berdetak sesaat lamanya. Rasa panik yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata lantas menyerangnya. Tanpa sadar ia menggerakkan kakinya untuk melangkah ke arah Ji Yi. Akan tetapi, Ji Yi tiba-tiba berbalik dan bergegas pergi.

Suasana hatinya seketika menjadi sangat buruk. Diam-diam ia memandang tempat di mana Ji Yi sebelumnya berdiri. Kemudian, tanpa membeli korek api, ia berbalik, membuka pintu mobil dan masuk.

Ia tak menghiraukan Lin Ya yang mengetuk-ngetuk jendela mobilnya dengan panik dan segera menginjak pedal gas kuat-kuat, meninggalkan Lin Ya dalam debu yang ditimbulkan mobilnya ketika melaju kencang.

Saat hampir sampai di rumahnya, He Jichen mendapat telepon dari Han Zhifan yang mengundangnya ke The Golden Lounge untuk bermain kartu. Dia belum memutuskan akan pergi memenuhi undangan itu ataukah tidak, dia hanya menjawab dengan sebuah gumaman, kemudian menutup telepon.

Ketika He Jichen hendak berbelok ke gerbang perumahannya, ia ragu-ragu untuk sesaat, sebelum akhirnya memutar mobil, dan pergi menuju The Golden Lounge.

Bermain kartu membantunya menghabiskan waktu. Dalam sekejap, langit telah berubah gelap.

Setelah He Jichen mengambil sebuah kartu yang ada di hadapannya, Han Zhifan melirik jam tangannya. Sudah jam delapan malam. Ia lalu menoleh ke arah He Jichen yang membisu sejak awal permainan. "Kau mau ke sebelah untuk memesan makanan?" tanya Han Zhifan.

He Jichen tahu bahwa "sebelah" yang dimaksud oleh Han Zhifan adalah Hotel China World, Beijing. Pemuda itu menggosok permukaan kartunya dengan jemarinya, dan setelah berpikir untuk beberapa saat lamanya, ia mengangguk, lalu berdiri dan meninggalkan ruangan.

Han Zhifan buru-buru memanggil pelayan untuk membayar tagihan, lalu menyambar jaketnya dan segera menyusul He Jichen.

Setelah makan malam selesai, Han Zhifan mengeluarkan sekotak rokok seperti biasanya. Ia menarik sebatang rokok dan hendak menyelipkannya di sela-sela bibir ketika teringat pada He Jichen. Sambil duduk berhadapan, ia menawarkan rokoknya pada He Jichen. "Kau mau?"

He Jichen mengulurkan tangan untuk mengambil sebatang rokok tanpa bersuara.

Han Zhifan menyalakan rokok He Jichen terlebih dulu, kemudian miliknya. Seraya mengapit rokok itu di sela bibirnya, Han Zhifan perlahan menghisapnyaa. Ia mengira bahwa He Jichen hanya akan berdiam diri sambil memegang batang rokoknya di antara kedua jari, menunggu hingga rokok itu perlahan terbakar sampai habis, seperti biasanya. Tak disangka, sedetik kemudian He Jichen meletakkan rokok itu di sela bibirnya dan menghisapnya dalam-dalam.

Setelah empat tahun menjadi teman sekelas He Jichen, Han Zhifan tahu bahwa pemuda itu suka membawa rokok, tapi tidak pernah menghisapnya.

Sejak tiga tahun yang lalu, ini baru kali kedua ia melihat sahabatnya itu menghisap rokoknya.

Tingkah laku He Jichen yang aneh membuat Han Zhifan heran. Ia lalu melirik piring He Jichen dan melihat bahwa tidak ada bekas makanan sama sekali. Han Zhifan baru menyadari bahwa hanya dia sendirilah yang makan, sebab He Jichen bahkan belum memegang sumpitnya.

Han Zhifan menyemburkan asap dari mulutnya, lalu bertanya, "Ada apa? Kau sedang kesal?"


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.