Hold Me Tight ( boyslove)

Frustasi!



Frustasi!

0"Hufh... Sial! Memikirkan kejadian kemarin membuatku hilang muka jika harus bertemu dengannya lagi," umpat Nathan sembari menatap pantulan dirinya di depan kaca. Rambut berantakannya di sunggar ke belakang menampilkan urat di dahi yang seketika muncul karena gertakan gigi. Ekspresinya jelas menunjukkan frustasi parah. Ia tak pernah menyangka jika hanya dengan sepenggal pernyataan cinta sudah begitu memporak-porandakan kedamaian hatinya.     
0

Nathan memang sudah menjalin kasih dengan Rian, tapi karena fakta itu juga tak bisa membuatnya mengakui penyimpangan seksual penuh yang dialami. Ia hanya suka Rian dan hanya sebuah kebetulan jika hatinya terpaku pada sosok pria.     

Egonya memang begitu tinggi, Max yang dengan berani bertingkah kelewatan sudah seperti merendahkan harga dirinya.     

Hari ini memang Nathan berniat untuk meminta maaf atas perbuatannya yang kekanakan. Bukan karena ia menyesalkan aksi pemukulannya kemarin, hanya saja Nathan tak ingin bermasalah, ia tak ingin menambah beban pada pikirannya lagi. Pria itu sebisa mungkin memotong pangkal dari setiap masalah yang timbul. Berdamai jika mungkin, atau pergi jauh dan langsung melupakan seluruhnya kalau memang tak bisa ditolerir.     

Menatap sekali lagi tampilannya di cermin. Wajah yang harusnya nampak bersinar karena pembersih wajah mahalnya itu, rupanya sama sekali tak berpengaruh, Nathan masih sangat terlihat suram.     

"Selesaikan sekarang, Nath!" yakin Nathan berusaha memantapkan diri. Sorot matanya pun menatap dengan tajam, lengannya terangkat untuk menepuk-nepuk pipi. Sebuah anggukan kepala pun mengakhiri diskusi pribadi.     

Ia lantas bergerak cepat untuk mengganti pakaian tidurnya dengan celana pendek selutut dan kaos putih polos. Tak perlu menyempatkan diri untuk mandi, cukup sekali semprotan parfum, tak perlu banyak-banyak. Rambutnya yang berantakan pun dibiarkan, ia ingin terlihat tak berlebihan atau lebih tepatnya tak mempersiapkan diri karena akan menemui Max. Setidaknya tampilan seperti ini tak membuat pria berwajah barat itu berpikir berlebihan hanya karena Nathan yang ingin mengajak bertemu.     

"Aku tidak tau bagaimana ini semua bisa terjadi, tolong bantu aku..."     

Sebuah suara sayup yang dikenal Nathan, membuat langkahnya terhenti. Menyelesaikan langkah terakhir pada undakan tangga ke bawah, ia lantas membelokkan tujuan awal dan melangkah dengan pelan kearah pintu samping yaitu sebuah taman kecil. Sosok wanita paruh baya yang sedang sibuk berbincang melalui ponsel, mama Nathan. Wanita dengan sikap dingin hingga Nathan yang merupakan sang anak pun tak bisa menemukan setitik pun kehangatan. Ia selalu menampakkan raut kaku hingga kawan-kawan Nathan sampai harus izin pulang di pagi buta, berusaha menghindari wanita paruh baya itu, "Takut mama mu," kata mereka serentak.     

"Semua menjadi berantakan, aku seperti kehilangan hidupku, hikkss..."     

Sebuah isakan membuat Nathan mengernyitkan dahi. Pikiran Nathan pun seketika berkecamuk, tak bisa dipungkiri jika Nathan masih mempunyai jiwa empati untuk merasa iba atau pun berkeinginan mengelus punggung ringkih sang mama dan berucap, "Tak apa, semua akan baik-baik saja."     

Tapi apa mungkin? Apa mungkin Nathan sanggup tergerak dan berpura-pura dekat pada sosok yang selalu mendorongnya jauh itu? Apa mungkin ia sanggup melupakan segala kesakitannya dan merengkuh tubuh wanita paruh baya yang penuh misteri itu?     

Pergi. Itu adalah pilihan yang tepat untuk saat ini. Memacu kendaraan pribadinya dengan kecepatan tinggi, meliuk-liuk diantara pengendara lain. "Jika tak berniat dekat, tak usah tanggung... Lebih baik selamanya seperti ini. Hidupnya dibuat sesederhana mungkin, lagipula ia tak terlalu berharap banyak untuk hubungan keluarga yang berakhir bahagia seperti kebanyakan. Semua sudah rusak sejak awal."     

Berdiri di depan pintu yang menjadi tujuan awalnya, rumah Max. Menghembuskan napas panjang dengan kepala menunduk dalam, bayangan sesaat tadi yang mengganggu, sejenak dihilangkan. Lengannya bersiap terangkat untuk menekan bel rumah, hingga Nathan harus dikejutkan dengan pintu yang sudah terbuka terlebih dulu dari dalam.     

