Hold Me Tight ( boyslove)

Jevin dan Zeno bisa dekat?



Jevin dan Zeno bisa dekat?

0"Max, kenapa kau begitu bangsat, ya?"     
0

"Hahaha..." Max terbahak, puas memberi Jevin pelajaran yang dahulu tak sempat di lakukannya.     

Sebelum kedua dominan itu terlibat baku hantam, Nathan yang menyadari Max dan Jevin pun langsung mempercepat langkahnya.     

"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Nathan setelah berada di posisi pertengahan sang kekasih dengan adiknya yang tengah memberenggut itu.     

"Apa lagi jika tidak tentang mu?" sahut Jevin yang sedikit jutek.     

"Kenapa kau turun? Apakah Zeno sudah tidur?" imbuh Max yang mempertanyakan. Sembari lengannya yang menggiring Nathan untuk duduk di atas pangkuannya.     

"Sudah."     

"Dan kau keluar untuk mencari ku?" gemas Max yang terlalu memeluk Nathan terlalu erat, Jevin yang melihatnya bahkan merasa sedikit khawatir karena bisa saja kakaknya itu remuk karena terlalu di cengkram erat.     

"Max... Emphhh..."     

Namun tak bisa di perkirakan oleh Jevin yang terlalu fokus pada pertunjukan di hadapannya. Saat tiba-tiba saja matanya kembali ternodai. Max memalingkan wajah Nathan, lantas mencium pria yang terlihat tak sedikit pun memberi penolakan itu.     

"Halo... Masih ada orang di sini..." Jevin pun melambaikan kedua tangannya tanda menyerah.     

Brakkk     

Menggebrak sisi meja yang membuat Nathan dan Max berjengkit kaget.     

Beranjak dari tempatnya, Jevin lantas kembali ke lantai atas dengan menggerutu. "Dasar tak punya hati, apa mereka tak mengerti jika aku masih akan merasa sakit hati saat melihat kemesraan mereka berdua? Lagipula kenapa pula Nathan bisa berubah menyebalkan? Jelas, ini pasti karena pengaruh buruk Max, kan?"     

Sampai di pertengahan lorong dengan sisi sampingnya dua pilihan pintu. Jevin sempat merasa bingung untuk menentukan arah tujuannya untuk mengistirahatkan diri.     

Kriettt     

Namun langkahnya seperti menentukan jalannya sendiri. Menarik ganggu pintu, lantas mendorong bilah pembatas kayu itu untuk terbuka.     

Zeno yang menyadari, lantas terlihat kelabakan dan langsung melempar tubuhnya kembali untuk meringkuk di atas ranjang.     

Hampir saja Jevin menyemburkan tawanya karena Zeno yang belagak tidur pulas, terlalu merapatkan kelopak mata terpejamnya dengan raut wajah begitu tegang.     

"Aku mendengar dari Nathan kalau kau sudah tertidur, apakah kau sedang berbohong pada papa mu?"     

Zeno pun sontak menggeram jengkel, memutar tubuhnya menghadap lurus, lantas menyibak selimut tebal miliknya dan beranjak bangkit dari baringannya dengan awan pekat melebihi langit malam.     

"Siapa yang mengizinkan kau masuk? Kemarin rasanya aku sudah cukup berbaik hati untuk membiarkan mu tidur satu ranjang dengan ku."     

Jevin yang tak mempedulikan Zeno yang nampak bersungut-sungut, memilih melanjutkan langkahnya memasuki ruangan setelah menutup pintu.     

Bahkan dengan beraninya duduk di sisi ranjang milik Zeno, meski bocah itu langsung menggelindingkan tubuhnya menempati sisi terjauh. "Hei, kamar ini pernah menjadi milik ku," pikir Jevin yang berniat meneriaki bocah itu. Hanya saja pria itu mengingat belas kasihan nya walau seujung kuku. Hari ini pastinya adalah hari terberat untuk Zeno.     

Namun lebih memilih mengatakan yang sejujurnya. "Sungguh, rasanya hanya kau bocah satu-satunya yang sama sekali tak menggemaskan di mata ku."     

"Maaf saja, aku juga tak ingin menunjukkan diri ku terlalu indah di mata mu."     

Balasan tajam Zeno, membuat Jevin meringis kesakitan. Rasanya ia tak terlibat dalam urusan rumah ini sedikit pun, tapi mengapa layaknya sasaran empuk yang bisa di jadikan sebagai sebuah pelampiasan? Jevin yang cocok di olok-olok, setelah Max, lantas Zeno? Apakah pria itu perlu memberikan tepuk tangan atas kekompakan keduanya?     

"Sudahlah... Aku kalah jika harus berdebat dengan mu," pasrah Jevin yang memang sudah terlalu penat.     