"Huh! Nathan....!" pekik seorang wanita dengan rambut sebahunya. Senyum girang yang masih diingat Nathan dengan begitu jelas, Cherlin?     

"Sekarang aku libur, kau pergi sana!" lanjut wanita itu memerintahkan seorang pria yang berdiri di belakangnya untuk segera pergi. Terlihat jelas di pandang Nathan jika pria yang mengenakan setelan warna hitam itu hendak protes. Mulutnya setengah terbuka namun tak satu kata pun terlontar, hingga akhirnya ia pun memilih pergi setelah mengangguk singkat kearah Nathan.     

"Ayo masuk-masuk!" ajak Cherlin lantas menarik lengan Nathan untuk mengikuti langkahnya.     

"Duduklah disini, jangan sungkan-sungkan... Anggap rumah sendiri. Oh ya, mau minum apa?" oceh Cherlin dengan posisi duduk yang begitu menempel kearah Nathan.     

"Eh... Tak usah repot-repot, aku hanya ingin bertemu dengan kakak mu, ada urusan," timpal Nathan lantas berusaha bergerak menjauh. Lengannya yang terbelit dengan erat pun ditarik dengan perlahan. Nathan sungguh risih dengan wanita disampingnya itu.     

"Oh, benarkah... Ku pikir kau ingin bertemu denganku," ucap Cherlin dengan nada kecewanya, ia pun menundukkan pandang dan mencebikkan bibir.     

"..."     

Diam. Nathan tak bisa menanggapi keriwehan Cherlin. Wanita itu terlalu banyak bicara dan Nathan sudah seperti tak bisa menahan diri untuk membekap mulut berpoles merah darahnya itu. Pikiran Nathan sudah begitu suntuk, niat hati ingin menyelesaikan masalah dengan cepat, ia malah dihadang oleh wanita tak berguna yang kini membuat telinganya begitu panas.     

"Kenapa kau masih disini, pergi sana!" sentak suara bariton yang membuat Nathan tanpa sadar menghembuskan napas lega. Ia tak menyangka jika kehadiran pria yang tengah berdiri dengan setelan baju kantornya itu cukup berguna untuk situasi seperti ini.     

"Brother sangat jahat! Berikanlah sedikit kesempatan untuk adikmu ini memulai pendekatan dengan Nathan," protes Cherlin yang sudah berdiri menghadap Max, sang kakak. Pandangan keduanya nampak sekali aura persaingan, sedangkan Nathan yang menjadi topik perebutan, hanya mencebikkan bibir merasa bosan.     

Mengabaikan keduanya, Nathan pun mulai memposisikan duduk dengan nyaman, kedua lengannya terbelit di depan dada. Pandangannya sama sekali tak berminat untuk meneliti jalannya perseteruan.     

"Jangan mengada-ngada! Kau mau menuruti ku atau tidak?!"     

"Dasar tukang ancam!"     

"Umpat sesukamu, tapi ingat! Kau tak bisa mengabaikan setiap ucapan ku."     

"Brother...!" rengek Cherlin merasa begitu kesal dengan sang kakak. Pria yang berjabat lebih tinggi darinya itu selalu saja mengetahui titik lemahnya. Cherlin tak bisa berkutik, segala kendali milik pria itu.     

Cupp     

"Belajar dengan rajin adikku sayang..." tambah Max kemudian mengecup dahi Cherlin sekali lagi. Tangannya mengkode Riki untuk mendekat, sang pengawal yang sudah siap siaga di depan pintu itu pun segera menggiring sang nona. Tak bisa dihilangkan, raut Cherlin yang masih mengkerut itu sesekali berbalik untuk menatap Nathan, hingga jarak pandang membuatnya menyerah.     

"Ikut aku!"     

Drama pun selesai. Max sudah terfokus kearah Nathan yang sempat diabaikan. Telapak besarnya pun terulur, berharap untuk digapai.     

"Kemana, kamarmu?" balas Nathan setelah melirik singkat perlakuan Max. Lidahnya pun berdecih, "Max sungguh menjijikkan dengan tingkah berlebihannya," pikir Nathan.     

"Oh ayolah! Meski pun aku menyukaimu tak mungkin juga aku langsung merencanakan yang macam-macam. Apa kau mau aku membicarakannya disini?"     

"Ya sudah, ayo!" putus Nathan berusaha mempercepat pertemuan. Membicarakan hal memalukan memang tak bisa di ruang terbuka, bisa gawat kalau orang lain mendengarnya. Nathan lantas bangkit dan berjalan lebih dekat kearah Max.     

"Tapi berdua dengan mu di ruang tertutup, aku tak bisa jamin kalau kau keluar dengan keadaan bibir baik-baik saja," bisik Max yang dengan kurang ajarnya mengelus permukaan benda kenyal milik Nathan. Pandangan yang sesaat beradu hingga Max memutuskan, tubuhnya berbalik dan meninggalkan raut marah di wajah Nathan.     

"Shit!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.