Memutuskan untuk mengangkat kedua kakinya ke sisi ranjang, menempati bekas peninggalan Zeno.     

Rasanya sedikit mengherankan saat tak mendapati Zeno yang tak lekas menyalak. Malah bocah yang sudah menanggalkan selimut yang itu sibuk menarik memastikan sesuatu yang ada di genggamannya.     

"Apa yang kau lihat?" Jevin yang merasa penasaran pun bertanya.     

"Bukan apa-apa," balas Zeno yang jelas tak senang dengan rasa perasaan Jevin.     

"Selain sama sekali tak menggemaskan, kau juga bocah pembohong, ya!" ejek Jevin yang memancing Zeno untuk makin melebarkan pupil matanya.     

Bahkan bocah mungil itu mengerti cara menahan amarah dengan buku tangannya yang terkepal erat. Meski satu lengan yang memegang sesuatu yang masih di curigai Jevin masih tetap berada di belakang tubuh kecil milik bocah itu.     

Sementara dalam satu ranjang, keduanya hanya diam dengan pemikiran masing-masing setelahnya. Jarum jam mengisi ruang, menandakan sunyi yang tercipta.     

"Apakah kau benar-benar adik dari papa ku?"     

Sampai akhirnya Zeno yang nampak sedikit ragu mulai menarik percakapan. Namun, tentang pertanyaan itu, lagi?     

Jevin pun menghela napas jengah, lantas beringsut membuntal tubuhnya dengan selimut bergambar karakter fauna itu. Tubuhnya lantas di sandarkan pada kepala ranjang.     

"Sesuai anggapan mu saja. Aku sedang tak ingin menjadi kekanakan dengan berdebat dengan bocah seperti mu."     

"Berarti kau adalah anak dari oma Rara dan opa Hardi juga?" Rupanya Zeno yang masih terus mendesak jawaban. Kali ini membuat Jevin malah semakin mengerutkan dahinya.     

"Ehm... Bagaimana cara menjelaskannya pada bocah sok kritis itu?" pikir Jevin dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Bagaimana ia bisa menjelaskan secara rinci tentang hubungannya dengan Nathan yang nyatanya begitu rumit?     

"Kau dan papa ku lahir dari seorang wanita, kan?"     

Ah, rupanya Zeno memang masih bocah belia yang masih suka meracau dengan pemikirannya.     

"Ya, pasti. Pria mana bisa melahirkan anak."     

"Lalu siapa yang membawa ku ke dunia ini?"     

"Apa?" Jevin terkejut. Gerakan tubuhnya yang hendak memposisikan tubuhnya nyaman untuk berbaring, nyatanya di buyarkan oleh pertanyaan lanjutan Zeno. Sial! Jevin terjebak dalam pertanyaan itu.     

"Hikss..."     

Dan yang membuat Jevin tiba-tiba saja semakin lemas, saat mendapati Zeno yang menangis.     

Jiwa empatinya yang begitu tinggi, Jevin jelas saja beringsut mendekati Zeno dan langsung mengusap bahu kecil milik bocah itu.     

Namun dalam keadaan yang seperti itu pun, Zeno masih saja jual mahal dengan bahu di gidikkan berusaha menyingkirkan lengan besar milik Jevin.     

"Hei, kenapa kau menangis?"     

"Jangan menyentuh ku. Hikss..."     

"Aku tak bermaksud. Tapi kau yang tiba-tiba saja mengejutkan ku dengan cara mu menitikkan air mata, bocah!"     

"Katakan pada ku, apa kau tak senang dengan kebersamaan papa dan paman Max kesayangan mu itu?"     

"Tidak, hanya saja aku merasa begitu terharu saat sekian lama, papa akhirnya bisa bahagia. Jujur saja, aku sedikit khawatir dengan kesehatannya saat papa begitu sibuk dengan urusan pekerjaannya. Meski jengkel karena aku yang juga seperti tak di perhatikan. Paman Max datang, dan seketika itu juga aku melihat papa perlahan berubah. Aku bahagia bisa mendapatkan papa dan juga paman Max. Menurut mu, punya dua papa itu sangat bagus, kan?"     

Jevin yang merasakan dorongan kuat dalam dirinya, lantas menarik Zeno untuk datang ke dalam dekapannya.     

Sebuah lembar foto di cengkram Zeno erat berada di antara keduanya. Sampai membuat bagian-bagiannya kusut. Sebuah potret seorang wanita dewasa yang begitu cantik dengan surai panjang lurusnya. Sementara di saat bersamaan sebuah kertas yang mencurahkan kerinduan membuat Zeno ikut terbawa suasana. Tentang Lisa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.